Yogen Sogen Luncurkan Karya “Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh”

Ket. Bedah Buku “Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh” di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini (15/7).

JAKARTA, BERBIVORA.COM- Sastrawan muda Indonesia, Yogen Sogen, kembali meluncurkan antologi puisi terbarunya berjudul “Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh” di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini (15/7).

Sogen meletakkan puisinya pada dua konteks sosio-kultural yang berbeda sebagai alas pijakan agar puisinya dapat menari dengan gaya bahasa metaforik yang mengena pembacanya.
“Sebagai penyair muda, beberapa puisi yang ditulisnya sarat dengan perenungan jiwa akan keadaan alam, politik, manusia, juga agama yang dituangkan secara metaforik dan diksi yang memikat sebagai ungkapan jiwa yang resah atas beragam hal yang terjadi di dunia ini,” ungkap Fanny J. Poyk yang hadir sebagai narasumber pembedah karya Yogen Sogen itu.
Di satu sisi Jakarta dipilihnya sebagai tempat untuk menggambarkan sosok Tuhan yang sangar dan kejam yang dipuja puji oleh mereka dengan licik dan picik.
“dan jurang-jurang kelicikan dipentaskan; skandal moral meledak di dada bangsa mabuk agama; Kita melihat semuanya yang terpampang di wajah Jakarta; ada yang menciptakan tuhan yang penuh kecemburuan di dalam; ada yang merakit tuhan untuk membunuh; ada pula menciptakan tuhan untuk korupsi,” tulis Sogen untuk menggambarkan bagaimana Tuhan dijadikan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan.
Sementara di sisi yang lain ia meletakkan Tuhan pada posisi yang disembah dengan hening dan kusyuk, dalam diam, dalam keseharian, jauh di kampung halamannya, di Flores Timur.
“Ayahku bertapa di gubuk bambu ketika senja sepi menyembah isi rumah; dari wajahnya bersimbah harap yang pengap; sejurus doa kemudia berembus ke langit alang-alang; di puncak  hening yang mengenang wangi rerumputan; derap bau tanah menyergap di tubuh hutan-hutan; menyengat di hangat tungku batu”, tulis dia pada puisi yang berjudul Belati Tua.
Tuhan, sebagaimana yang diimani oleh kebanyakan orang beragama, menurut Sogen, bukanlah Tuhan yang berwajah garang dan sangar sebagaimana yang dijadikan komoditas politik oleh para elit, melaikan wajah Tuhan yang lembut dan penyanyang yang dijumpai dalam hening dan keseharian hidup.
Tuhan, sebagaimana yang digambarkan dalam karya Sogen, bukanlah Tuhan yang hanya hadir dalam momentum tertentu semata-mata, tetapi hadir pada setiap peristiwa hidup, dalam perjumpaan dengan sesama sebagai saudara.
“Tuhan yang satu namun berwajah plural, Tuhan yang solider, yang penuh welas asih. Seperti Puisi Ia menyentuh setiap pribadi, menggugah setiap manusia untuk mencintai segala bentuk kehidupan,” ungkap Silvester Hurit yang hadir sebagai salah satu narasumber.
Menurut Hurit, perilaku kaum beriman hendaknya menjadi teladan bagi sesamanya dengan hidup penuh bakti kepada Tuhannya lewat pelayanan terhadap sesama. Tuhan, menurutnya, adalah sebuah pencarian yang tak pernah selesai, yang dicari dengan semangat persaudaraan.
“Tuhan itu sebuah pertanyaan yang tak pernah usai, Ia bukan sebuah jawaban final dalam ziarah pencarian manusia. Tidak ada klaim tunggal atas kebenaran apalagi merasa diri paling benar seraya mencela yang lain, yang berbeda. Esensi ritus-ritus keagamaan adalah komunio (penyatuan), tak ada lagi sekat antara kita dan bukan kita, yang ada adalah persaudaraan universal bagi umat manusia,” kata dia.
Exit mobile version