Foto. Dok. Pribadi. |
Oleh: Ovin Gili*
Apa itu pemimpin? Adakah makna nupsial dari pemimpin dalam keberadaanya di tengah pluralitas? Ki Hajar Dewantara pernah menggagas tiga falsafah kepemimpinan yang diyakini mampu menjembatani skeptisisme rakyat di Indonesia dewasa ini. Namun harapan tersebut bagaikan garam yang dibuang ke laut. Sungguh ironi yang memalukan bagi bangsa Indonesia.
Pemimpin transformatif adalah pribadi yang mampumenyeimbangkanactus ratio dan hati nurani dalam konstelasi kepemimpinannya.Idealnya seorang pemimpin adalah pribadi yang berani melepaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan kaku dalam kehidupan bermasyarakat yang bertentangan dengan maksim bonum commune(kebaikan bersama).De factopara pemimpin dewasa ini cenderung melakukan banyak penyimpangan.Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan salah satu indikator yang melegitimasi non sense-nyapemimpin (kratein)sebagai wakil demos (baca: rakyat). Alhasil, hal ini bermuara pada krisis kepemimpinan dimana demos tidak lagi menaruh kepercayaan dan simpati pada pemimpinnya.
Ki Hajar Dewantara
Sebagai tokoh pendidik dan pahlawan nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara telah lama memprediksi tentang hilangnya roh kepemimpinan sejati; roh yang memberi arah dan tuntunan kepada para pemimpin menuju kebaikan bersama. Inilah yang menjadi basis pertanyaan ketika iamenggagas tiga falsafah kepemimpinan (transformatif). Ketiga falsafah tersebut dibahasakannya dalamistilah: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”
Pertama,Ing Ngarso Sung Tuladha. Ungkapan iniberarti bahwa ketika seorang menjadi pemimpin, ia harus berada di depan untuk memberikan teladan bagi para down line (baca: orang-orang yang dipimpinnya). Konsekuensi moralnya adalahseorang pemimpin yang melakukan korupsi atau tindakan-tindakan lain yang melanggar moralitas dan wibawanya sebagai pemimpin maka ia akan “dihujat”.
Kedua,Ing Madya Mangun Karso, yang menyiratkan makna bahwa seorang pemimpin sejati harus juga berada di tengah-tengah down line-nya untuk melihat apa yang mereka lihat, merasakan apa yang mereka rasakan, serta membawa semangat egaliter dalam prospek untuk mencapai bonum commune sebagai maksim tertinggi. Di samping itu, seorang pemimpin yang berada di “tengah” pun harus mampu memberikan inspirasi bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga melalui tindakan konkrit untuk menjawab urgensitas aktual yang tengah dihadapi masyarakat.
Ketiga,Tut Wuri Handayani. Arti ungkapan ini adalah bahwa menjadi seorang pemimpin, ia harus berada di “belakang” down line-nya untuk melihat dan menilai job descriptionkepemimpinannya secara holitistik demi mencapai tata pemerintahan yang lebih baik.Berada di “belakang” juga berarti bahwa seorang pemimpin harus menaruh kepercayaan – dalam kadar tertentu – pada para down line-nya dalam menghadapi suatu persoalan.
Umumnya pemimpin yang baik dalam artian sejati tidak akan memarahi, mencela, ataupun membuat justifikasi atas kesalahan down line-nya, melainkan memberi arahan pada mereka untuk merefleksikan pengalaman “kegagalan”. Itu berarti seorang pemimpin harus menghindari sikap otoriter dan lebih mengandalkan pendapat bersama (deliberatif). Apabila di tengah jalan ada kendala yang menghambat usaha mencapai maksim, maka seorang pemimpin dalam kapasitasnya sebagai wakil demos harus mengambil tindakan solutif yang bijaksana.
Harapan dan Kenyataan
Berkaca pada kenyataan faktual akhir-akhir ini, agaknya “kompas” pembangunan bangsa Indonesia tidak sepenuhnya demokratis yang menjunjung tinggi ide “kedaulatan rakyat”. Hakikat demos dan kratosyang merupakan sifat esensial bangsa Indonesia telah direduksi oleh oknum-oknum tertentu. Sebut saja para oligarkdan kapitalis yang memiliki akses finansial yang tidak sedikit. Sebut saja, mereka adalah para pengusaha yang mengatur harga komoditi demi memperkaya diri sendiri; para legislatif atau eksekutif yang menetapkan kebijakan demi kepentingan pribadi dan golongannya. Atau sebut saja mereka adalah orang-orang “saleh” yang mengangkat senjata atas nama “Tuhan-nya”.Jika yang terjadi demikian, lantas muncul pertanyaan:quo vadis wakil demos?
Pemimpin sejati adalah pribadi yang mempunyai otoritas atau kewibawaan. Alasan fundamental mengapa seorang dipercayai sebagai pemimpin adalah karena ia telah menunjukkan integritas pribadi melalui teladan hidupnya. Apa yang dikatakan juga dihayati dalam perbuatan nyata. Sedangkan kepemimpinan lebih diartikan sebagai proses interaksi dinamis antara pemimpin dan down line-nya dalam rangka untuk mencapai idealisme atau cita-cita bersama. Maka seorang pemimpin pada tempat yang pertama adalah animator atau inspirator.
Pater Leo Kleden, SVD, dalam Jurnal Ledalero, melihat inspirasi tersebutsebagai ajaran dan teladan yang menggetarkan hati, sehingga orang sanggup melihat kenyataan secara baru dan tergerak dari dalam untuk mewujudkan apa yang diidealkan atau diilhami. Namun harus dipahami bahwa seorang pemimpin bisa menjadi inspirator karena ia telah lebih dahulu diinspirasi orang lain, situasi, lingkungan, bahkan oleh Tuhan sendiri. Gandhi diilhami oleh penderitaan rakyat India, Martin Luther King diilhami oleh kesengsaraan Negro-Amerika (2008: 256-257). Dalam konteks Indonesia, Jokowi(Presiden Indonesia saat ini) pun diilhami oleh pengalaman hidupnya yang sulit. Hal itulah yang membuat iasungguh menjadi inspirator hidup bagi para down line-nya. Bersama para down line, Jokowi semakin dekat pada Indonesia yang adil, makmur, dan beradab
Tiga falsafah kepemimpinan sebagaimana digagas oleh Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Indonesia) lebih merupakan imperatif hipotetis tanpa unsur kategoris bagi segenap pemimpin dimanapun mereka berada; khususnya Indonesia yang sedang mengalami krisis kepemimpinan multidimensi. Sebagai seruan aksara bisu, agaknya setiap orang yang merasa diri sebagai pemimpin perlu menggemakan hal tersebut dalam hidup dan karya sehari-hari. Hal ini diperlukan agar roh kepemimpinan sejati yang katanya telah hilang dapat tumbuh dan bersemi kembali di bumi Nusantara ini.Sebuah pertanyaan reflektif: sejauh mana falsafah kepemimpinan ala Ki Hajar Dewantara mengilhami para pemimpin dewasa ini? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh para demos dalam sekolah kehidupannya bersama kratein (baca: pemimpinnya).
Kiranya tulisan sederhana ini mampu menggugah para pemimpin dewasa ini untuk berkaca (baca: belajar) dari falsafah kepemimpinan ala Ki Hajar Dewantara. Percumalah orang mengenang hari kelahiran bapak pendidikan Indonesia (baca: HARDIKNAS) ini setiap tahun tanpa meresapkan hal ikhwal yang diamanatkan oleh beliau dalam pikiran, perasaan, dan kehendak masing-masing. Memang benar jika dikatakan bahwa tidak ada pemimpin yang sempurna, tapi baik juga bila diilhami bahwa seorang pemimpin dipanggil untuk menjadi “sempurna”.
*Penulis adalah Presidium Hubugan Luar Negeri PMKRI Cabang Maumere