Beranda Update Puluhan Tahun Konflik, Desa Bantala dan Wailolong Berdamai Melalui Jalur Adat

Puluhan Tahun Konflik, Desa Bantala dan Wailolong Berdamai Melalui Jalur Adat

0
Seremonial adat perdamaian antara Desa Bantala dan Wailolong Flores Timur

LARANTUKA, VERBIVORA.COM- Desa
Bantala dan Wailolong di Flores Timur yang berkonflik sejak tahun 1979 akhirnya
kembali berdamai. Seremonial perdamaian yang dalam bahasa adat Lamaholot
disebut dengan “raduk gelas” dan “bolak wua malu”, antar kedua
desa di Flores Timur dilakukan di rumah adat (Korke) desa Bantala pada Sabtu
(16/11/2019) kemudian dilanjutkan di rumah adat Desa Wailolong pada Senin,
18/11/2019.

Konflik antara kedua desa ini, bermula
dari bencana tanah longsor yang terjadi di Gunung Ile Mandiri pada tahun 1979
silam. Bencana ini kemudian menutupi sumber mata air yang dipakai oleh Desa
Wailolong.
Karena kesulitan mendapatkan sumber
mata air dari Gunung Ile Mandiri, masyarakat Desa Wailolong akhirnya mencari
sumber mata air yang baru. Pada waktu itu, di Desa Bantala yang letaknya
bertetanggaan dengan Desa Wailolong kebetulan memiliki sumber mata air Wai Luka.
Secara historis, kedua desa ini memiliki
hubungan erat yang dihimpun oleh Genial.id dari berbagai narasumber. Pembuktian
kekerabatan keduanya adalah, dibangunnya sebuah perkebunan pangan Ma Lema, yang
letaknya ditengah-tengah perbatasan antara Desa Bantala dan Wailolong.   
Dengan pertemuan yang terjadi di Ma
Lema antar kedua desa ini, perwakilan dari Desa Wailolong bertemu dengan Alm.
Yohanes Kebakut Hurit yang ketika itu menjabat sebagai kepala desa Bantala.  Yohanes Kebakut Hurit kemudian memberikan izin
survey mata air Wai Luka kepada pemerintah Desa Wailolong.
Saat survey, mereka (perwakilan Desa
Wailolong) menyatakan sumber air Wai Luka cukup untuk dialirkan ke Wailolong. Saat
itu musim hujan. Namun ketika musim kemarau, debit air berkurang di musim
kemarau puncak Bulan Oktober. Sehingga air yang didistribusikan untuk Desa Bantala,
Riangkotek dan Desa Painapang berkurang drastis. Bahkan ada kran yang tidak
bisa lagi dialiri air untuk kebutuhan masyarakat tiga desa tersebut.
Kejadian tersebut menimbulkan
keresahan dari tiga desa (Bantala, Riangkotek dan Painapang). Selanjutnya
masyarakat dari tiga desa, turun melihat ke mata air Wai Luka. namun yang
didapati, di mata air Wai Luka sudah terpasang pipa aliran air menuju Desa Wailolong.
Padahal sebelumnya, izin yang diberikan oleh Kepala Desa Bantala Yohanes Kebakut
Hurit, adalah hanya izin survey dan bukan izin pemasangan pipa.
Sejak kejadian tersebut, konflik soal
air antara Desa Bantala dengan Wailolong sering terjadi sampai dengan puncak
konflik pada 1981.  Puncak konflik itu
menimbulkan, tidak ada lagi kerjasama di lokasi milik bersama kedua desa untuk
lahan pertanian pangan Ma Lema.
Konflik ini kemudian merambat hingga
ke pasar Oka Lama. Para ibu-ibu dari Desa Bantala yang beraktivitas ke Pasar Oka,
dihadang dan terjadi insiden.  Masyarakat
Wailolong menarik pakaian ibu-ibu dari Desa Bantala.
Kasus ini semakin memperparah
hubungan kedua desa ini. Masyarakat Desa Bantala kemudian menyatakan untuk perang
adat ke Desa Wailolong. Namun niat ini sudah tercium lebih dahulu oleh aparat
keamanan Polres dan Kodim Flores Timur. Sehingga, upaya pencegahan terjadinya
peperangan cepat dilakukan aparat sebelum terjadinya peperangan.
Kejadian ini berlanjut sampai ke
kebun pertanian pangan Ma Lema yang siap tanam terpaksa ditutup hingga tanggal
9 Oktober 2019.
Karena menyadari, konflik yang terus
dipendam ini tidak baik untuk generasi selanjutnya, maka upaya perdamaian terus
dilakukan semenjak kepala Desa Bantala Yohanes Kebakut Hurit hingga masa
kepemimpinan Kepala Desa Bantala saat ini Ciprianus Rape Liwun.
Di masa inilah kepada desa Bantala Ciprianus
membangun komunikasi melalui pembukaan lahan pertanian pangan di lokasi Eta Ma
Lema. Dengan prinsip pembangunan desa yaitu, membangun desa menata kota.
Dengan jalan inilah atas restu Tuhan
dan Lewotana maka proses prerdamaian mulai dari kebun menuju kedua desa.
“Hal ini  juga kita patut bersyukur dan berterima kasih
berkat kuasa Tuhan dan Lewotana di dalam jalinan kerja oleh ketiga pilar
kehidupan bermasyarakat yaitu, adat, pemerintah dan agama”. ungkap Ciprianus
Rape Liwun kepada Genial.id, Senin, 18/11/2019.
Diketahui, upaya perdamaian ini juga
digerakan oleh Pastor Paroki Santo. Alfonsus De Liquori Lewotala. Bersama tiga
pilar masyarakat adat Lamaholot ini,  Kades
Bantala, hierarki gereja dan tokoh adat dari desa Bantala dan Wailolong, menjalin
kembali ikatan persaudaraan di atas lahan pertanian pangan Ma Lema yang
ditinggalkan semenjak tahun 1981.
Kerjasama ini menemukan jalan
perdamaian kedua desa alhasil pada tanggal 11 November 2019 dilakukan acara
seremonial adat “raduk gelas” (tos persaudaraan dalam ritual adat
yang tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun) di rumah adat Desa Bantala
yang disaksikan oleh aparat keamanan dari kedua Kecamatan Ile Mandiri dan
Lewolema, aparat pemerintahan dan tokoh adat dari kedua desa.
Seremonial raduk gelas menghasilkan
kesepakatan perdamaian. Puncaknya pada tanggal 16 November 2019 dilakukan upacara
adat Lamaholot di Koke Bale Desa Bantala, sebagai puncak perdamaian. Acara ini dihadiri oleh Wakil Bupati Flores Timur Agustinus Payong Boli didampingi Kepala Dinas Pariwisata, Camat kedua Kecamatan yakni Ramon Piran dari Kecamatan
Ile Mandiri dan Kecamatan Lewolema, Bernadus Somi Tukan.
Pertemuan perdamaian ini dikukuhkan
melalui upacara adat Lamaholot oleh para tokoh adat yakni Koten, Kelen, Hurit,
Maran.
Kepala Desa Bantala Ciprianus Rape
Liwun pada momentum perdamaian mengatakan, sebagai masyarakat adat dan
berkebudayaan, kita perlu belajar dan perlu mengetahui bahwa konflik kadang
tidak bisa diselesaikan dengan jalur hukum positif yang berlaku dalam negara,
namun harus ada upaya penyelesaian secara adat.
“Konflik itu kadang tidak bisa
diselesaikan secara hukum. Namun setiap konfik yang timbul bisa diselesaikan
melalui Local Wishdom atau dengan
mempertimbangkan kearifan lokal sebagai pedoman hidup masyarakat yang masih
terikat oleh adat yang kental di daerah ini,” tegas Rape Liwun.
Hal ini, lanjutnya, harus menjadi
contoh bagi daerah lain di Indonesia khususnya NTT.
“Dengan diselesaikan perdamaian
ini, maka ke depan, ketiga pilar yang menjadi tonggak perdamaian (adat,
pemerintah dan agama) harus tetap bersinergi. Sehingga perdamaian ini juga akan
diteguhkan melalui perayaan misa syukur ataupun upaya keagamaan lainnya yang
melahirkan kehidupan yang harmonis di dalam masyarakat” tutupnya.  *(Yog)

Exit mobile version