Sebuah Catatan Tentang Bung Teka da Lopez

Sejarah dirayakan, pertama-tama, bukan sebagai glorifikasi terhadap masa lalu, lebih dari itu, ia dirayakan agar manusia semakin menemukan makna hidupnya dengan belajar dari masa lalu di masa kini untuk masa depan yang lebih baik.

Merayakan sejarah bukan merupakan sebuah upaya untuk menghubungkan antara kondisi masa lalu dengan kondisi kekinian, melainkan suatu usaha manusiawi untuk senantiasa menggali dan mencari bentuk terbaik dari dirinya sebagai seorang manusia. Belajar dari sejarah artinya menjadi semakin manusiawi.

Setidaknya, begitu cara Timotheus Polycarpus Teka da Lopez memaknai sejarah. Ia melihat sejarah sebagai momentum untuk mempertanyakan kembali tentang eksistensi manusia.

“Siapa saja yang memperingati suatu peristiwa ‘historis’ akan senantiasa mempertanyakan kembali mengenai: siapakah dirinya, untuk apakah ia ada dan hidup dalam dunia atau masyarakat, ke manakah arah atau haluan hidup serta perjuangannya…,” tulis da Lopez dalam pidato peringatan 25 tahun “Petisi 24 Oktober 1973 Dewan Mahasiswa Univeristas Indonesia di Universitas Indonesia pada tanggal 24 Oktober 1998.

Menurutnya, seseorang hanya boleh disebut sebagai manusia sejati, manusia dewasa, manakala dalam hidupnya ia selalu berjuang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan introspektif-reflektif tersebut.

Usaha untuk menjadi lebih manusiawi, tidak saja dilakukan dalam konteks individu semata, tetapi lebih luas daripada itu bagaimana seseorang menjadi sesuatu yang berguna bagi masyarakat di mana dia hidup.

Menurut da Lopez, setiap orang, terutama mereka yang mendaku diri sebagai aktivis, harus menjadi peka terhadap situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara.

“Esensinya, peringatan 25 tahun “Petisi 24 Oktober 1973” merupakan momentum untuk meningkatkan serta memperluas sikap untuk selalu peka, tenggang rasa, tanggap, dan mawas diri tak hanya oleh mereka yang adalah ‘protagonis’ atau partisipan sejarah petisi, tetapi juga oleh mereka yang hendak menjadikan isi atau pesan petisi itu sebagai acuan, komitmen, dan haluan bagi gerak, kegiatan, dan perjuangannya dalam menjawab berbagai tantangan situasi-kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang urgen, lagi krusial,” tandasnya.

Bung da Lopez adalah anak zaman yang tumbuh dalam kekangan rezim otoriter Orde Baru. Bersama dengan Hariman Siregar, Chris Siner Keytimu, dkk., ia berjuang menuntut agar cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi milik seluruh rakyat dan bukan hanya milik penguasa. Generasi aktivis 70an adalah mereka yang berjuang melawan melawan despotisme Orde Baru sembari memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia tersebut.

Bagi saya, da Lopez dan kawan-kawan seperjuangannya, merupakan kelompok aktivis yang sadar akan pilihan politiknya, sadar bahwa dirinya otonom, untuk menjadi kelompok kritis yang mengevaluasi dan mengontrol kekuasaan pada waktu itu. Mereka sebagai kelompok kritis, tetapi sekaligus sebagai penyeimbang bagi tubuh bangsa yang goyah.

Diterbitkannya Petisi 24 Oktober 1973 sebagai tuntutan cita-cita Indonesia merdeka boleh dikatakan sebagai tanda bahwa mereka serius berjuang melawan kesewenang-wenangan. Petisi itu lahir karena menurut mereka hal itu sudah menyimpang dari rel perjalanan bangsa Indonesia terutama karena abai dan lalimnya penguasa pada waktu itu.

“Petisi tak lain merupakan tuntutan cita-cita Indonesia Merdeka sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang dapat diidentifikasikan kurang lebih 8 cita-cita: (1) kemerdekaan, (2) tegaknya HAM, (3) kesatuan bangsa, (4) negara kesatuan, (5) keadilan sosial, (6) kedaulatan rakyat, (7) negara hukum, dan (8) solidaritas antarbangsa,” tulis dia.

Dia menganggap bahwa pemerintah pada waktu itu gagal mengakomodir kepentingan bangsa terutama soal kedaulatan rakyat, kebebasan, HAM, keadilan sosial, dan negara hukum. Rezim justru menjadi sewenang-wenang dalam berkuasa, mengabaikan semua tuntutan cita-cita Indonesia Merdeka.

Baginya kebebasan seseorang bukan hanya sekedar “bebas dari” tekanan dan intimidasi kekuasaan, melainkan menyadari bahwa dirinya otonom untuk melakukan social control terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa terhadap kemajuan bangsa dan negara.

“Kita jangan terpaku untuk terus menerus membicarakan bebas dari pengaruh seseorang atau sekelompok orang yang kebetulan lagi berkuasa, karena jika demikian, sadar atau tidak, kita ternyata bersikap pasif, reseptif, bahkan bisa hanya konsumtif. Sepintas kita bebas atau independent, namun kebebasan kita hanyalah kebebasan heteronom”.

“Kita semua harus proaktif dan aktif dalam mengaktualisasikan prinsip kebebasan otonom dalam arti bebas untuk mengevaluasi, menilai, mengkritik serta pengkoreksi kebijakan-kebijakan dari siapapun yang kita akui atau kita anggap sebagai pemimpin kita yang nota bene adalah policy and decision maker”.

Sikap dan pandangan politiknya jelas dan tegas berada di luar kekuasaan. Saya kira itu sebabnya beliau memilih untuk menjadi “oposisi” yang siap sedia mengevaluasi dan mengkritik para pembuat kebijakan terutama yang menyimpang dari cita-cita Indonesia Merdeka.

Saya kira, bagi seorang Teka da Lopez tiada kenikmatan yang lebih nikmat dari mewahnya idealisme. Hidupnya menggambarkan idealisme perjuangannya sejak mahasiswa hingga ajal menjemput; konsisten antara apa yang diucapkan dengan apa yang dijalankan.

Pada akhirnya sejarah memang dirayakan bukan untuk gagah-gagahan belaka, sejarah dirayakan agar manusia semakin manusiawi dalam sikap dan tanggungjawabnya mengabdi kepada idealisme dan perjuangannya.

Selamat jalan Bung Teka da Lopez.

* Rinto Namang


Exit mobile version