pengunjuk rasa dukung para imigran tetap tinggal di AS. ©Reuters |
New Hampshire merupakan sebuah negara bagian Amerika Serikat dengan Concord sebagai ibu kotanya. Negara bagian ini memiliki luas wilayah 24.217 km² dengan jumlah penduduk sebesar 1.315.809, pada tahun 2008 silam. Saat ini angka kepadatan penduduk negara bagian yang terletak di Timur laut itu sebesar 146,7 jiwa/km².
Meskipun berstatus illegal, pada tahun 2012 silam, setelah bernegosisasi secara independen dengan kantor imigrasi AS, sekitar 69 orang Indonesia diberi kesempatan untuk tinggal di Negeri Paman Sam itu. Kesepakatan ini membawa angin segar, setidaknya memori ’98 yang mungkin masih melekat dalam ingatan itu bisa perlahan dlupakan.
Melalui kesepakatan tersebut, sejumlah imigran ilegal di AS diberi penangguhan sanksi keimigrasian dan izin tinggal dengan syarat penahanan paspor dan kewajiban melapor rutin ke kantor Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) sesuai jadwal.
Keadaan berubah ketika pada Januari lalu Presiden Donald Trump naik takhta. Saat itu, tak lama setelah dilantik, Presiden kontroversial ini langsung menandatangani perintah eksekutif yang menghapuskan perjanjian pengecualian ICE tersebut.
Trump memang selalu mengeluarkan kebijakan yang kontroversial. Ia pernah mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang masuknya warga negara dari tujuh negara selama 90 hari. Iran, Irak, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman, yang masuk daftar pelarangan Trump karena dikategori sebagai “negara-negara yang diwaspadai”.
Terhitung mulai Agustus, semua warga yang datang ke kantor ICE untuk melakukan pelaporan rutin justru harus menerima kenyataan pahit. Mereka diminta membeli tiket pulang ke negara asal. Meldy Lumangkun, salah satu WNI keturunan Tionghoa yang kabur ke AS pasca tragedy 1998 mengaku takut untuk kembali ke tanah air. Meldy justru menemukan kehidupan yang nyaman di AS.
“Kami takut pulang ke rumah (Indonesia). Kami takut keamanan anak-anak kami terancam. Di AS, anak-anak kami bisa hidup degan aman,” tutur Meldy seperti yang dilansir CNN, Sabtu (21/10).
Keluarga Lumangkun sendiri merupakan satu dari sederet orang Indonesia-Tionghoa di New Hampshire yang melarikan diri dari tregadi 1998, saat kerusuhan akibat krisis moneter berkecamuk hingga menewaskan 1.000 orang itu.
Saat itu, keturunan Indonesia-Tionghoa kerap menjadi sasaran diskriminasi di Indonesia lantaran besarnya kontrol mereka terhadap bisnis dan perdagangan di negara mayoritas Muslim tersebut. Dalam beberapa kasus pada 1998, orang-orang Tionghoa bahkan menjadi sasaran pembunuhan hingga pemerkosaan, memaksa sebagian dari mereka mengungsi ke negara lain.
Menuai Kecaman
Di AS, para imigran asal Indonesia telah memiliki pekerjaan. Mereka bekerja di pabrik-pabrik kecil sambil menikmati kehidupan di negara yang tenang dan alam pedesaan. Beberapa diantara mereka ada yang menjadi pendeta di gereja.
“Mereka mengisi pekerjaan yang penting. Mengganti mereka tidaklah mudah,” kata juru bicara ICE Shawn Neudauer.
Para demonstran melakukan protes terhadap kebijakn Trump. Foto: globalLiputan6.com |
Kebijakan Trump menuai kecaman. Surat kabar lokal Foster Daily Demokrat dalam sebuah tulisan tajuk rencana di bulan Agustus lalu, mengecam langkah mendeportasi imigran di New Hampshire.
“Warga negara tetangga yang telah bekerja keras dan mengikuti peraturan seharusnya tidak diusir dari negara ini. Warga yang tidak melakukan kejahatan seharusnya tidak tiba-tiba ditahan oleh ICE,” tulis editorial surat kabar tersebut, seperti dikutip merdeka.com, Rabu (18/10).
Sejumlah advokat pun menuntut ICE untuk menghentikan deportasi ini. Terdesak, Kepala Hakim Distrik AS, Pati Saris memerintahkan penangguhan sementara proses deportasi ini, sembari mempelajari kewenangan apa saja yang ia miliki untuk menangani kasus ini.
“Pemerintah mengingkari janjinya. Itu yang saya khawatirkan di sini,” kata Saris Kepala Hakim Distrik AS, kepada Reuters.
Ia pun pun ikut galau mempertanyakan seberapa lama lagi dia dapat menunda proses deportasi warga negara Indonesia itu. Ia mengaku, kasus ini adalah hal yang sangat sulit untuk diselesaikan.
“Ini adalah kasus yang sulit. Mereka adalah orang baik dan tulus yang sudah tinggal di sini dengan restu kami dan bekerja sama dengan otoritas dan tak pernah melanggar semua aturan yang kami berikan kepada mereka,” ujar Saris.
Respon Pemerintah Indonesia
Sementara itu, M. Iqbal, Juru Bicara Kemenlu, mengatakan bahwa pihaknya terus memonitor rencana pemulangan WNI ini. Sepengetahuan Kemenlu, WNI tersebut memang sudah tidak mau tinggal di Indonesia karena khawatir akan dipersekusi. Para WNI itu dikabarkan tengah menggugat keputusan pemerintah AS.
“Informasi terakhir yang kami peroleh, mereka sudah melakukan upaya hukum. Untuk itu hakim mengeluarkan putusan sela yang meminta imigrasi menunda deportasi sembari mempelajari apakah kasus ini ada di bawah jurisdiksi mereka atau tidak,” kata Iqbal kepada Tirto, Jumat (19/10).
Direktur Jenderal Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal. Foto: Kompas.com |
Iqbal juga mengoreksi jumlah WNI yang rencana akan dipulangkan dari New Hampshire yang terkena kebijakan Trump, dari yang sebelumnya dilaporkan mencapai ribuan. “Jumlahnya di New Hampshire hanya puluhan. infonya sekitar 70 orang,” kata Iqbal.*
Diolah dari beberapa sumber
Editor: Andy Tandang