Foto: Dok. Pribadi |
Oleh: Yogen Sogen*
Ketika puisi menyadarkan orang. Betapa kata-kata itu sangatlah tajam.
Puisi memiliki roh yang bergentayangan pada realitas manusia dan semesta kehidupan.
Puisi tidak selalu bergerak sendiri, karena di dalamnya adalah sebuah
interupsi penting yang menyelami dan menggenapi pemaknaan realitas. ia
(puisi) menerjemahkan segala ketidakmampuan realitas yang dirasa perlu
untuk diungkapkan.
Lahirnya puisi “Ibu Indonesia” yang
diluncurkan oleh Sukmawati adalah satu dari sekian banyak puisi yang
harus dan perlu untuk kita refleksikan bersama. karena, Puisi “Ibu
Indonesia” tidak sekadar lahir dari refleksi abu-abu oleh Sukmawati.
Ia (puisi) tajam, memiliki sisi historis, dan merajut kembali
peradaban Indonesia yang tercerabut dari akarnya. Interupsi penting
dalam jantung puisi “Ibu Indonesia” adalah tidak sekadar “memukul”
ketidakpedulian kita terhadap peradaban bangsa yang seharusnya dijaga,
tapi sekaligus menggenapi hilangnya historisitas bangsa dari obsesi
setiap pribadi kekinian dalam “menggauli” kultur bangsa lain.
Puisi-puisi yang memiliki naluri ke-Indonesia-an adalah gerakan
“penyadaran” sekaligus menggetarkan kita, betapa Ibu Pertiwi itu
sangatlah indah. Segala yang tersirat di dalamnya adalah bentuk
“kepekaan”.
Salahkah Puisi itu?
Sebuah pertanyaan
reflektif yang terbentur dengan tafsir politis oleh kelompok lain, di
mana tafsir “kesucian puisi” dipolitisasi menjadi biang kerok dari
kehilangan makna ibunya adalah pembunuh pikiran manusia yang paling
kejam sekaligus kecanduan birahi politis yang dangkal. Bagaimana mungkin
puisi yang merupakan penyelaman atas realitas manusia dan bangsa itu
(harus) dipenjarakan?
Tafsir kebenaran tunggal oleh sekelompok
orang yang mengatakan kalau puisi itu adalah “sebuah dosa” yang tidak
seharusnya diungkapkan adalah pelecehan terhadap kesucian sebuah gerak
penyadaran. Sebagai bagian produk seni, puisi adalah ibu. Ia
diterjemahkan sebagai pembangkang bagi kelompok yangberkepentingan dan
akan memuliakan kemanusiaan, dan representatif dari kedunguan yang
terbelenggu ketakutan.
Pada akhirnya, saya angkat jempol untuk
Ibu Sukmawati dan puisi “Ibu Indonesia” yang kritis sekaligus
menggetarkan rasa kecintaan terhadap peradaban bangsa.
Jakarta, 04 April 2018
#Kita_Indonesia.
*Penulis adalah penulis buku antologi puisi ”Nyanyian Savana”.