Sudirman dan Oerip Sumohardjo: Dwitunggal Angkatan Bersenjata

Jakarta, Verbivora.com – Persatuan adalah kata kunci bagi suatu perjuangan. Mustahil melihat Indonesia merdeka tanpa adanya persatuan baik itu di kalangan sipil maupun (terutama) di kalangan militer. Sejarah mencatat bahwa pendirian Angkatan Bersenjata kita bukanlah sesuatu yang mulus tanpa adanya pertentangan dan penolakan di dalam tubuh Angkatan Bersenjata. 

Sudah sejak awal ada dua entitas prajurit yang menghiasi kancah militer Indonesia: prajurit eks-PETA dan prajurit eks-KNIL. Yang pertama merupakan warisan Jepang, sementara yang terakhir adalah produk Belanda. Keduanya punya warna dan tujuan organisasi yang berbeda. Menyatukan keduanya rasa-rasanya mustahil, namun di bawah satu nilai perjuangan yang sama, melawan penjajah, usaha untuk “menyatukan” dua entitas prajurit itu bisa dilakukan. 

Tentu saja usaha untuk menyatukan kedua entitas itu butuh pengorbanan; butuh kepemimpinan yang tidak biasa; dan butuh keutamaan sebagai seorang prajurit. Dalam rangka itu, sosok Jenderal Sudirman (eks perwira muda PETA) dan Jenderal Oerip Sumohardjo (eks perwira KNIL) menjadi dua tokoh sentral yang tampil dengan kepemimpinan yang berwibawa dan karismatik. 

Dwitunggal Angkatan Bersenjata: Sudirman dan Oerip Sumohardjo

Di pemerintahan sipil ada sosok dwitunggal Soekarno-Hatta yang menahkodai Indonesia selama masa revolusi, maka di lapangan perang ada dwitunggal Jenderal Sudirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kedua sosok ini adalah dwitunggal yang tidak saja mengendalikan jalannya pertempuran melawan Belanda, tetapi juga memastikan persatuan di kalangan prajurit yang berbeda latar belakang sejarah kemiliteran. 

Sebelum kita mengenal Tentara Nasional Indonesia (TNI), Angkatan Bersenjata kita bernama Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Praktis Badan inilah yang berjuang di medan laga sebagai suatu kekuatan militer. Secara formal BKR berada di bawah suatu Komite Nasional Indonesia yang dipegang oleh otoritas sipil, tetapi dalam prakteknya setiap unit yang ada di bawah BKR berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya kontrol dan komando yang jelas. Pemerintah tidak dapat mengendalikan atau bahkan memimpin unit-unit BKR yang kebanyakan berdiri sendiri itu, karena pemerintah sendiri sangat bingung mengenai peran yang seharusnya atau dapat mereka lakukan (Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 1996. Hal. 45). 

Ketidakjelasan komando dan kontrol terhadap unit BKR jelas sebuah masalah di saat Indonesia membutuhkan suatu kekuatan militer untuk melawan baik Jepang maupun Belanda. Atas pertimbangan tersebut, pada tanggal 5 Oktober 1945 Badan Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Kemanan Rakyat (TKR). 

TKR yang baru dibentuk itu diberikan kepada Mayor KNIL Oerip Sumohardjo yang memang merupakan seorang perwira KNIL yang sarat pengalaman sekaligus paham betul akan struktur organisasi militer. Bisa dikatakan para perwira KNIL itu tidak saja dilatih berperang, tetapi dipersiapkan menjadi “teknokrat militer” yang ahli dalam membangun suatu organisasi militer yang modern. 

Lantas, setelah TKR terbentuk, apakah masalah sudah selesai? Persoalan struktur dan komando barangkali bisa dikatakan menjadi akar masalah. Oerip adalah seorang perwira KNIL, sementara mayoritas tentara pejuang adalah para prajurit pejuang eks-PETA. Hadirnya Oerip sebagai pemegang pucuk pimpinan Angkatan Bersenjata tentu saja menjadi berita gembira bagi bekas perwira KNIL, tetapi tidak dengan para perwira eks-PETA yang notabene membawahi sejumlah pasukan penting di Jawa. 

Perubahan dari BKR ke TKR hanyalah perubahan nama saja. Para perwira eks-PETA, para perwira yang membawahi pasukan, saling bersaing satu sama lain untuk menguasai senjata dan cenderung tidak mau menerima perintah dari komando pusat. 

Oerip menyadari betul persoalan ini dan jika dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan kerugian yang besar bagi Republik yang baru saja diproklamerkan itu. Oleh karena itu, pada medio November 1945 diadakanlah suatu rapat antara para komandan tertinggi dalam Angkatan Bersenjata yang bertujuan untuk memilih Panglima Angkatan Bersenjata yang baru yang dapat diterima oleh semua pihak. Rapat memutuskan mengangkat seorang perwira muda eks-PETA yang juga bekas guru di HIS Muhammadiyah: Sudirman. Sudirman yang kurang pengalaman dalam urusan tata kelola organisasi militer ditunjuk sebagai pengganti Oerip. 

Pergantian Panglima Angkatan Bersenjata itu tidak menimbulkan polemik yang berarti. Sudirman yang berlatar belakang seorang guru dan eks-PETA sadar betul akan kekurangannya terkait pengalaman akan tata kelola organisasi modern dalam tubuh militer. Pada saat yang bersamaan ia juga menaruh hormat yang begitu tinggi akan pengalaman Oerip yang memang memiliki latar belakang pengalaman dan pendidikan sebagai seorang teknokrat militer yang ahli dalam mengatur dan mengelola organisasi militer. 

Atas dasar itulah Sudirman mengangkat Oerip sebagai Kepala Staf yang mengatur tata kelola organisasi, sementara ia sendiri pemegang komando efektif atas bagian-bagian Angkatan Bersenjata yang mayoritas merupakan para perwira eks-PETA yang menaruh hormat kepadanya. 

Kolaborasi kedua tokoh militer yang karismatik itu mampu menyatukan Angkatan Bersenjata kita. Alhasil, Angkatan Bersenjata menjadi kuat dan berhasil menghalau kekuatan militer Belanda dalam aksi polisionil yang mereka lancarkan.  

Prajurit: Berkurban, Bersatu, Berkeutamaan 

Bagi Sudirman, esensi keprajuritan terletak pada semangat juang yang tinggi yang mau mengurbankan diri demi Indonesia merdeka. Seorang prajurit tidak saja berkurban untuk negara dan bangsa tetapi demi membela kebenaran dan keadilan yang merupakan hak suatu bangsa. Tetapi, pengurbanan itu hendaknya ditempa di atas semangat persatuan. 

“Semua pengorbananmu telah diberikan untuk satu tujuan suci, mempertahankan kebenaran dan keadilan. Pengorbanan diri harus menjadi perisai perjuangan kita. Perkuat keyakinanmu! Sucikan hatimu dan perbuatanmu! Pererat persatuanmu! Dengan rahmat Tuhan kemenangan akan berada di pihak kita, oleh karena Tuhan adalah Maha Tahu dan Maha Adil. Kamu semua harus ingat: tidak akan ada kemenangan kalau tidak ada kekuatan. Tidak ada nada kekuatan kalau tidak ada persatuan. Tidak akan ada persatuan kalau tidak ada keutamaan. Tidak akan ada keutamaan kalau tidak ada ajaran kejiwaan yang dapat mentahbiskan semua usaha kita” (Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946. Ithaca: Cornell University Press, 1972. Hal 376-77). 

Cuplikan pidato yang dikutip oleh Ben Anderson di atas adalah pernyataan jitu Jenderal Besar Soedirman tentang sosok satria yang unggul. Satria yang unggul adalah satria yang mengedepankan keutamaan-keutamaan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan nasional sebagai “kebenaran dan keadilan”. 

Kekuatan utama Angkatan Perang Indonesia, menurut Jenderal Sudirman, adalah persatuan. Tanpa persatuan kekuatan tidak akan mampu diarahkan untuk suatu perjuangan; tanpa persatuan tidak akan ada keutamaan jiwa yang mementingkan agenda perjuangan nasional. 

Sejak awal kepemimpinannya di dalam tubuh Angkatan Perang, Jenderal Soedirman tak sekedar berjuang untuk mengusir Belanda dalam Aksi Polisionil I dan II, tetapi memantapkan suatu filosofi kesatriaan di dalam perjuangan yakni persatuan. Menurutnya, persatuan adalah senjata rahasia, senjata pamungkas, di tengah segala kekurangan model persenjataan dibanding Belanda.

“…Kita terus terang mengakui, bahwa persenjataan tentara kita masih sangat kurang, apabila dibandingkan dengan persenjataan musuh yang serba lengkap dan modern. Oleh karena itu hendaknya perjuangan kita harus kita dasarkan atas kesucian. Dengan demikian perjuangan kita lalu merupakan perjuangan antara yang jahat dan melawan yang suci. Kita percaya bahwa perjuangan yang suci itu senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan. Apabila perjuangan kita sudah kita dasarkan atas kesucian, kekuatan batin inilah yang akan menang. Sebab, jikalau perjuangan kita tidak suci, perjuangan itu hanya akan berupa perjuangan antara yang jahat melawan yang tidak suci dan perjuangan lahir melawan lahir juga, yang akhirnya tentu si kuat yang menang” (Pusat Sedjarah Militer Angkatan Darat, Biografi Militer dan Pedjuang Indonesia No. 1 Djenderal Sudirman, Bandung: 1959. Hal. 27).

Semangat persatuan itu yang hendaknya menjadi pedoman bagi militer Indonesia hari ini. Negara membutuhkan sinergitas militer tiga matra untuk menghadapi ancaman dan potensi ancaman yang sudah dan akan menghantam Indonesia. Seperti kata Presiden Joko Widodo dalam HUT TNI ke-76: “…Kesigapan TNI ini juga saya minta untuk selalu diaktifkan dalam menghadapi spektrum ancaman yang lebih luas seperti pelanggaran kedaulatan, pencurian kekayaan alam di laut, radikalisme, terorisme, ancaman siber dan ancaman biologis, termasuk juga ancaman bencana alam.” *(AR)

Oleh: Rinto Namang (Aktivis PMKRI)

Sudirman dan Oerip Sumohardjo: Dwitunggal Angkatan Bersenjata


Exit mobile version