Setelah 20 Tahun Reformasi, Lalu Apa?

Foto. Dok. Pribadi

Tahun 2018 bangsa Indonesia merayakan momentum bersejarah dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonominya. Muaknya mahasiswa dan masyarakat luas atas penguasa dan sistem Orde Baru yang otoriter serta guncangan krisis ekonomi tahun 1997 akhirnya melengserkan Soeharto. Mahasiswa turun ke jalan, menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat RI menuntut Soeharto lengser dari jabatan presiden.

Mahasiswa turun ke jalan dengan membawa agenda-agenda reformasi yang menuntut perubahan bagi bangsa dan negara. Setidaknya ada 6 tuntutan reformasi yang dikumandangkan para mahasiswa: adili Soeharto dan kroni, amandemen UUD 1945, menghapus dwifungsi ABRI, otonomi daerah, menegakkan supremasi hukum, dan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Dari 6 tuntutan itu hanya 3 yang dilaksanakan (dwifungsi ABRI, amandemen UUD 45, dan otonomi daerah), sisahnya nyaris tak pernah berhasil dilakukan. Soeharto sampai meninggal tak pernah diadili atas kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Bahkan, bekas-bekas Orde Baru masih menikmati kebebasan dan menjadi penguasa di Republik ini. 

Penegakan hukum masih menjadi pekerjaan rumah yang selama 20 tahun ini tak pernah serius dilaksanakan. Hukum terlalu tajam ke bawah sementara tumpul bagi para pemilik kekuasaan dan mereka yang punya uang. Dan, yang paling mengerikan adalah korupsi. Hantu Orde Baru yang paling nyata menggerogoti negara dan bangsa kita adalah korupsi yang terdesentralisasi. 

Jika dulu korupsi hanya terpusat di lingkaran Cendana, maka kini korupsi merupakan sesuatu yang dapat terjadi hingga ke pemerintahan desa. Warisan paling menindas dari Orde Baru bukan hanya memori kelam membelenggu kebebasan kita di masa lalu, tetapi mewabahnya korupsi hampir di seluruh sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa. 

Setelah 20 Tahun Reformasi

20 tahun reformasi bukannya tanpa masalah. Jika pada masa Orde Baru segala kejahatan berpusat di lingkaran Cendana, maka setelah lengsernya Soeharto kejahatan-kejahatan justru menyebar ke pelosok-pelosok sebagai suatu warisan yang “dibudayakan dan dilestarikan”. Praktek kejahatan pada masa Orde Baru dihidupkan kembali di pasca reformasi, di alam demokratis ini. 

Di bidang politik dan pemerintahan praktek korupsi menjadi suatu kelaziman yang dipraktekan oleh para elit dan para pemegang kekuasaan. Hampir setiap saat kita menyaksikan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penangkapan para maling uang rakyat. kebebasan dalam ruang demokratis dimanfaatkan dengan licik oleh para penguasa untuk mencuri apa yang menjadi hak rakyat. 

Selain itu, para penguasa  pasca reformasi punya kecenderungan untuk tersandera kepentingan para oligark, mereka yang punya modal dan kepentingan untuk melipatgandakan modalnya itu. Itu makanya tak jarang penguasa dan para wakil rakyat kita hanyalah menjadi “alat pengaman” berjalan lancarnya kepentingan para oligark.

Di bidang hukum tak ada perubahan yang sangat signifikan. Hukum bukan sebagai penjamin tegaknya keadilan, malah menjadi alat untuk melanggengkan tindakan-tindakan koruptif. Usaha-usaha penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi berbenturan dengan kepentingan penguasa (dan pengusaha) yang menimbulkan matinya supremasi hukum. 

Kasus BLBI, mega korupsi bail out Bank Century, dan Wisma Atlet Hambalang, serta mega korupsi E-KTP, yang merugikan negara triliunan rupiah merupakan beberapa contoh bagaimana hukum begitu rapuh dan tak berdaya di hadapan kepentingan penguasa.

Persoalan hak asasi manusia juga masih menjadi sebuah wacana yang hingga kini tak jelas penyelesaiannya. Penuntasan pelanggaran hak asasi manusia, baik itu yang terjadi di masa lalu maupun yang terjadi pasca reformasi, hanya menjadi jualan politik di saat kampanye pemilihan presiden. Selebihnya, setelah terpilih, para penguasa cenderung acuh dan masa bodoh terhadap persoalan tersebut, justru menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia demi melanggengkan kekuasaan. 

Di Papua (kasus Deiyai), aparat keamanan yang membunuh warga sipil tidak ditindak secara hukum atas kasus penghilangan nyawa orang, sebaliknya hanya divonis minta maaf. Dalam hal yang lain, pemerintah dianggap berupaya untuk membungkam kebebasan dan kemerdekaan berpendapat melalui tangan-tangan penegak hukum juga melalui regulasi-regulasi yang ada. 

Tanpa bermaksud pesimis terhadap usaha para mahasiswa reformis yang berhasil mengantar segenap bangsa Indonesia keluar dari belenggu otoritarianisme Orde Baru selama 32 tahun, situasi yang kita hadapi pasca Orde Baru tak ubahnya dengan Orde Baru itu sendiri dalam artian tertentu. Korupsi masih merajalela, hukum masih menjadi milik mereka yang punya kekuasaan dan uang, kebebasan kita masih dalam beberapa hal ditentukan oleh penguasa.

Pastinya ada yang salah dengan hal itu padahal kita telah meninggalkan Orde Baru. Masalahnya adalah reformasi hanya mengganti orang-orang lama dengan orang-orang baru (meski masih banyak orang lama yang berkuasa hari ini!) dan tidak mengubah sistem sedemikian sehingga nafas Orde Baru masih tetap hidup di dalam tubuh negara hukum demokratis ini. 

Lalu Apa?

Situasi pasca reformasi yang tak begitu berdampak bagi perubahan Indonesia memang perlu dikritik agar menemukan akar masalah yang sesungguhnya. Akar masalah itu harus dihancur-leburkan agar di atasnya kita mendirikan ulang suatu sistem yang benar-benar mengakomodir seluruh agenda reformasi yang pernah dikumandangkan 20 tahun lalu.

Kita tak mungkin meratapi mati surinya Orde Baru dan mencaci maki reformasi dengan segala kekurangannya. Hidup bukan hanya untuk meratapi yang buruk-buruk semata, melainkan berusaha untuk menghadirkan kebahagiaan bagi semua. Oleh karena itu, dalam peringatan 20 tahun reformasi ini perlu suatu refleksi mendalam seluruh warga negara, terutama para mahasiswa dan aktivis, para cendikiawan, pemerintah dan para wakil rakyat, para politisi untuk merumuskan ulang orientasi reformasi sesuai dengan agenda utamanya.

Merumuskan ulang akar persoalan yang terjadi di dalam sistem hukum kita sehingga hukum yang ada bukan menjadi penjamin kepentingan penguasa dan pengusaha, tetapi menjadi penjamin tegaknya keadilan.  Merumuskan ulang persoalan korupsi yang terdesentralisasi sehingga korupsi berhenti menjadi habit para pemangku kekuasaan dan antikorupsi menjadi suatu habitus dan kebudayaan baru bangsa Indonesia. 

Perumusan ulang itu penting agar kita bisa mengatasi dan melampaui segala persoalan yang mengemuka selama 20 tahun terakhir ini. Kita perlu menjebol dan menata ulang sistem hukum dan politik agar praktek-praktek kejahatan yang menjadi nafas Orde Baru benar-benar mati dan ditinggalkan. Selama tidak ada upaya untuk bersama-sama memikirkan soal transformasi sistem hukum dan politik, maka kita hanya akan menjadi bangkai Orde Baru yang terjebak di dalam tubuh negara demokrasi ini. 

Penulis: Rinto Namang-Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI St. Thomas Aquinas peroide 2018-2020.

RELATED ARTICLES

Most Popular