Rupiah Dalam Nalar Kritis Mahasiswa, Sebuah “kado” Perjalanan Pemerintahan Jokowi-JK.

Foto. Benediktus Papa

Oleh: Benidiktus Papa*

Beberapa hari terakhir kita dipertontonkan oleh aksi demonstrasi atas dasar kegelisahan rakyat terhadap kondisi perekonomian bangsa akibat  nilai kurs rupiah yang semakin melemah. Sebagaimana  data terakhir Bank Indonesia, nilai rupiah berada pada angka 14.938 per dollar amerika setelah sebelumnya sempat tembus diangka 15.029.

Josua Pardede,  ekonom Bank Permata  dalam sebuah tulisan,  melihat pelemahan nilai tukar rupiah beberapa waktu ini masih didominasi oleh faktor eksternal yakni respons bank Central China mengantisipasi dampak perang dagang antara AS dan China dengan melemahkan nilai tukar Yuan terhadap dolar AS, sehingga mendorong pelemahan nilai tukar negara berkembang lainnya termasuk Rupiah. 

Berlanjutnya normalisasi kebijakan moneter AS juga mempengaruhi keluarnya dana-dana asing di pasar keuangan negara berkembang dan lain lain.  Terlepas dari berbagai macam faktor yang mempengaruhi pelemahan rupiah sampai  hari ini,  masyarakat kecillah yang merasakan dampak paling pahit. Naiknya harga-harga bahan  pokok industri kecil dan menengah telah menaikkan harga sembako di pasar menjadi ancaman tersendiri yang harus kita terima.

Dalam menghadapi kondisi rill tersebut, sikap kritis dari berbagai pihak menjadi sangat relevan sebagai penyambung suara rakyat kecil. Para petani, nelayan dan kelompok  lain masyarakat bawah tak mempunyai ruang waktu  yang cukup untuk  menyuarakan jeritan mereka di depan rezim penguasa.  

Sehingga harapan satu-satunya yang dimiliki mereka ada pada suara dan nalar kristis mahasiswa dalam menghadapi persoalan tersebut. Nalar kritis yang dimaksudkan disini adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangkan berpikir secara radikal dan sistematis untuk memperoleh kesimpulan yang memilik nilai kebenaran. Nilai kebenaran inilah yang akan menjadi pertanggungjawaban moralitas atas perjuangan itu sendiri.

Jika kebenaran pada satu kesimpulan nalar dapat terbantahkan,  maka  tidak dapat diperhadapkan bahkan dipertontonkan terhadap publik. Oleh karenanya, melihat aksi mahasiswa dalam merespon persoalan bangsa termasuk lemahanya nilai rupiah saat ini,  hendaknya ditelisik  sedari awal pijakan argumentasi gerakannya.  

Respon Kritis Mahasiswa Harus Bebas Dari Gerakan Pragmatis

Gerakan mahasiswa yang dibangun atas dasar nilai kemanusiaan merupakan  ciri klasik yang membangkitkan semangat untuk bergerak dan mampu mendapatkan legitimasi kuat  sebagai  perwalian rakyat. Jika kita review ke belakang cukup banyak gerakan aksi yang berhasil karena dijiwai nilai  luhur kemanusiaan yang terbebas dari pragmatisme kepentingan sesaat, terlebih kepentingan sekelompok orang saja .

Di lain sisi kita juga pernah merasakan bahkan melihat dengan terang benderang,  gerakan yang dibangun hanya atas dasar kebencian, perbedaan pilihan, dan bahkan karena perbedaan kepentingan  sesaat. Terbungkus dengan rapi dalam “tema besar” yang didesain sedemikian rupa untuk memaksa publik menerima dengan lapang dada sekaligus  irasional.

Saya mencoba menggaris bawahi poin tentang perbedaan kepentingan, sebagai satu contoh realitas dalam gerakan untuk merebut ambisi. Pada posisi tersebut moralitas gerakan hilang ditelan besar dan beratnya kepentingan, menutup ruang kritis mahasiswa yang bebas dan merdeka yang pada akhirnya hanya akan menghilangakn kepercayaan masyarakat terhadap fungsi mulia mahasiswa sebagai agent control dan  perubahan bangsa.

Kemudian memasuki ruang publik kita, tentang kondisi pemerintahan saat ini. Melemahnya nilai rupiah seperti yang coba ditelisik di awal adalah kejutan besar pemerintahan saat ini. Pemerintah  gagal dalam mengatasi fenomena tersebut  sedari awal. Locus pembangunan pada segi infrastruktur membuat pemerintah tutup mata dalam soal lain.

Pemerintah terobsesi dengan cara China tumbuh dan bangkit menjadi negeri besar dengan memberikan porsi sebesar-besarnya  pada pembangunan infrastruktur  namun lupa bahwa China lihai dalam percaturan ekonomi sejak awal, disinilah perbedaan kita,Indonesia sekarang ini. Gerakan mahasiswa akhir-akhir ini sebagai respon atas situasi perekonomian bangsa, harus dipandang dalam bingkai pemikiran  positif. Terjebak dalam paradigma politis setiap gerakan kemahasiswan merupakan  sikap yang tidak elok dan arif.  

Jikalau gerakan itu berangkat dari nalar kritis  berdasar kemanusiaan maka pemerintah  harus angkat topi dengan mereka. Bagaimana pun, ditengah realitas dunia mahasiswa apatis, mereka telah mengorbankan waktu dan akademik atas nama kepentingan umum mereka menjadikan jalan sebagai tempat perjuangan berkawan hujan, terik matahari dan debu.

Gerakan tersebut sepertinya ini menjadi  kado pemerintahan Jokowi-JK  jelang akhir pemerintahannya.  Jika gerakan ini terus menerus tanpa ada jalan konkrit dari pemerintah sebagai jawaban atas keresahan rakyat, tersebut maka akan berpotensi mengubur dalam-dalam semua catatan  keberhasilan  pemerintahan Jokowi-JK tentang  pembangunan infrastruktur sekaligus mengganggu legitimasi Jokowi sebagai “bapak pembangunan” era reformasi.

Akhirnya, kita berharap nalar-nalar kristis para pejuang jalanan  akan menemukan nilai kebenarannya  dalam sebuah catatan sejarah tentang angka rupiah sebagai kado akhir perjalanan pemerintahan Jokowi-JK .

Salam,

Kita_Indonesia.

*Penulis adalah Wakil Sekjen 2 PP PMKRI St. Thomas Aquinas Periode 2018/2020. Mantan Ketua Presidium PMKRI Cabang Makassar Periode 2016/2017

RELATED ARTICLES

Most Popular