Rekonsolidasi Gerakan Dibalik Ilusi Kesejahteraan Buruh

Jakarta, verbivora.com – Tanggal 1 Mei merupakan momentum reflektif kelas pekerja dalam sejarah panjang perjuangan kelas buruh di dunia. Perjuangan kelas buruh dilatarbelakangi keresahan dan ketertindasan yang dialami oleh buruh dalam sistem kerja di Chicago-Amerika Serikat pada tahun 1800an. Perlawanan kelas pekerja yang diwarnai dengan pemogokan massal dan demonstrasi berdarah dalam menuntut delapan jam waktu kerja, waktu istirahat dan waktu rekreasi menjadi catatan dan referensi gerakan buruh internasional dalam menuntut hak-hak yang layak termasuk gerakan buruh di Indonesia.

Hari buruh Indonesia selain terinspirasi dari ekspresi perlawanan kelas pekerja dunia, tidak terlepas dari sistem yang diberlakukan oleh rezim penjajah saat menguasai pabrik, pertanian dan perkebunan di era pra kemerdekaan. Sumber daya alam yang dikuasai penjajah, membuat masyarakat harus tunduk dan taat pada aturan kerja yang dibuat kolonialis. Tenaga kerja dieksploitasi untuk melayani dan mengikuti kebutuhan para penjajah ditengah situasi ketertindasan

Pasca kemerdekaan, Presiden Soekarno menetapkan secara resmi Hari Buruh pada 1 Mei 1948 sebagai simbol perjuangan dan kemenangan para buruh. Penetapan hari buruh tentu tidak sekedar seremonial bagi kelas pekerja melainkan alarm pembebasan untuk seluruh elemen buruh dalam memperjuangkan nasib dan haknya sebagai pekerja. Buruh yang memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan nasional selayaknya mendapat perhatian serius dari pemerintah terkhusus soal upah dan perlindungan kerja

Keberadaan buruh yang menggantungkan hak hidup dan kehidupannya di sektor industri, pabrik, perusahaan yang notabene dibawa kendali sistem yang pro pasar atau swasta sebagai konsekuensi dari tuntutan hidup. Menguatnya posisi pasar dalam menguasi, mengontrol dan menikmati hasil eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya kerja tidak berimplikasi nyata dalam kesejahteraan dan keadilan bagi para pekerja.

Lemahnya peran negara dalam membuat regulasi dan kebijakan yang bermuara pada kelayakan kerja, perlindungan dan kesejahteraan pekerja sampai hari ini masih menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam membuat regulasi yang ketat terkait upah pekerja hingga perlindungan para pekerja. Banyak pekerja yang menjadi korban dari putus hubungan kerja (PHK), mendapat upah yang kecil sehingga sulit untuk memenuhi hidup kebutuhan yang layak

Kondisi Yang Dihadapi Buruh Beberapa Tahun Terakhir

Buruh adalah bagian dari kelas ekonomi sosial menengah kebawah, ketiadaan alat produksi dan ketidakcukupan hasil produksi secara mandiri membuat buruh harus menjual tenaganya ke pasar  untuk menjadi pekerja. Sebagai pekerja, ia harus mengikuti  aturan kerja dan upah yang telah ditetapkan serta regulasi yang mengontrol pola kerja.

Kesejahteraan buruh, secara umum masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah mendatang. Data yang diolah Litbang kompas  menunjukkan kenaikan upah minimum buruh terus menurun akibat formula pengupahan yang terus berubah dalam satu dekade terakhir. Kondisi ini tidak sebanding dengan biaya hidup yang semakin meningkat.

Pada periode 2015-2024, kenaikan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) berkisar 13,1-0,6 persen atau rata-rata 6,6 persen per tahun. Puncak kenaikan pernah terjadi pada 2014 di angka 22,2 persen, kemudian menurun sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 hingga PP Nomor 51/2023 tentang perubahan atas PP Nomor 36/2021 tentang Pengupahan. Terkini, kenaikan rata-rata UMP tahun 2024 hanya 2,4 persen

Di sisi lain, kinerja industri manufaktur secara umum terus membaik. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kontribusi industri pengolahan pada produk domestik bruto (PDB) naik menjadi 18,67 persen pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 18,34 persen. Adapun proporsi biaya pekerja industri manufaktur sepanjang 2016-2022 rata-rata hanya 2,20 persen. Jika ditambah dengan pajak dan tunjangan, jumlahnya tak lebih dari 5 persen

Baca: Merindukan Parlemen Dihuni Macan Oposisi

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (Garteks KSBSI) Trisnur Priyanto, Senin (29/1/2024), di Jakarta, berpendapat, sejak pemerintah mengganti formula kebutuhan hidup layak (KHL) dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, keberpihakan pemerintah kepada pekerja secara tidak langsung tidak ada lagi. Posisi pekerja dipandang sebatas ”komoditas”, bukan aset sumber daya manusia yang semestinya dijaga dengan baik. (JAKARTA, KOMPAS)

Dalam aspek perlindungan pekerja, Kementerian Tenaga Kerja mencatat tenaga kerja pada periode Januari-Maret 2024 terdapat 12.395 orang tenaga kerja yang ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sekitar 42,15 persen dari jumlah keseluruhan kasus yang dilaporkan. Ini menandakan selain masalah upah yang minim buruh juga diterjang oleh kebijakan yang tidak berpihak pada pekerja.

Ketidakseimbangan antara upah dan kebutuhan yang dialami oleh buruh membuat hidup mereka berjarak dengan kesejahteraan padahal kebutuhan untuk menghidupi keluarga dan membiayai kebutuhan hidup baik untuk sektor ekonomi dan pendidikan terus meningkat. Dalam aspek perlindungan kerja, para pekerja sangat rentan dengan masalah PHK.

Ditengah ketidakcukupan upah yang diterima, buruh juga mengalami keterbatasan akses dan capital untuk memperjuangkan hak kerja mereka terhadap kasus PHK yang menimpanya. Disisi lain negara absen untuk mengawasi dan mengambil sikap yang tegas terkait perilaku pasar atau perusahaan yang tidak pro pekerja sehingga ketidakberdayaan buruh dalam multi aspek secara sadar terkunci dalam ilusi kesejahteraan.

Peran Pemerintah dan Gerakan Buruh

Salah satu tugas negara adalah membuat regulasi yang adil untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat. Indonesia ditengah arus investasi dan sektor industri yang terus melaju hari ini secara otomatis berimplikasi nyata bagi peluang para pekerja untuk bekerja pada sektor perburuan.

Implikasi positif dari melebarnya ruang bagi para pekerja tentu tidak terlepas dari tantangan-tantangan yang lazim terjadi .Salah satu yang paling nyata, kecenderungan sikap pemerintah yang lunak pada sistem pasar alias pro capital sehingga hak atas upah dan hak atas perlindungan kerja para buruh tidak diperhatikan dengan serius

Kelunakan itu ditandai dengan pengesahan Undang-Undang ciptaker (omnibuslaw) yang secara substansial menjustifikasi kemesraan antara penguasa dan pengusaha serta mengesampingkan kepentingan buruh baik soal hak cuti, pesangon, upah, perlindungan kerja maupun kesejahteraan kerja

Baca: Dugaan Penyiksaan Warga Sipil Papua oleh Oknum TNI: PMKRI Minta Penegakan Hukum yang Adil

Kompleksitasnya permasalahan yang meliliti kehidupan para pekerja, seharusnya pemerintah  berkomitmen dan berani dalam menciptakan iklim dan regulasi yang menjamin kelayakan upah dan perlindungan kerja bagi para pekerja tanpa diatur-atur oleh pengusaha (capitalis)

Disisi yang lain, masyarakat sipil perlu menata kembali gerakan terkait perjuangan kelas pekerja. Gerakan buruh sebagai salah satu pelopor bagi perjuangan buruh sudah saatnya untuk merekonsolidasi dan memimpin ulang tuntutan primer parah buruh dalam memperjuangkan kesejahteraan dan kesetaraan kelas pekerja.

Sejarah telah mencatat hanya dengan kesadaran dan perjuangan kolektif para buruhlah, kelas pekerja di pabrik, industri dan  perusahan-perusahan  bisa menekan pemerintah dalam mengubah nasib mereka dari ilusi kesejahteraaan palsu.

 

 

Penulis : Balduinus Ventura, Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI

 

 

 

 

Exit mobile version