Stop Kekerasan Terhadap Perempuan Saatnya Kita Berani Bicara

Ket. Agustina Doren (Foto. Dok. Pribadi)

Oleh: Agustina Doren

Masih ingatkah kita akan kasus
pelecehan seksual yang dialami oleh ibu Baiq Nuril  seorang guru yang dilecehkan oleh kepala
sekolahnya sendiri. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa pelecahan seksual atau
kekerasan seksual yang dialami Ibu Baiq Nuril hanya tindakan pelecehan seksual
biasa semata.
Pelecehan seksual adalah perilaku
yang terkait dengan seks yang diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan
seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal maupun fisik yang merujuk pada tindakan
atau hubungan seks. Pelecehan seksual menuju pada tindakan bernuansa seksual
melalui kontak fisik maupun non fisik yang ditujukan pada bagian tubuh seksual
atau seksualitas seseorang.
Pada umumnya masyarakat beranggapan
bahwa yang dinamakan kekerasan seksual itu ketika perempuan diperkosa, dipaksa
melakukan tindakan seks dan mendapatkan tindakan kekerasan seperti dipukul
ketika  dipaksa untuk  melakukan hubungan seks.
Padahal, perlu kita ketahui bersama bahwa,
 bentuk kekerasan seksual  atau pelecehan seksual itu termasuk siulan,
main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, colekan atau sentuhan di
bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual, sehingga
mengakibatkan ketidaknyamanan, tersinggung, yang membuat seorang perempuan
merasa direndahakan martabatnya.
Budaya patriarki yang kian membelenggu
perempuan dan konsekuensi dari produk budaya patriarki terebut membuat perempuan
selalu berada di posisi kedua. Mereka (kaum laki-laki) beranggapan bahwa
perempuan adalah sosok yang selalu harus tunduk dan patuh dalam segala hal
termasuk tindakan seks. Bahkan dalam 
masyarakat atau kalangan tertentu masih menjalankan kebiasaan atau
tradisi yang seolah-olah tidak bisa lagi ditawar.
Misalnya, suatu pekerjaan yang  hanya bisa dikerjakan oleh kaum lelaki dan perempuan
tidak memiliki kekuatan atau hak untuk terlibat dalam pekerjaan itu. Akibat
dari budaya patriarki yang sampai hari ini masih dianut oleh beberapa
masyarakat daerah memberikan batasan dalam ruang gerak yang wajar dan tak wajar
dilakukan oleh perempuan. Pola pikir tersebut sangat memengaruhi pandangan
masyarakat akan kedudukan yang layak bagi perempuan.

Pemerintah  dan RKUHP nya saat ini masih kurang dalam
memberikan perlindungan terhadap perempuan baik di ruang publik maupun beratnya
hukuman yang diberikan kepada pelaku. Seperti yang tercatat oleh Komnas
Perempuan pada tahun 2018 menunjukkan hal yang baru, berdasarkan laporan
kekerasan di ranah privat/personal yang diterima Mitra Pengadalayanan terdapat
angka kekerasan terhadap anak perempuan yang meningkat dan cukup besar yaitu
sebanyak 2.227 kasus. 

Sementara angka kekerasan terhadap istri tetap menempati
peringkat pertama yakni 5.167 kasus, dan kemudian kekerasan dalam pacaran
merupakan angka ketiga terbanyak setelah kekerasan terhadap anak yaitu 1.873
kasus. Persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 41% (3.982 kasus), diikuti kekerasan
seksual 31% (2.979 kasus), kekerasan psikis 15% (1.404 kasus), dan kekerasan
ekonomi 13% (1.244 kasus).
Di lain hal, dari 15 jenis kekerasan seksual
yang ditemukan oleh Komnas Perempuan, tidak semuanya dikenali dan diatur dalam
sistem hukum nasional. KUHP Indonesia mengenal perkosaan dengan pengertian yang
sangat sempit sebagai penetrasi penis ke vagina dan harus ada pemaksaan secara
fisik. Pelecehan seksual tidak dikenali oleh KUHP, makanya ketika kasus itu
terjadi hanya diusut dengan pasal pencabulan itupun hanya bisa digunakan jika
pelecehan tersebut terjadi secara fisik. Padahal pelecehan seksual bisa terjadi
secara verbal dan non-verbal.
Penyiksaan seksual pun tidak dikenali
oleh KUHP sehingga konsekuensi logisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan di ranah penanganan tidak dilakukan dengan serius dan sistemik akibat
keterbatasan perangkat hukum. Eksploitasi seksual yang diatur dalam UU Pornografi
juga sangat lemah dalam memberikan efek jera dan cenderung diletakan dalam tataran
moral sehingga tidak bisa mengintervensi lebih jauh eksploitasi yang dialami perempuan
yang menjadi objek di dalamnya. Efek daripada lemahnya KUHP terkait penyiksaan
seksual terhadap perempuan berpotensi me-reviktimasi korban.
Perubahan KUHP cenderung menempatkan
isu kekerasan seksual sebagai persoalan kesusilaan, sehingga pengaturannya
lebih melindungi rasa kesusilaan masyarakat daripada rasa keadilan korban. Padahal
tindakan kekerasan seksual merupakan kejahatan yang tergolong pelanggaran terhadap
martabat kemanusiaan korban.

Masyarakat sendiri perlu merespon fenomena
gunung es ini dengan merubah cara berpikirnya dalam menyikapi kasus kekerasan
seksual. Tidak menyalahkan pelaku, tetapi korbannyalah yang justru disalahkan. Apapun
alasannya, perempuan tidak boleh mendapatkan kekerasan seksual seperti
diperkosa atau dilecehkan. 

Justru korban kekerasan seksual atau korban
pelecehan seksual harus diberi perlindungan, menjadi pendengar yang baik bagi
mereka, memberikan Semangat Dan dukungan, Rangkul mereka, bukan dihina,
Dipojokan dan di anggap tidak punya harga diri ataupun murahan jangan biarkan
mereka berjalan sendiri.

*Penulis adalah seorang bidan dan aktivis sosial.

Penulis: Agustina Doren

Editor: Yogen Sogen

RELATED ARTICLES

Most Popular