Radikalisme dan Adab Hukum Kita

Radikalisme adalah paham yang menekankan perubahan atau pembaharuan yang fundamental dalam berbagai aspek kehidupan seperti sosial politik di masyarakat. Paham ini berkembang pada abad ke 18 di Britania Raya.
Radikalisme dan Ujaran Kebencian: Posisi Hukum Kita - image source: boredpanda.com

Di masa itu, ‘partai kiri jauh’ menentang ‘partai kanan jauh’ dengan menuntut reformasi sistem pemilihan (parlemen) secara radikal. Dalam pemaknaan awal, radikalisme mengacu pada tuntutan fundamental atas suatu pembaharuan dan perubahan.

Dalam religiusitas, radikalisme dilatarbelakangi oleh tesis Huntington mengenai benturan antar-peradaban. Menurut Profesor Politik Harvard ini, peradaban barat akan mendapat ancaman dari peradaban Islam dan Konfusius.

Tesis ini kemudian dikritik oleh Said sebagai analisis yang berlebihan yang turut memproduksi interpretasi yang tidak berimbang tentang Islam. Dominasi dan distorsi interpretasi tersebut dijelaskan lebih lanjut oleh Bernard Lewis, orientalis dan sejarawan Islam, yang mengatakan bahwa diskursus mengenai radikalisme mulai berproses secara cepat pasca 11 September 2011.

Berangkat dari titik itulah Islam secara masif didefinisikan. Akan tetapi, produksi pengetahuan pasca tragedi tersebut mengundang komplain yang serius dari dunia Islam. Tidak semua muslim fundamentalis dan tidak semua fundamentalis teroris. Keduanya berkembang dari radikalisme dan visi keagamaan tertentu.

Radikalisme dalam Angka

Radikalisme agama di Indonesia berkembang pasca Orde Baru. Data yang dirilis oleh Wahid Foundation, sebagaimana yang dilansir kompas.com pada Senin 1 Agustus 2016, menunjukkan, dari proyeksi terhadap 150 juta masyarakat Indonesia, 7,7% atau 11 juta penduduk Indonesia siap bertindak radikal, 72% menolak tindakan radikal dan 0,4% pernah melakukan tindakan radikal.

Adapun responden yang tidak menentukan sikap berjumlah 19,9%. Sementara, pada 9 Agustus 2016, masih mengacu ke data Wahid Institute, antaranews.com menyebutkan, 80% pelaku bom bunuh diri berasal dari Jawa Barat.

Selama tahun 2014 telah terjadi pelanggaran intoleransi sebanyak 55 kasus di Jawa Barat. Yogya, di posisi kedua, memiliki kenaikan 20 kasus intoleransi dari tahun sebelumnya (2013) menjadi 21 kasus yang mana 11 diantaranya terjadi pada Islam dan Kristen.

Sebelumnya, di tahun 2015 kompas.com pada 16 November 2015 melansir rilis SETARA Institute terkait hasil indeks kota toleran 2015. Kota-kota tersebut, adalah Pematang Siantar, Salatiga, Singkawang, Manado, dan Tual. Menurut SETARA, kelima kota tersebut tidak mengeluarkan peraturan daerah yang diskriminatif. Selain itu, mereka sangat aktif mendorong dialog lintas agama.

Senada dengan ulasan sebelumnya, di akhir tahun 2016, Peneliti Kebebasan Beragama dan Berkayakinan (KBB) Halili Hasan, dalam pojoksatu.id Sabtu 3 Desember 2016, menyampaikan bahwa dari 10 daerah intoleran, 7 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Daerah-daerah tersebut adalah Bogor, Bekasi, Depok, Bandung, Sukabumi, Banjar, dan Tasikmalaya.

Radikalisme yang gencar dilakukan kebanyakan membawa target kalangan muda. Menurut Peneliti Lipi Anas Saidi, dalam lipi.go.id Jumat, 19 Februari 2016, radikalisasi ideologis menyasar anak muda dengan perguruan tinggi sebagai lokus sentrumnya.

Menurutnya, sejak penelitian tahun 2011 eskalasi gerakan radikalisme di kampus besar seperti UGM, UI, IPB, Unair, dan Undip terus berlangsung. Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian pada Oktober 2010 hingga 2011 dalam bbc.com Kamis, 18 Februari 2016 menunjukkan bahwa 50% pelajar setuju dengan tindakan radikal. 25% siswa dan 21% guru berpendapat bahwa Pancasila sudah usang.

Di sisi lain, 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan implementasi aturan agama tertentu di Indonesia. Bahkan ada 52,3% siswa yang setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama yang mana 14,2% darinya menyetujui adanya serangan bom.

Selain itu, survey The Pew Research Center tahun 2015, yang dikutip oleh internasional.kompas.com Sabtu, 21 November 2015, menunjukkan 4% atau 10 juta warga Indonesia mendukung ISIS. Parahnya, sebagian besar dari jumlah tersebut berasal dari anak muda.

Angka yang ditunjukkan oleh survey Maarif Institute lebih mengkhawatirkan lagi. Berdasarkan survey pada 98 pelajar SMA 40,82% menjawa bersedia dan 8,16% menjawab sangat bersedia untuk pernyataan penyerangan terhadap kelompok yang menghina agama.

Jumlah yang tidak bersedia 12,24% dan kurang bersedia 25,51%. Sebanyak 1,02% menjawab setuju, 65,31% menjawab tidak setuju, dan 20,41% menjawab kurang setuju atas pernyataan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum kafir. Pada pertanyaan apakah mereka setuju dengan pendirian negara Agama, 19,39 % menjawab setuju dan 3,06 % menjawab sangat setuju.

Adapun 34,69% menjawab tidak setuju dan 37,76% menjawab kurang setuju. Ketika ditanyakan kesediaan mereka untuk mengikuti ISIS berperang di Suriah, 3,06% menyatakan bersedia, sedangkan 83,86% menjawab tidak bersedia.

Terakhir, 6,12% menyatakan persetujuannya dengan bom bunuh diri. Sementara 79,59% menjawab tidak setuju terhadap indoktrinasi agama mengenai bom bunuh diri (nasional.kompas.com Rabu, 2 Maret 2016).

Radikalisme dan Ujaran Kebencian: Posisi Hukum Kita

Kita tentunya merinding dengan statistik yang dirilis oleh beberapa lembaga kajian dan survey di atas. Apa yang membuat kita cemas tentunya bukan persentasinya yang terbilang kecil tetapi eskalasinya yang terus masif dan berlanjut. Apalagi persentase terbesarnya diisi oleh generasi muda.

Hemat kami radikalisme masif terjadi, salah satunya, karena ujaran kebencian dimunculkan secara sistematis. Hal inilah yang menjadi latar belakang yang harus kita pertimbangkan kenapa ujaran kebencian yang mewujud dalam penistaan suku, agama, dan ras harus mendapat perhatian yang serius dari setiap kalangan. Hal ini disebabkan karena ujaran tersebut jelas-jelas memecah belah komponen bangsa.

Memang berbagai cara bisa kita lakukan. Ada banyak yang kemudian memproposalkan gerakan kebudayaan. Tetapi secara jangka pendek hal seperti ini harus dilakukan juga melalui mekanisme hukum yang berlaku. Hal ini mendesak mengingat kesamaan posisi warga di hadapan negara kurang mendapatkan perhatian yang serius akhir-akhir ini.

Negara cenderung bersikap apatis atau bahkan takut dengan segala bentuk gerakan radikalisme. Hal ini mungkin bisa sedikit dipahami mengingat ormas-ormas yang melakukan gerakan tersebut memiliki basis masa yang secara kuantitas patut diperhitungkan.

Tetapi secara prinsipil stabilitas sosial dan politik tidak bisa diukur dalam kacamata mayoritas dan minoritas. Secara prinsipil pembangkangan sipil seperti itu tentunya tidak bisa dibenarkan.

Hemat kami apapun gerakan yang kita lakukan untuk menghadang deradikalisasi harus secara simultan berjalan. Gerakan religius, sosial, dan kultural tentunya harus berbarengan juga dengan gerakan hukum yang berlaku. Bukankah hukum didasarkan pada nilai-nilai universal yang berasal dari sumber-sumber tersebut.

Oleh karena itu menjadi penting bagi kita untuk memperhatikan bahwa gerakan hukum yang kita bangun adalah gerakan hukum yang kultural juga agamis. Sekuat apapun tendensi wacana politik menyedot persoalan ini, konsistensi kita dalam mengawal proses hukum yang fair harus dikerangkeng dalam cara berpikir dan bertindak yang adil.

Hal ini bisa kita lakukan dengan mengawal wacana apapun yang membingkai proses pelaporan yang sedang berlangsung ini. Kiranya, bahasa non-kekerasan, verbal dan non-verbal, sebagaimana yang telah kita rekomendasikan kepada seluruh cabang di surat edaran awal harus mendapat perhatian yang serius.

Karena dengan cara itulah kita menjaga konsistensi kita. Jangan sampai, alih-alih melawan, kita malah jatuh dalam radikalisme verbal dan non-verbal yang sama. Kalau sudah seperti ini, mengikuti spirit injil marilah kita berefleksi dan bertanya, apakah jasamu?

Penutup

Apa yang menjadi persoalan serius adalah pemahaman tendensius kita bahwa gerakan radikal yang kita lawan berpusat pada oknum. Agama apapun, kita yakini, membawa perdamaian dan humanism yang universal. Hal ini harus kita sadari agar ketidakadilan interpretasi sebagaimana yang dikritik Said di atas tidak terulang kembali di dunia pertiwi ini

Setidaknya, dalam tulisan sederhana ini, kita mendapatkan persamaan persepsi tentang latar belakang dan urgensi dari pelaporan PP PMKRI pada 25 Desember 2016.


Fandis Nggarang
*Anggota Tim Lembaga Kajian, Penelitian, dan Pengembangan PP PMKRI

Exit mobile version