Jakarta, Verbivora.com – Mencuat kabar, Komisi II DPR RI akan melakukan kajian untuk merevisi undang-undang beberapa Provinsi, salah satunya Sumatera Barat, wacananya akan menjadi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM).
Rencana perubahan nama ini tentu menjadi momok bagi masyarakat yang bukan asli Minang namun berdomisili di Sumatera Barat, termasuk masyarakat Suku Mentawai sebagai salah satu suku tertua di dunia, Jumat (12/3/2021).
Mentawai merupakan daerah kepulauan di lepas Pantai Barat Sumatera yang terdiri dari sekitar 70 pulau dan empat pulau utama yaitu Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora, dan Siberut dengan total luas 6.011 kilometer persegi dan memiliki jumlah penduduk sekitar 29.918 jiwa.
Sebanyak 90% adalah penduduk asli asal Mentawai dan 10% yang lainnya meliputi Suku Minangkabau, Jawa, dan Batak (Bastide, 2008). Para nenek moyang orang Mentawai diyakini telah bermigrasi pertama ke wilayah tersebut di suatu tempat antara 2000 – 500 SM (Reeves, 2000).
Nenek moyang masyarakat Mentawai menganut sistem kepercayaan “Arat Sabulungan” yakni kepercayaan bahwa roh terkandung dalam setiap objek yang ada di dunia, baik itu benda mati maupun makhluk hidup.
Roh ini terpisah dari jasad yang berkeliaran secara bebas di alam luas. Pemahaman ini berbeda dengan agama-agama Samawi yang dominan di Indonesia, di mana roh diyakini hanya terdapat pada makhluk hidup.
Kepercayaan ini akhirnya mulai hilang sejak tahun 1950-an saat pemerintah pusat mewajibkan setiap warga negara untuk menganut salah satu dari 5 agama yang diakui di Indonesia.
Namun, berdasarkan data yang dihimpun dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Tahun 2017, ada 187 aliran kepercayaan di 13 provinsi di Indonesia. Meski demikian, hanya ada 160 aliran kepercayaan yang masih aktif dan berada di 12 provinsi. Salah satunya adalah kepercayaan “Arat Sabulungan” yang ada di Mentawai.
Sementara itu, sejarah suku Minangkabau diawali oleh Raja Adityawarman yang memperkenalkan sistem kerajaan di wilayah Sumatera Barat pada abad pertengahan -17.
Kata Minang sendiri diambil dari nama salah satu desa yang merupakan tanah lapang di kawasan Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat.
Sedangkan Kabau diambil dari kata kerbau yang berhasil membawa rakyat Minang memenangkan perkelahian sehingga Minangkabau selanjutnya dijadikan nama Nagari atau Desa.
Suku Minangkabau sendiri erat dengan agama Islam karena hubungan yang intensif dengan Kesultanan Aceh melalui proses pengembangan ekonomi masyarakat serta kondisi geografis yang strategis sehingga menunjang berkembangnya peradaban islam disekitarnya.
Wacana menjadikan Sumatera Barat menjadi DIM sudah mulai mencuat sejak tahun 2014, pertama kali dideklarasikan oleh Dr. Mochtar Naim Sosiolog juga antropolog Universitas Andalas. Beserta dengan timnya, Mochtar Naim melemparkan wacana DIM ke berbagai forum seminar maupun diskusi di kampus-kampus.
Seiring dengan muncul kembali kabar ini di masyarakat, kita bisa bercermin dari bagaimana proses Yogyakarta dan Aceh yang memiliki sejarah panjang masing-masing sampai akhirnya mendapatkan hak sebagai daerah istimewa.
Menurut salah satu tokoh masyarakat Kabupaten Mentawai Juniator Tulius, Mentawai merupakan salah satu kabupaten yang berbeda etnis dengan suku Minangkabau yang mayoritas. Antropolog itu mengatakan, sama halnya dengan suku Batak berbeda dengan Nias.
Perbedaan itu terletak dalam konteks kebudayaan. Sementara untuk Minangkabau, kebudayaan itu satu bagian dengan kepercayaan.
“ Kalau menjadikan seluruh wilayah Provinsi Sumbar sebagai Daerah Istimewa Minangkabau, jelas tidak bisa. Bagi Mentawai itu pengecilan atau kasarnya peniadaaan suku Mentawai di Sumbar,” kata Juniator Tulius, dikutip dari Mentawai _kita.
Menurut Dr. Rijel Samaloisa, Wakil Bupati Mentawai (2011-2016) sekaligus dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa di Yogyakarta, bila dilihat dari sudut pandang demokrasi, gagasan tersebut merupakan sebuah kemunduran.
“Bagaimana tidak, Indonesia memiliki banyak tokoh nasional yang sebagian besar berasal dari Sumatera Barat. Moh. Hatta sebagai salah seorang founding father Indonesia. Muh. Yamin, Soetan Sjahrir, Tan Malaka dan sebagainya, mereka bahkan tidak berfikir untuk menjadikan Daerah Istimewa sebagaimana DIY dan Aceh.” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan Faktor kesejahteraan dan keunggulan budaya yang dimiliki Minangkabau, bagi mereka tidak serta merta menjadikan Sumatera Barat sebagai daerah istimewa yang menghadirkan eksklusivisme di kalangan masyarakat dan elitnya.
“Justru sejarah dan keunggulan budaya tersebut dihimpun menjadi kekuatan untuk membangun Indonesia. Bagaimana dengan Mentawai bila dihubungkan dengan ide para politisi untuk menjadikan Sumatera Barat sebagai Provinsi DIM,” jelasnya.
Menurut Rijel ini merupakan salah satu upaya politik hegemoni yang diusung elit politik Sumatera Barat melalui gagasan keistimewaan.
Sedangkan pandangan dari Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, Sumatera Barat dijadikan DIM itu tergantung masyarakat Sumatera Barat sendiri, namun sebelum memberikan respon katanya harus mendengar terlebih dahulu tentang rancangan undang-undang (RUU) yang masih dibahas oleh komisi II DPR RI.
“Kuncinya ada di masyarakat, kita harapkan RUU itu masyarakat di daerah maupun di rantau, menjadi pertimbangan kita, tanggapan masyarakat akan menjadi pertimbangan DPR RI dalam pembahasan menjadi undang-undang. Diharapkan ini menjadi bagian untuk memperjelas, memperkuat persatuan, kebersamaan dan kekompakan masyarakat,” tegasnya.
Pada hari ini, secara historis kita hidup berdampingan antara budaya dan agama. Masyarakat Mentawai akan semakin dikhawatirkan apabila keputusan ini disahkan. Proses pemekaran Mentawai pada tahun 1999 memiliki sejarah panjang oleh aktivis dari Mentawai sendiri sampai akhirnya memisahkan diri dari Kabupaten Padang Pariaman. Hasil itu bukanlah hadiah dari Provinsi Sumatera Barat.
Apabila wacana ini terlaksana, tentu akan melukai hati kebanyakan masyarakat Mentawai dengan anggapan Suku Minang ingin mengeksklusifkan diri ditengah pluralisme masyarakat yang tinggal di Provinsi Sumatera Barat.
Melanggengkan Minangkabau dengan konsep “adat basandi syara, syara basandi kitabullah” memiliki makna 100 persen orang Minang merupakan penganut agama Islam.
Dengan memasukkan Mentawai menjadi cakupan daerah Minangkabau, secara tidak langsung mengangap bahwa orang Mentawai merupakan keturunan Minang. Padahal secara sejarah Mentawai sangatlah jauh berbeda dengan Minangkabau.
Seharusnya para petinggi daerah lebih fokus untuk memajukan Sumber Daya Manuasia (SDM) yang ada di Mentawai sebagai daerah yang masih tergolong daerah 3T ( Tertinggal, Terpencil, Terluar) dan daerah lainnya ketimbang sibuk untuk mencari ruang mengeksklusifkan diri dengan etnis Minangkabau.
Jangan sampai belenggu menganaktirikan Suku Mentawai di Provinsi Sumatera Barat tetap bertahan padahal daerah tersebut masih memiliki banyak potensi pariwisata domestik dan mancanegara maupun potensi lainnya.
Sehingga perbedaaan agama dan kebudayaan tidak menjadi dua bilah mata pisau yang menyebabkan konflik horizontal dan disintegrasi sosial serta ketimpangan ditengah masyarakat.
Sebagai masyarakat awam di Sumatera Barat kita perlu menelisik lebih dalam nyatanya keputusan ini bukan keputusan secara hirarki dari bawah keatas melainkan dari atas kebawah .
Keputusan ini juga membuka lebar ruang politik yang menggunakan pendekatan agama sekaligus dapat mencoreng nilai-nilai politik. Jangan sampai isu-isu horizontal seperti ini dipolitisir untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. *(AR)
*Martinus Jarwanto: Ketua PMKRI Cabang Palembang Periode 2019/2020.
Ilustrasi suku asli Mentawai, Sumatera Barat. |