Rayakan Dies Natalis ke 55, PMKRI Siantar Soroti Kerusakan Alam Danau Toba

Ket. Momentum perayaan dies natalis PMKRI Siantar ke 55 tahun. 

PEMATAGSIANTAR, VERBIVORA.COM- Perhimpunan Mahasiswa Katolik Repubulik Indonesia (PMKRI) Pematangsiantar  kini menapaki usia  senjanya yang ke 55 tahun.  Momentum dies natalis ke 55  tersebut jatuh  pada Jumat, 4 Oktober 2019.

Perayaan dies natalis yang dihimpun oleh verbivora.com diwarnai oleh beberapa kegiatan diantaranya yakni mengadakan diskusi publik dengan  tema, “Danau Toba dan Kesejahteraan Masyarakat” dan beberapa kegaitan menarik lainnya. 

Dalam kegaiatan diskusi publik, PMKRI menghadirkan beberapa pihak dari lintas elemen. Diantaranya, Gagarin Sembirng selaku wakil genaral meneger Geopark Kaldera Toba, Ricard Sidabutar mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2014-2019, Anton Sipayung  selaku  Menejer kajian WALHI Sumatera Utara, dan Suparno Mahulae, Komisaris Daerah PMKRI Sumatera Utara.

Menurut Anton, permasalahan Danau  Toba saat ini sudah sangat kompleks terutama dalam kesehatan ekosistem Danau  Toba.

Danau Toba, paparnya, kini tak ubahnya tempat sampah  raksasa dimana sampah dari aktivitas industri, perhotelan, dan  juga warga sekitar semuanya mengarah ke Danau Toba. Sehingga potensi kerusakan Danau Toba sudah  nyata terjadi. 

“Hal ini juga diperparah dengan hadirnya perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan Danau Toba sebagai tempat indsutri mereka. Dari kasus-kasus ini, kita butuh waktu lama untuk menetralisir kembali kebersihan air Danau Toba.” tegas Anton dalam diskusi publik tersebut. 

Selanjutnya, Gagarin Sihombing  yang merupakan perwakilan dari Geopark Kaldera Toba menjelaskan bagaimana kedudukan lembaga ini dalam hal pengembangan destinasi wisata Danau Toba.

Ia mengatakan, Geopark Kaldera Toba dibentuk  karena  keinginan kolektif dari masyarakat untuk serius menangani Danau Toba, hal  ini direspon oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, maka dibentuklah badan ini sekaligus bersinergi dengan Badan Otorita Danau Toba (BODT)  dan dinas parawisata. 

“Dalam hal pengembangan Danau Toba, perlu adanya pendekatan  soft tourism dan membangun narasi kebudayan dari mitos menjadi logika sehingga memiliki nilai jual di masyarakat.” Ungkanpya. 

Selain itu, Ricard Sidabutar menegaskan, pengembangan Danau Toba harus jelas arahnya kepada siapa dan menguntungkan siapa, jangan sampai keberadaan badan-badan bentukan pemerintah  ini hanya memuluskan jalan  para investor untuk masuk menjarah  Danau Toba. 

Menurutnya, regulasi pada dasarnya sudah disediakan oleh pemerintah. Sudah tersedia regulasi-regulasi mulai dari Peraturan Presiden hinggan Peraturan Gubernur. 

“Namun,  peraturan  ini sering sekali tidak mampu diterjemahkan dengan baik oleh para pemangku jabatan. Dan permasalahan keramba jaring apung (KJA) harus segera dibereskan.” tegas Richard. 

Sementara, Suparno mahulae yang juga mewakili kaum muda mengawali diskusi dengan dengan lagu Pulo Samosir ciptaan Namum Situmorang.

Ia mengatakan, sulit rasanya menemukan relevansi antara lagu tersebut apabila berkaca dari situasi Danau Toba saat  ini. 

Kepingan surga, lanjutnya, yang dilabeli kepada  Danau Toba dan Samosir pada khususnya kini semakin jauh dari harapan dan semakin menampakan wajah alam yang menakutkan. 

“Maraknya perusakan lingkungan  baik oleh korporasi maupun perseorangan semakin memperparah situasi Danau Toba.” katanya. 

Kegiatan diskusi diakhir dengan memberikan Ulos sebagai cenderamata kepada keempat narasumber dilanjutkan foto bersama. Setelah itu kegiatan dilajutkan dengan perayaan dies natalis berupa potong kue, pengumuman pemenang lomba cipta puisi, dan kegiatan menarik lainnya. (y/s)*

RELATED ARTICLES

Most Popular