Verbivora.com – Ketimpangan relasi kuasa antara Pekerja Rumah Tangga atau PRT dan pemberi kerja juga kerap berakhir menjadi kekerasan ekonomi maupun fisik pada pembantu rumah tangga. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) mampu memberikan pengakuan atas kerja perawatan yang dilakukan oleh PRT, mendorong pengurangan beban, resiko kerja PRT, dan memberikan perlindungan bagi bagi PRT.
Dalam konteks internasional peraturan mengenai Pekerja Rumah Tangga(PRT) relatif baru. Pengakuan atas PRT baru sejak 16 Juni 2011 ketika konferensi Jenewa, dimana International Labour Organization (ILO) mengadopsi konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerja Rumah Tangga. India adalah salah satu negara yang telah mengadopsi Konvensi ILO, dengan disahkannya Unorganized Workers Social Security Act.
Undang-Undang ini memberikan jaminan sosial bagi PRT seperti asuransi jiwa, tunjangan kesehatan dan kehamilan, hingga perlindungan hari tua. Sebagai seorang pekerja, semestinya PRT juga memiliki hak untuk menikmati pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta perlindungan atas pekerjaanya, termasuk cuti,upah, keamanan, dan juga kondisi pekerjaan yang layak. Ini yang diusahakan dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). RUU ini diharapkan memberikan pengakuan atas kerja perawatan yang dilakukan oleh PRT, mendorong pengurangan beban, resiko kerja PRT, dan memberikan perlindungan bagi bagi PRT.
Beberapa poin penting yang ada dalam RUU PPRT, meliputi:
- Pasal 5 ayat (2) mengatur perjanjian kerja tertulis antara calon PRT dan pemberi kerja.
- Pasal 11 menegaskan hak-hak PRT yang dilindungi negara, mencakup hak menjalankan ibadah, jam kerja yang manusiawi, hak atas cuti, upah, dan tunjangan, serta jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan.
- Pasal 25 ayat (1) mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan PRT.
Baca juga: Soroti RUU Penyiaran, PP PMKRI: Ancam Kebebasan Pers
RUU Menjamin Hak-Hak Pekerja Rumah Tangga
RUU PPRT sangat penting untuk menjaminkan hak-hak PRT sebagai pekerja yang harus dilindungi negara. Tataran yuridis, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang sudah direvisi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, belum mengakomodir perlindungan PRT. Tinjauan terhadap PRT sebagai tenaga kerja, merujuk pada UU Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri maupun untuk masyarakat, dari pengertian tenaga kerja dalam UU Ketenagakerjaan terkait dengan pekerja menghasilkan jasa, ini identik dengan ranah kerja PRT yang memberikan jasa kepada pemberi kerja.
Mengamati beberapa tahun belakangan di era rezim ini, tidak sedikit mengesahkan undang-undang. Undang-undang yang disahkan jika dicermati banyak sekali muatan pasalnya, seperti halnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang di dalamnya memuat banyak undang-undang, yang diketuk palu 2020, kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan kemudian dinyatakan inkonstitusional bersyarat, kemudian keluar Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, kemudian terbitlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang, dan masih banyak lagi produk hukum era rezim saat ini.
Apa korelasinya membahas soal Undang-undang Cipta Kerja dengan RUU PPRT?. Korelasinya adalah substansi RUU PPRT tidak sebanyak substansi Undang-undang Cipta Kerja, tetapi RUU PPRT sampai saat ini belum disahkan.
Selama ini PRT dalam praktiknya melibatkan tiga pihak antara penyalur, pemberi kerja dan PRT sendiri. Selama belum ada aturan khusus tentang PRT, pihak penyalur leluasa memainkan perannya, mulai dari pemberian informasi, perekrutan, penggajian dan kontrak antara PRT dengan pihak pemberi kerja. Menariknya di lapangan, pemberi kerja jika akan menggaji PRT dikirimkan terlebih dahulu kepada pihak penyalur dan baru pihak penyalur memberikan kepada PRT, sering kali pihak penyalur memotong gaji PRT setiap bulan dan pemotongan lumayan besar, dengan dalih bahwa PRT harus memberikan kontribusi kepada pihak penyalur karena pihak penyalur telah memberikan pekerjaan.
Hal di atas menjadi hal yang lumrah, apalagi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Tangerang dan kota-kota lainnya. Penyalur dengan mengambil peran penting inilah yang membuka cela terjadinya pelanggaran yang memungkinkan dialami oleh PRT, yang dimana seharusnya terkait dengan sebelum, selama dan sesudah bekerja peran pemerintah seharusnya mendominasi.
Banyak spekulasi terkait dengan RUU PPRT jika disahkan sebagai undang-undang. Spekulasi tersebut antara lain, apabila PRT diatur akan menyebabkan lapangan kerja PRT menjadi berkurang atau masyarakat tidak mau lagi menggunakan jasa PRT. Hal tersebut menurut penulis bukan point utamanya, adanya PRT sebagai pekerja juga perlu dilindungi dan berhak atas hak-haknya. Lantas, jika demikian sesuai dengan pemaparan sebelumnya, apakah PRT dibiarkan saja atau tidak perlu diatur?, tentu tidak, dan disinilah peran negara seharusnya mewujudkan kepastian hukum bagi PRT serta keadilan bagi PRT dan pemberi kerja dalam hubungan kerja.
PRT sebagai pekerja juga perlu kesejahteraan. Penulis rasa dengan tidak sedikitnya perempuan bekerja di luar rumah atau publik, tentunya setiap rumah tangga akan selalu membutuhkan PRT untuk mengurus urusan rumah, sehingga kedepan kebutuhan rumah tangga akan PRT akan selalu ada, tinggal bagaimana negara mengaturnya.
Penundaan pembahasan RUU PPRT sama dengan mengabaikan perlindungan PRT. Penulis rasa dengan RUU PRT tak kunjung disahkan menjadi undang-undang, menimbulkan banyak pertanyaan terkait dengan keseriusan para wakil rakyat di Senayan. Jika memang DPR serius pasti RUU tersebut sudah menjadi undang-undang, dan tidak hanya itu saja Presiden Jokowi juga sudah memberikan lampu hijau terkait dengan RUU PPRT menjadi undang-undang. RUU PPRT merupakan pertimbangan kemanusiaan.
Penulis: Raineldis Bero, Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP PMKRI