Verbivora-Pasca pelantikan Kabinet Merah Putih, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Hartimurti Yudhoyono, berencana untuk mempersiapkan program transmigrasi guna pemerataan ekonomi dan pembangunan, antara lain dengan memberikan insentif rumah dan lahan.
Target program ini akan berfokus di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Mamuju di Sulawesi Barat, Nunukan di Kalimantan Utara, dan Merauke di Papua Selatan.
Mengingat bahwa Papua memiliki Undang-Undang Otonomi Khusus, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP-PMKRI) meminta pemerintah untuk mengkaji ulang program transmigrasi ke Papua.
Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP- PMKRI), Raymundus Yoseph Megu, menegaskan bahwa program transmigrasi di Papua harus mematuhi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus).
“Penetapan kawasan transmigrasi oleh pemerintah harus berdasarkan regulasi yang berlaku di Papua untuk menghormati hak masyarakat adat,” Kata Raymundus.
Raymundus menyampaikan bahwa sesuai dengan UU Otsus, program transmigrasi hanya dapat dilaksanakan jika ada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan persetujuan dari gubernur.
“Kita harus merujuk pada Pasal 61 ayat 3 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, yang menegaskan bahwa program transmigrasi hanya bisa dilakukan dengan persetujuan gubernur dan harus didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi,” Tutur Raymundus.
Ia menjelaskan bahwa kawasan transmigrasi ditetapkan oleh menteri berdasarkan usulan dari pemerintah daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP).
“PP Nomor 19 Tahun 2024 tentang pelaksanaan UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian menyebutkan bahwa penetapan kawasan tersebut harus berdasarkan usulan dari pemerintah daerah,” Tutur Raymundus.
Sedangkan, Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI, Susana Florika Kandaimu, menyoroti Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Papua yang mengatur tentang transmigrasi.
“Perdasi Papua Nomor 15 Tahun 2018 tentang kependudukan, khususnya Pasal 44, menetapkan bahwa transmigrasi hanya dapat dilakukan setelah jumlah penduduk asli Papua mencapai 20 juta jiwa, dan kebijakan tersebut harus mendapat pertimbangan serta persetujuan dari DPRD Papua,” tutur Susan.
Menurut Susan, jika persyaratan ini belum terpenuhi, maka itu bertentangan dengan UU Otsus.
“Jika persyaratan ini tidak terpenuhi atau Perdasi terkait belum dibuat, sangat janggal jika transmigrasi dipaksakan. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan UU Otsus,”tutur Susan.
Ia juga menekankan bahwa berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2014, penetapan kawasan transmigrasi oleh menteri harus berdasarkan usulan pemerintah daerah dan disertai penyediaan lahan.
“Pertanyaannya, daerah mana di Papua yang sudah mengusulkan penetapan kawasan transmigrasi?,” tutur Susan.
Susan kemudian memberikan penegasan, “tanah adalah warisan adat yang tidak bisa diperlakukan sembarangan. Ini harus menjadi perhatian utama sebelum melaksanakan program transmigrasi di Papua,” tambahnya.
Susan menyarankan agar pemerintah lebih fokus membangun masyarakat lokal tanpa ketergantungan pada transmigran dari luar Papua.
“Lebih baik pemerintah fokus pada program transmigrasi lokal atau pemukiman masyarakat asli di sepanjang ruas jalan yang baru dibangun. Hal ini tentunya akan menciptakan pusat pertumbuhan baru tanpa melibatkan transmigran dari luar,” tutur Susan.
Susan juga menekankan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya alam, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi.
“Untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah perlu secara khusus memperhatikan kualitas sumber daya alam, proses belajar mengajar di Papua, dan pengembangan komoditas lokal,” tutup Susan.