Jakarta, Verbivora.com– Dosen dan guru di Myanmar bersatu untuk menolak bekerja dengan pihak junta militer sebagai protes terhadap kudeta Myanmar.
Unjuk rasa pembangkangan sipil dimulai di kalangan pekerja medis setelah kudeta 1 Februari, diikuti pelajar, kelompok pemuda, dan beberapa pekerja, baik di sektor pemerintah maupun swasta.
Puluhan guru dan dosen mengenakan pita merah dan memegang slogan protes, dengan berkumpul di depan gedung kampus Universitas Pendidikan Yangon.
“Kami tidak ingin kudeta militer yang secara tidak sah merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih kami,” kata dosen Nwe Thazin Hlaing, dikutip dari Reuters, 5 Februari 2021.
Ia juga menjelaskan tujuan protes tersebut, untuk menggagalkan kudeta militer di Myanmar.
“Kami tidak lagi akan bekerja dengan mereka. Kami ingin kudeta militer gagal,” jelasnya, dikelilingi oleh staf lain yang mengangkat tangan dengan tiga jari, yang sekarang digunakan oleh banyak pengunjuk rasa di Myanmar.
Salam tiga jari berasal dari film Hunger Games, tetapi dalam beberapa tahun terakhir menjadi simbol yang diadopsi oleh para pengunjuk rasa yang menentang pemerintahan otoriter di Asia.
Salah satu staf memperkirakan 200 dari 246 staf di universitas bergabung dalam aksi protes tersebut.
“Kami bermaksud menghentikan sistem pemerintahan. Kami sekarang melakukan aksi mogok damai,” ungkap dosen lainnya, Honey Lwin kepada REUTERS, dilansir Tempo.com (6/2/2021).
Ada juga laporan tentang protes serupa di Universitas Dagon di Yangon.
Perlawanan di antara kelompok profesional seperti dokter dan guru muncul karena ada protes non-formal lainnya, termasuk oleh warga yang memukul kaleng dan panci dan membunyikan klakson mobil untuk menandakan penentangan mereka terhadap kudeta militer.
Pedagang memukul nampan dari besi saat melakukan aksi protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 4 Februari 2021. REUTERS/Stringer.
Puluhan pengunjuk rasa anti-kudeta juga melakukan aksi protes pada hari Jumat di kota tenggara Dawei, diikuti oleh para pendukung dengan sepeda motor.
“Kami menyatakan bahwa kami memulai perjuangan kami untuk demokrasi hari ini di Dawei. Kami mendesak orang-orang untuk bergabung dan berdiri bersama kami,” kata seorang pengunjuk rasa.
Militer Myanmar secara langsung memerintah negara Asia Tenggara, juga dikenal sebagai Burma, selama hampir 50 tahun setelah kudeta militer tahun 1962 dan menumpas protes pro-demokrasi Myanmar beberapa kali selama bertahun-tahun. *(JM)