Suara Orang Kalah Untuk Tuan Presiden

Aksi teatrikal catatan orang-orang kalah pada momentum peringatan Hari HAM Internasional di depan Istanana Presiden

Desember hampir selesai, sebentar
lagi deru waktu dan tanggal berubah dari angka 2018 menuju 2019. Derap waktu
yang berubah itu pun berjalan mengiringi masa kepemimpinan Tuan Presiden Jokowi.
Empat tahun sudah tuan mengabdi bagi bangsa dan negara Indonesia, banyak hal
yang sudah bapak lakukan untuk menyejahterakan bangsa Indonesia dari Aceh
hingga Papua, dari Miangas hingga Rote. Untuk pembangunan di sana-sini, tuan
layak mendapat apresiasi dan pujian.

Kini, bingkisan masa pengabdian yang
bapak dengungkan dari 2014 silam itu telah berumur senja. Desember yang basah merakit
amuk kisah pedih-perih pun senyum dan tawa dalam debar kecamuk pembangunan yang
bapak kemas dari kecemasan yang begitu anyir. Hingga kini gelegar pembangunan
itu begitu anyar di wajah negeri ini. Dalam anyarnya skenario yang
dipertontonkan oleh tuan beserta gerombolan tuan yang sangat dramatis hingga
topengnya nyaris menyembunyikan tragedi nan tragis bercucuran luka di jantung
Pertiwi tercinta ini. Tapi tuan jadi pelupa, lupa pada muasal kemanusiaan dan
janji manis yang tuan titipkan di lubuk hati kami, mungkin ingatan tuan sedang
tidak sehat.
Sejenak mengenang pada ingatan yang
masih begitu basah, empat tahun silam kami menyambut tuan dalam sadar imajinasi
kami yang nyaris tak berubah hingga kini: harapan untuk hidup damai di tanah
air ini, namun tampaknya kami masih akan terus berharap untuk dapat hidup damai
tanpa intimidasi, tanpa diskriminasi, tanpa rasa takut untuk menyuarakan
kebenaran, tanpa waspada menghadap Tuhan. Apalah artinya bangunan megah
sementara kami begitu tak bebas bergerak? Lantas, siapa yang harus menikmati
itu semua, tuanku?
Desember, bulan penuh rahmat dan
syukur, masa penuh penantian akan kehadiran Sang Juru Damai. Rahmat yang
diberikan pencipta kepada segenap ciptaan, terutama kepada kita manusia.
Desember bulan di mana kita semua diingatkan kembali untuk menghargai sesama
manusia, mengasihi yang lain, merajut persaudaraan penuh kasih dalam perbedaan.
Desember, kita semua diingatkan untuk berpaling dari masa lalu yang kelam dan
bergerak ke masa depan yang lebih baik, tempat di mana setiap orang
diperlakukan sebagai manusia bukan seperti binatang yang jalang.

Desember ini Desember keempat masa
tuan berkuasa. Desember ini kami masih merasa hidup seakan selalu dipelototi
oleh mata-mata asing tak kelihatan yang setiap saat membuat kami tak bebas
hidup dalam rumah Indonesia. Kemarin, ketika Desember baru saja mekar,
saudara-saudara kami di negeri matahari terbit Papua dibunuh. Betapa tidak
terkejutnya kami mendengar rintihan duka itu sebab kematian bukan sesuatu yang
asing bagi mereka, bukan babak baru di panggung kematian yang begitu pengap melancangkan
bau mesiu pada udara, pada tanah, pada hutan dan pegunungan yang masih perawan
itu. 

Kematian itu telah jadi sahabat bagi mereka karena hampir tiap hari adegan
dan lonceng kematian nyaring terdengar di telinga mereka. Mereka, anak-anak Cendrawasih
yang masih hidup dalam alam yang tidak merdeka sama sekali.
Tuan, bukan soal siapa yang mencabut
mereka, bukan seberapa hebohnya media tanah air memberitakan itu tak
putus-putusnya seperti samudera luas yang mengirim gelombang ke pantai duka,
tapi seberapa kuasanya tuan melindungi mereka dari kematian karena kekerasan?
Ya, tuan tak mampu dalam hal itu. Tuan tak sadar bahwa kematian mereka hanyalah
bagian kecil dari tragedi kematian yang tiap hari mereka alami. Tak taukah tuan
bahwa kekerasan yang terjadi di Papua adalah bagian dari peternakan kekerasan
yang dipelihara negara demi memuluskan aliran fulus ke Jakarta? Tuan, pasti tau
itu dengan jelas.
Kami tau, di hadapan penguasa hidup
hanyalah drama yang kapanpun boleh diubah dan diatur oleh tuan. Di hadapan tuan
dan kolega, kematian tak lain merupakan hiburan malam yang mengundang gelak
tawa. Di meja tuan, martabat manusia hanyalah kurban persembahan yang pantas
untuk harga pembangunan yang mahal. Di pikiran tuan, atas nama pembangunan
segala sesuatu boleh termasuk boleh mengebiri hak hidup seseorang.
Tuan, ini Desember yang penuh air
mata. Entah sampai kapan hiburan tuan ini berakhir. Kami tak tau, mungkin
hingga 2024 ataukah akan berakhir di 2019? 
Hanya tuan yang tau. Kami sadar bahwa drama kematian ini tak akan pernah
berakhir bagi tuan dan para penjilat yang selalu haus hiburan. Tuan dan para
penjilat yang bersorak ria ketika ada darah yang dijarah tertumpah untuk
sejengkal jalan yang dibangun. Meski drama kematian ini tak berujung, kami akan
selalu hadir sebagai suara sumbang dalam hiburan tuan itu supaya tuan tau bahwa
kebenaran bukan milik penguasa.

Satu hal yang pasti dalam nada
sumbang kami adalah suara-suara orang kalah. Kami telah kalah bahkan sebelum
nada sumbang itu terlontar dari bibir kami. Kami telah kalah, tapi meskipun
kalah setidaknya nada sumbang itu terdengar meski hanya angin lalu di depan
istana rakyat yang tuan huni itu. Tuan, Desember ini, selain hujan dan air
mata, ada suara orang kalah yang terhimpit oleh bengisnya kekuasaan. 

Namun kami
ingatkan, tuan harus jernihkan naluri kemanusiaan itu sebab kami tahu, jauh di
dalam lubuk hati tuan ada tersimpan rasa “kasih sayang dan kemanusiaan” itu. Tapi,
jika episode kematian terus melenyapkan nurani kemanusiaan, di situ tuan perlu waspada. Karena nafsu jumawa itu akan membuka pintu celaka bagi tuan.

RELATED ARTICLES

Most Popular