Rapuhnya Mahkamah Konstitusi Indonesia

Jakarta, Verbivora.com – Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Lembaga Negara yang lahir dari proses demokrasi dan demokratisasi di Indonesia. Runtuhnya rezim Orde Baru melahirkan konsep dan gagasan baru dalam menata ulang politik dan sistem hukum di Indonesia. Output dari reformasi politik dan hukum itu dibuktikan dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan lahirnya Mahkamah Konstitusi yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kehadiran Lembaga ini sebagai salah satu Institusi negara yang berkewenangan untuk menjaga dan menegakan nilai-nilai konstitusional yang demokratis.

Dalam spirit awalnya eksistensi dan urgensi Mahkamah Konstitusi tidak sekedar untuk menjalankan tugas yang sifatnya hukum tertulis (normative-positifistik) tetapi juga bisa menegakan nilai-nilai demokrasi dan keadilan yang hidup di masyarakat. Keberadaan Mahkama konstitusi sebagai pertentangan politik orde baru dituntut untuk mampu menghentikan praktik-praktik politik kolutif, kebijakan publik yang tidak berkeadilan dan penegakan hukum yang koruptif – diskriminatif. Mahkamah Konstitusi juga dituntut untuk mengawal dan mewujudkan nilai, cita-cita dan visi seluruh masyarakat Indonesia.

Belenggu hak politik dan hak asasi manusia yang terjadi pada era Soeharto berakibat fatal pada kehidupan rakyat. Lembaga penegak hukum hanyalah corong kekuasaan semata. Hukum ditegakan bukan untuk menciptakan rasa keadilan ditengah masyarakat justru untuk kepentingan penguasa. Banyak produk hukum yang dibuat untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan sementara rakyat hidup dalam keterhimpitan dan pembungkaman absolut di bawah rezim otoritarian. Disinilah semangat dan spirit lahirnya Mahkamah Konstitusi sehingga rakyat punya harapan dalam memperjuangkan dan mewujudkan hak politik, hukum, sosial, budaya dan seluruh hak konstitusionalnya.

Realitas Politik dan Tubuh Mahkamah Konstitusi

Belakangan ini ruang publik selalu dihebohkan dengan pembicaraan terkait Mahkamah Konstitusi, pasalnya lembaga ini sebagai salah satu Lembaga mulia yang harus dijaga kemuliannya oleh siapapun termasuk oleh Lembaga politik lainnya. Mahkamah Konstitusi sebagai produk konstitusi memiliki tugas konstitusional untuk menguji semua Undang-Undang yang dibuat, baik oleh Dewan Perwakian Rakyat maupun bersama pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat sebagaimana yang tertuang dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Tapi pada realitasnya akhir-akhir ini, banyak rakyat yang justru meragukan independensi dan integritas Mahkamah Konstitusi.

Selain persoalan integritas Mahkamah Konstitusi juga dianggap memiliki konflik kepentingan baik dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat maupun pemerintah. Marwah Mahkamah Konstitusi dianggap tidak berpihak pada denyutan jantung persoalan rakyat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dianggap telah mencederai etika demokrasi karena alasan-alasan yang potensialitas merusak kehormatan Mahkamah Konstitusi yang memiliki peran dan fungsi utama menjaga konstitusi. Ada beberapa indikasi bahkan putusan-putusan Mahkama Konstitusi yang dianggap kurang tepat dan menimbulkan ambiguitas di tengah publik,

Pertama , putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Cipta Kerja atau biasa disebut omnibuslaw No. 91/PUU-XVIII/2O2O tentang Inkonstitusional bersyarat pada pengujian formil Undang-Undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasca putusan tersebut banyak pakar yang merasa aneh dengan keputusan tersebut. Pasalnya pasca pembacaan putusan tersebut presiden menerjemahkan secara terbalik di depan publik melalui media televisi. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi terkesan tidak mengikat kekuasaan untuk membatalkan seluruh produk hukum yang lahir dari omnibuslaw dalam hal ini peraturan pemerintah. Hal Ini menunjukan suara penolakan publik melalui rentetan demonstrasi di jalanan tidak terakomodir secara tegas oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya.

Problem dalam Undang-Undang Omnibuslaw adalah banyak pasal-pasal yang secara substansial atau materi tidak berpihak pada masyarakat kecil dan merusak lingkungan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi terkesan ambigu dan tergesa-gesa dalam putusan tersebut. Konsekuensi hari ini banyak publik yang mengganggap bahwa kalau Mahkamah Konstitusi pro rakyat kenapa tidak dibatalkan secara materi. Dalam pengertian Mahkamah Konstitusi harus menguji juga secara substansi problem dalam omnibuslaw sehingga rakyat tidak terkesan dipermainkan. Peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dan lembaga terakhir untuk menjamin keadilan pada rakyat justru bersikap inkonsistensi dan ambiguitas terhadap rakyat apalagi sampai hari ini banyak rakyat yang masih bingung terkait dengan tindaklanjut dari putusan itu. Masalah ekonomi, masalah agraria, masalah lingkungan masih terus terjadi di masyarakat pasca putusan itu dikeluarkan. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat merasa pesimis dan menduga ada konflik kepentingan yang mengakibatkan independensi dan integritas Mahkamah Konstitusi diragukan oleh publik.

Kedua, ketua hakim Mahkamah Konstitusi sebagai Ipar dari Presiden Jokowi. Sejak ketua hakim Mahkamah konstitusi menikahi adik kandung dari Presiden Jokowidodo, banyak akademisi dan intelektual hukum indonesia meminta Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi untuk mengundurkan diri dari hakim Mahkamah Konstitusi. Adanya keterikatan hubungan keluarga ini tentu menjadi problem dan gangguan bagi independensi hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga konstitusi. Tentu secara hukum mungkin tidak diatur tapi yang perlu dipahami bahwa, ada etika yang harus dijaga oleh seorang Mahkamah dalam menjaga marwah dan kehormatannya dari benturan apapun.

Dalam logika dan etika demokrasi, sebenarnya sikap dari ketua Mahkamah Konstitusi untuk tidak mengundurkan diri sebenarnya tidak etis dan mencorengi logika jernih dari demokrasi. Ada standar etis yang harus dijaga oleh Mahkmah konstitusi yaitu konflik kepentingan. Keterikatan hubungan keluarga berpotensi nepotisme dalam menjalankan tugas dan konflik kepentingan. Apalagi fungsi presiden memiliki keterhubungan langsung dengan Mahkamah Konstitusi lebih khusus terkait dengan produk Undang-Undang. Alasan etis ini yang seharusnya dipertimbangkan oleh ketua Mahkamah Konstitusi sehingga praktik-praktik etis demokrasi terus ditegakan terutama oleh penyelenggara negara termasuk Hakim Mahkamah.

Ketiga, putusan Mahkama Konstitusi No.68/ PUU-XX/2022 yang tidak mewajibkan menteri untuk mengundurkan diri jika mau mencalonkan diri sebagai calon presiden. Dari putusan ini kita melihat bahwa keputusan Mahkama Konstitusi mencederai nilai-nilai demokrasi dan tidak melihat konflik kepentingan pada tubuh kekuasan. Putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi mengakibatkan seorang pejabat Negara berperan ganda dalam menjalankan tugas negara dan tugas kepentingan politisnya. Sebagai pejabat negara menteri dibiayai oleh negara, dikasih mobil dan uang oleh negara untuk menyelenggarkan pemerintahan tetapi pada saat yang sama bukankah semua itu berpotensi disalahgunakan?

Hal ini yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena idealnya Mahkama Konstitusi bukan hanya berpatokan pada hukum tertulis tapi Ia harus punya stok moral dan nilai yang harus dijadikan prinsip dalam menjaga kejernihan dan cara bernegara yang konstitusional. Konfik kepentingan ini yang kemudian dijadikan titik awal lahirnya kolusi dan korupsi dalam menjalankan pemerintahan. So, seorang menteri potensialitas menggunakan uang rakyat untuk kepentingan dan keperluan kampanye bukan untuk mengurus rakyat.

Dari rentetan situasi diatas kita bisa melihat bahwa cita-cita awal dari urgensitas lahirnya Mahkamah Konstitusi masih jauh dari apa yang diharapkan untuk menghentikan seluruh kekacauan politik dan hukum yang selalu berupaya menabrak konstitusi. Dalam perjalanan spirit itu mulai memudar dan mengesampingkan rasa keadilan pada rakyat dan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi. Jadi harapan publik, Mahkamah Konstitusi untuk selalu membuka diri terhadap kritik publik dan kembalikan marwah dan spirit awal sejarah agar kepercayaan rakyat kembali pulih, berani menegakan fungsi dan kewenangan secara objektif serta berani membatalkan kebijakan hukum yang tidak pro rakyat demi keadaban demokrasi yang lebih baik tanpa ada intervensi yang meruntuhkan kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Oleh : Balduinus Ventura (Ketua Lembaga Advokasi Hukum & HAM Pengurus Pusat PMKRI)

Exit mobile version