Propaganda di Lingkar Demonstran

Ket. Reni Rantika Waty (Foto: Dok Pribadi)

Oleh: Reni Rantika Waty

Media mempunyai potensi membangun wacana dan membentuk opini
publik. Ditambah dengan maraknya penggunaan media sosial sebagai saluran
informasi, maka informasi jadi tersampaikan dengan cepat dan efektif.

Tagar “Gejayan Memanggil” diinisiasi oleh aliansi mahasiswa
di Yogyakarta yang dimaksudkan untuk mendongkrak opini mahasiswa terhadap isu
Tolak RUU KPK dan RUU KUHP. Tagar “Gejayan Memanggil” di Twitter merupakan
wujud dari efektifitas media sosial dalam membentuk empati dan solidaritas
berbagai kalangan yang menjadikan mereka tergerak untuk merespons isu tersebut.

Kemudian, disusul dengan munculnya tagar “Demokrasi
Dikorupsi”, tagar tersebut viral dan massif digaungkan hingga mampu
membangkitkan gerakan mahasiswa tidak hanya di Yogyakarta, demonstasi juga
berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Hebatnya demonstrasi ini mampu
menarik simpati pelajar untuk ambil bagian.

Demonstrasi Tolak RUU KPK dan RUU KUHP pada 23-24 September
2019 diwarnai dengan kerusuhan yang menyebabkan korban luka-luka dan merenggut
nyawa mahasiswa. Hal itu bermula saat demonstran melemparkan batu dan botol ke
dalam gedung DPR dan berupaya menyusup masuk ke dalam gedung DPR, akhirnya
polisi membalasnya dengan water canon dan membubarkan kerumunan dengan gas mata
yang ternyata sebagian sudah kadaluarsa.

Derasnya informasi yang tersaji di media sosial pada saat
itu, membuat pemerintah berupaya membatasi akses internet agar masyarakat
terhindar dari berita simpang siur. Namun, hal tersebut malah memicu kemarahan
lebih dalam karena dianggap tidak solutif.

Luapan emosi demostranyang berujung pada kerusuhan
mengakibatkan matinya nalar kritis sehingga aksi ini lebih mudah untukdisusupi
unsur-unsur propaganda, yakni dengan munculnya isu bahwa gerakan tersebut
adalah aksi yang ditunggangi. Pengalihan isu membuat nilai dan makna dari
gerakan ini menjadi kabur, opini dimasyarakat terbelah menjadi pro dan kontra.
Bahkan, banyak kampus melarang mahasiswanya untuk terlibat.

Demonstrasi Tolak RUU Ekstradisi di Hong Kong juga
mengandalkan sosial media sebagai saluran informasi. Seruan aksi dan
pengumpulan massa dilakukan melalui forum internet LIHKG. LIHKG dinilai efektif
oleh warga Hong Kong untuk saling bertukar informasi mengenai waktu, tempat dan
perlengkapan demonstrasi pada forum tersebut.

Demonstrasi Tolak RUU Ekstradisiyang dimulai dari
(31/3/2019) hingga saat ini masih terus berjalan dan seringkali terjadi
konfrontasi antara polisi, aktivis pro-demokrasi, dan warga setempat. Lamanya
demonstrasi yang terjadi di Hong Kong membuat fokus dari tuntutannya menjadi
meluas, demostran menuntut agar diselenggarakan pemilu secara langsung untuk
memilih anggota dewan legislatif dan kepala eksekutif. Meskipun demikian, hal
tersebut tidak menghilangkan esensi dari isu pokok yang di gaungkan, yakni isu
Tolak RUU Ekstradisi.

Pada demostrasi di Hongkong, unsur-unsur propaganda justru
berasal dari pihak.China yang berupaya untuk memperkeruh keadaan demonstrasi
Hong Kong menggunakan twitter dan facebook dengan cara memanipulasi gerakan
demonstran di Hongkong. Melalui blognya Twitter mengeluarkan rilis, Selasa
(20/8/2019) mengenai adanya temuan akun-akun yang dengan sengaja memantik
kerusuhan Hong Kong.

Hasil temuan Twitter menyatakan bahwa akun-akun twitter
propaganda tersebut terafiliasi dengan pemerintah China. Bersamaan dengan itu
maka, Twitter menegaskan untuk tidak lagi menerima iklan dari media yang
mendukung pemerintahan.

Demostrasi adalah wujud kebebasan berekspresi yang dianut
oleh demokrasi. Setiap individu berhak menyatakan pendapat guna mencapai tujuan
kolektif dan mengubah suatu kondisi sosial politik sesuai dengan keinginan
bersama.

Namun, tak jarang gerakan ini disusupi “kepentingan”
sehingga maksud dan tujuannya kerapkali tidak tercapai, dalam hal ini
propaganda memaikan peran efektif sebagai “senjata” berbahaya untuk penjegal
kepentingan rakyat.

Agar demonstrasi tidak terus berlanjut, pemerintah harusnya
membuka ruang dialog untuk mengakomodir tuntutan rakyat. Pemerintah juga
bertanggungjawab untuk melakukan counter propaganda dengan mengungkapkan cara
fakta dan meluruskan pandangan masyarakat.

Penulis adalah
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia*
Exit mobile version