Puisi-puisi Maxi L. Sawung: Perihal Pemimpin

Foto. Dok. Pribadi.

Perihal Pemimpin


Masih bodokkah ia ingin menjadi pemimpin.?
Berarti percuma saja tumpukan buku juga ijazah 
Diatas meja belajar kamarnya yang berantakan seperti rumah kumuh
 Tak terurus padahal ia pernah menjadi seorang mahasiswa yang mengerti bagaimana
Menjadi manusia yang punya akal.


Aght, pasti ia tak punya akal.
Kalau dia punya tentu dia lebih memilih menjadi pengkritik.
Kan tugasnya hanya mengkritik saja tanpa perlu bekerja, berkerja dan kerja. 
Tanpa perlu mengkerutkan dahi untukmemikirkan kesejahteraan orang lain. 
Buat apa menjadi pemimpin.
Bila dia tidak begitu bodok, berarti dia sedikit pintar untuk memimpin.
Ya, karena menjadi pemimpin sekaligus harus menjadi pelayan untuk yang lain. Bodok bukan,
Menjadi pelayan disaat yang lain ingin menjadi raja untuk dilayani setiap kebutuhan juga hasratnya.


Tapi,
sekarang ini zamannya berubah. Sekarang zamannya zaman edan.
Orang tidak mungkin berkorban tanpa punya keinginan untuk memperoleh sesuatu. 
Nama akan menjadi besar dan menjadi abadi walau tubuhhancur dimakan cacing kuburan.
Menjadi pemimpin itu tidak perlu pintar-pintar amat
Muka tebal kulit kerbau itu sudah cukup.


Cukup berbaik hati dengan wongcilik, lebih dekat dengan anak-anak muda yang labil juga dekati pengusaha yang bodok. Dijamin tambuk kepemimpinan akan diraih.
Tak usah terlalu ambil pusing tentang perkara pengambilan keputusan. 
Dekati dan datangkan saja para cendekiawan kemudian mintalah pendapat mereka. 
Toh mereka itu orang pandai yang siang malam, kerjanya hanya membaca berpuluh-puluh buku untuk menemukan kebijaksanaan.


Jangan terlalu cemas bila ingin bekerja.
Terapkan saja satu aturan bersama sesama pemalas agar yang rajin tapi haus akan iman dapat diperalat. Semisal bekerja berarti berdoa dua kali. 
Karena ajaran agama mengajarkan demikian namun mengharapkan penafsiran yang berbeda.


Janganlah risau hatimu hingga layu jiwamu akan mereka yang kemudian mengkritisimu.Datangkan saja para masa yang muda dipengaruhi. 
Banyar mereka atau beri mereka makan agar menjadi tembok pertahanan dan juga pembunuh rahasiamu. 


Tentu mereka akan mau bila masalah perut telah kau atasi.
Dengan begitu kau akan menjadi pemimpin bodok dan tidak terlalu pintar-pintar amat. 
Dan jangan lupa satu hal. Kumpul harta duniawimu semasa masih menjabat pemimpin. 
Toh, masuk bui tak ada arti karena dapat disuap para penjaga yang bertampang polos, lugu namun ujung-ujungnya maunya duit juga. 


Sudah jangan risaukan urusan akhirat. 
Berbanyaklah beramal untuk Gereja dan atau rumah peribadatan lainnya. 
Toh pada saat menjelang dan matimu mereka akan mendoakanmu agar bersama para santo-santa juga nabi-nabi masuk kedalam kedaiman dan tempat yang di namakan SURGA.
Kemudian terlihat dari kejauhan Soekarno duduk beratap rimbun pepehonan menatap padamu malu dan kecewa.


Maumere, 28 Desember 2017


Putih abu-abu Kebenaran.


Ku temukan kebenaran terbaring malu-malu begitu putih pada bumi 
Begitu sakral seperti gadis perawan yang dijaga disayang (dalam palungan) tiada tara oleh bibir yang hendak bertutur.
Hanya mereka yang terpilih yang mampu berbicara tentangnya. Kebenaran yang sakral. 
Namun pagi tadi telah aku temukan ia terbaring lemas tak berkasut terengah-engah di sudut kota tua. Putihnya kini bercampur abu bersimpah noda. Kebenaran tak sakral lagi. Ternodai.
Bibir setiap orang kini bebas berbicara tentang “kebenaran”tua-muda, besar-kecil, pintar-bodok, semuanya bebas berbicara 
dengan lidah dan bibir mereka mengolah kata memanipulasi data dengan otak. Kebenaran diperkosa demi hasrat yang membuta. 
Sore tadi kebenaran telah punah, setelah aku dengar bahwa media dikuasai pemodal. 
Kemudian lahirlah putih abu-abu kebenaran.
Memang zaman ini zaman edan. Dalam putih abu-abu kebenaran dijual-belikan dengan uang. Dan Tuhan dititipkan dalam tanda kurung agar setiap orang bebas bertindak mengatasnamakan-Nya.
Lantas kini aku tak percaya bahwa kau masih mencintaiku.
Sebab tak ada lagi Kebenaran. Apa lagi cinta. Ia sudah mati dan (mungkin) tak akan bangkit lagi walau pada hari ketiga.


Maumere, 29 Desember 2017(akhir tahun, akhirnya kebenaran).


Jumad, Kalvari


Bukit ini tinggi sekali
Sedang Engkau dengan asiknya
Beristirahat, tergantung sambil 
Membiarkan angin-angin dari lembah menyapu
Keringat juga lelah-Mu
Dan maut terus menghitung mundur hingga
Nadi berhenti berdetak.


Bolehkah Engaku turun 
Sebentar saja membantuku 
Memikul salib ini sebab teramat berat
Bagi pemuda sepertiku yang masih
Terus bergulat dalam buku-buku untuk mencari tau
Memahami isi buku sudah cukup berat bagiku


Ayolah lekas turun dari tahtamu itu Guru
saling membantu yang kesusahan adalah hukum cinta kasih bukan.?


jangan hanya menatapku dan berdiam diri
tak ada guna meminta doa pada Ayah 
pasti sedang sibuk dia menyiapkan perjamuan
menjelang paskah nanti, sambil terus menghitung
apakah korban paskah dengan seekor Lembu tambun sudah cukup
atau perlu juga mengorbankan satu atau dua ekor 
kancil yang mencuri mentimun pada ladangmu.


Lekaslah Guru bantu aku
Sebab maut juga masih menghitung-hitung
Apakah tiga puluh keping adalah bayaran yang pas untuk
Membayar penjaga makam juga membeli peti mati untukmu


Dan langit masih membiarkan mezba juga tabernakel
Tak terbelah sebab didepannya seorang janda sedang kusut berdoa
Selepas mempersembahkan harta kepunyaannya
Anak satu-satunya.


Maumere, 14/03/2018


Tentang penulis:  Maxi L. Sawung Merupakan anggota aktif di PMKRI Cab.Maumere, St. Tho. Morus. Angkatan XVIII (MERPATI)dan sekarang masih menjadi mahasiswa S1 STFK LEDALERO semester 6. Penikmat sastra dan politik.