RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Berpotensi Diskriminatif

JAKARTA, VERBIVORA.COM- Pengurus Pusat (PP) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia mengapresiasi kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang telah
mengesahkan Rancangan Undang Undang Tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan
menjadi RUU inisiatif DPR RI pada Rapat Baleg (Kamis,13 September 2018). Rapat
Baleg telah menyetujui RUU ini sebagai usul inisiatif DPR, selanjutnya RUU
tersebut akan dibawa ke paripurna dalam waktu dekat untuk dimintakan
persetujuan.

Sebelum pada tahap pembahasan dan
disepakati dalam paripurna, draf RUU tersebut harus bisa dikritis kembali oleh
publik. Sebisa mungkin Baleg DPR RI sebagai penginisiatif dalam waktu yang ada
ini harus meminta masukan dari para stakeholder baik dari pimpinan pondok
pesantren juga dari lembaga keagamaan misalnya dari KWI dan PGI terhadap
beberapa pasal yang polemik, sebab RUU ini tidak hanya mengatur pendidikan
agama Islam saja seperti pesantren dan Madrasah Diniyah, tapi pendidikan semua
agama yang sah di Indonesia.
Pesantren dan pendidikan keagamaan
lainnya selama ini dipandang menjadi tulang punggung pembinaan moral, etika,
dan mental anak bangsa. Institusi pendidikan tersebut sudah ada sejak sebelum
Indonesia merdeka. PMKRI sepakat jika salah satu poin penting dalam RUU
tersebut adalah alokasi anggaran pendidikan, sebab kepentingan yang sangat
mendasar itu adalah politik alokasi anggaran. Ini harus jelas berpihak sebagai
dukungan negara terhadap kepastian sistem dan sarana prasarana pendidikan yang
baik pada pesantren dan keagamaan lain.
Olehnya bagi PMKRI, bila RUU ini
dimaksudkan sebagai kebijakan untuk mendorong peningkatan perhatian negara atau
pengakuan politik negara (political recognition) terhadap keberlangsungan
pesantren dan Pendidikan keagaman yang lain akan lebih besar termasuk dalam hal
kebijakan anggaran, maka semestinya perhatian itu tidak harus sampai
mengintervensi hak privasi keagaman yang tersalur lewat pendidikan nonformal
seperti sekolah minggu, sekolah alkitab, remaja gereja, pemuda gereja,
katekisasi, atau bentuk lain yang sejenis menjadi pendidikaan formal yang di
atur dalam undang-undang.
Sikap ini sebagai tanggapan PMKRI
terhadap polemiknya Pasal 69 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 70, Pasal 85 ayat (3)
dan ayat (4), dan Pasal 86 dalam RUU Tentang Pesantren dan Pendidikan
Keagamaan. Pendidikan keagamaan nonformal dalam Kristen dan Katolik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 85 semestinya tidak harus diatur dalam
program kurikulum apalagi harus ada pembatasan jumlah peserta yang menurut RUU
paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik. Padahal kegiatan keagaman
seperti yang tersebut di atas adalah bagian dari pengembangan iman dan
pengetahuan keagamaan umat, khususnya kalangan anak-anak dan remaja gereja.
Esensi kegiatan ini adalah bagian dari urusan peribadahan agama yang tidak bisa
diintervensi oleh negara.
Selain itu, menjadi persoalan lagi
adalah pendidikan keagamaan nonformal Kristen dan Katolik tersebut juga wajib
mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi
ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan Pendidikan. Bagaimana mungkin
sebuah pendidikan yang nonformal dan bersifat keagamaan harus memperoleh izin
dari kementerian yang membidangi urusan agama di tingkat kabupaten/kota, diberikan
nomor register dan harus memenuhi berbagai macam syarat dan standar
pendiriannya yang diatur dalam Pasal 18 RUU ini. Bila karena kata “sekolah
mingguan” kemudian ditarik lurus pengertian dari kata sekolah tersebut sehingga
perlu diatur dalam sebuah undang-undang, maka negara gagal memahami arti
sekolah mingguan dan sejenis lainnya tersebut.
Ayat (1) Pendidikan Keagamaan dapat
didirikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Ayat (2) Syarat pendirian satuan
Pendidikan Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

Isi pendidikan/kurikulum;
Jumlah dan kualifikasi pendidik dan
tenaga kependidikan;
Sarana dan prasarana yang
memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran;
Sumber pembiayaan untuk kelangsungan
program pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik
berikutnya;

Sistem pembinaan; dan  manajemen serta proses pendidikan.

Ayat (3) Pendirian Lembaga Pendidikan
Keagamaan formal oleh masyarakat harus berbentuk badan hukum.
Ayat (4) Pendirian satuan Lembaga
Pendidikan Keagamaan wajib memperoleh izin dari kementerian yang membidangi
urusan agama di tingkat kabupaten/kota.
PMKRI melihat ada potensi campur
tangan negara yang sangat jauh masuk mengurus kebebasan berekspresi dalam berkeyakinan
dan beragama warganegaranya. RUU ini berpotensi menjadi alat bagi
kelompok-kelompok tertentu untuk bisa melakukan pembubaran dan mempersekusi
dengan kekerasan terhadap aktivitas pendidikan nonformal agama Katolik dan
Kristen.
Oleh karena itu PMKRI memandang perlu
untuk melakukan kajian secara menyeluruh. RUU Pesantren dan Keagamaan tidak
hanya membahas terkait pendidikan agama Islam saja namun, RUU tersebut juga
mengatur terkait agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Olehnya
harus dilakukan sesuai dengan prinsip persamaan dan tidak diskriminatif. Baleg
DPR RI perlu membuka ruang semua pihak duduk melakukan pembahasan bersama agar
tidak terjadi multipaham dari maksud dan tujuan didorongnya RUU ini.

Sumber: Pers release PP PMKRI yang ditandatangani oleh Ketua Presidium PP PMKRI, Juventus Prima Yoris Kago 

Exit mobile version