Jakarta, Verbivora.com – Perempuan selalu menjadi pembahasan yang tidak ada selesainya untuk dibahas. Perempuan sering tersubordinasi, dianggap lemah, hanya dianggap sebagai mesin produksi anak, dan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Padahal, perempuan adalah pemelihara peradaban, ibu bumi, perempuan adalah cerminan dan muara daripada ketimpangan demokrasi itu sendiri. cerminan demokrasi yang timpang di negri yang demokrasi. kalian bisa lihat di tulisan saya yang sebelumnya.
Tulisan ini akan membawa kita untuk mengetahui hak-hak yang melekat dalam diri perempuan ketika berhadapan dengan hukum, berhadapan dengan hukum artinya payung hukum yang melindungi perempuan dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi hak-hak sebagai individu tidak pula menjadi luput untuk disajikan ke dalam tulisan ini.
Karena kita semua sebagai individu yang berperan penting di dalam menjamin terlaksananya hukum. Seorang Filsuf dari Roma Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam adagiumnya mengatakan Ubi Societas Ibi Ius atau dimana ada masyarakat disana ada hukum. hukum menjadi eksis karena masyarakat juga masih ada. kita hidup berdampingan dengan hukum, begitu saya menyingkatnya.
Kasus seorang Mahasiswi Universitas Brawijaya berinisial NW yang mengakhiri hidupnya dengan mengonsumsi racun dan ditemukan sudah tidak bernyawa di samping makam mendiang ayahnya, memberi kengerian tersendiri bagi tiap orang yang membaca beritanya.
Hal itu dia lakukan akibat depresi yang dialami dan tekanan yang dia terima dari mantan pacarnya yaitu Bripda RB (Anggota Polres Pasuruan) yang menurut pemberitaan telah memerkosanya, memaksanya dua kali melakukan aborsi (menggugurkan kandungan) masing-masing pada Maret 2020 dan Agustus 2021 dan tidak bertanggung jawab atas tindakannya.
Peristiwa ini sangat tragis dan merepresentasikan tindakan anggota polisi yang tidak mencerminkan etika sebagai aparat hukum yang ramah hukum, dan tidak peka terhadap HAM (Hak Asasi Manusia).
Hanya karena seseorang itu berseragam dinas atau memiliki pangkat tidak secara langsung orang-orang jenis ini sadar hukum apalagi mengaplikasikannya. Hal yang paling tidak dapat diterima, dalam opini sipil memandang betapa seorang aparat hukum pun bisa mencederai wajah hukum.
Bripda RB secara internal melakukan perbuatan melanggar hukum Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia serta dijerat Pasal 7 dan Pasal 11.
Secara eksternal dijerat dengan Pasal 348 Juncto 55 KUHP tentang sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan janin. Buah dari tindakan Bripda RB ini mau tidak mau telah mencoreng nama kelembagaan negara dan cerminan polisi yang tidak ramah juga tidak mengayomi masyarakat.
Sebagai aparat yang juga mengayomi masyarakat harusnya Bripda RB ramah kepada setiap warga masyarakat terkhusus kepada perempuan dalam hal ini Saudari NW.
Memang tidak semua perempuan tergolong dalam kelompok yang rentan akan tetapi dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang disabilitas.
Perempuan dalam kehidupan sehari-harinya seringkali mengalami tindakan seperti yang dialami oleh korban NW. Korban NW hanya salah satu yang terungkap, lalu bagaimana lagi kejadian-kejadian serupa yang tidak terungkap. Korban-korban lain yang enggan bersuara karena di ancam, di represi, di kucilkan dan di rundung.
Kejadian seperti ini semakin memberikan dampak trauma tersendiri bagi banyak perempuan lainnya. mengingat ruang publik yang tidak aman baginya dan cenderung mengucilkannya. Belum lagi soal stigma yang dibangun publik atas perempuan, terlalu banyak ketakutan-ketakutan yang menghalangi akses bagi perempuan untuk berperan.
Keterbatasan akses, sering memperoleh stigma membuat perempuan sulit menerima kenyataan bahwa dia sudah berada di tempat yang benar untuk berkarya. Di daerah, perempuan lebih sibuk dengan kerja-kerja domestik, padahal bisa dikerjakan bersama antara laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan dapat memiliki ruang untuk mengedukasi dirinya, mengakses hak-hak nya sebagai perempuan.
Sehingga suara soal hak-hak perempuan ini tidak hanya dapat diketahui hanya pada dinding-dinding pengadilan yang bertuliskan hak dan kewajiban perempuan dalam sebuah poster.
Dari kejadian yang dialami korban NW, sebagai perempuan kedepannya kita bisa mencegah dengan mengedukasi diri, terlebih dahulu memahami hak-hak perempuan dan mengakses payung hukum yang melekat baginya, tidak mau disubordinasi dan mengedepankan prinsip kesetaraan dalam setiap hubungan yang dibangun dimana pun berada, ramah hukum dan peka HAM.
Hak Asasi Manusia (HAM)
HAM menjadi isu besar, teori dan praktik hubungan internasional (Meuwissen, 1984). Hirsch Ballin dan Couwenberg mengatakan, konotasi HAM terkait asas-asas ideal dan politis sehingga bersifat dinamis. Sebaliknya HAM merupakan bagian integral UUD, bersifat yuridis, statis, dan hanya terkait suatu negara.
Sebagai contoh, di mana perkawinan sejenis di negara lain tak bisa dipaksakan di Indonesia sebab tidak diatur UUD 1945. Isu HAM lain di luar negeri tidak mungkin dipaksakan pemberlakuannya di Indonesia sepanjang tidak diatur UUD 1945. Dalam konteks domestik, HAM dianalogikan dengan hak-hak biasa sehingga lebih luas dan selalu terkait aktivitas setiap orang (PKNI4317/MODUL 1 1.5).
Definisi HAM menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 39/1999 tentang HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap orang, demi kehormatan, harkat, dan martabat manusia, dengan demikian HAM merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
HAM adalah hak manusia yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya. Jadi hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia yang merupakan anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir, sehingga hak asasi manusia itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri.
Perlindungan HAM setiap warga negara di Indonesia sudah dijamin dalam UU No 39 Tahun 1999. Hak apa saja yang dijamin bagi setiap individu dapat langsung ditemukan di undang-undang tersebut. Diantaranya hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, dan lain-lain.
Perlindungan Hukum Hak Asasi Perempuan
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang menjelaskan adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Prinsip persamaan ini menghapuskan sekat maupun diskriminasi, karenanya setiap warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan. Perempuan juga demikian, mendapatkan pengakuan yang sama dengan laki-laki di muka hukum.
Selain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang telah menjamin hak warga masyarakat sebagai individu, berikut beberapa peraturan perlindungan hak asasi perempuan
Pertama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women)
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di dalam sidangnya pada tanggal 18 Desember 1979, telah menyetujui konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
Di dalam konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, dan Pemerintah Republik Indonesia resmi menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 pada waktu diadakannya Konferensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen.
Sebelum Indonesia mengesahkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pemerintah Indonesia telah lebih dulu mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1984, diundangkan pada tanggal 24 Juli 1984 oleh Presiden Soeharto.
Dalam Pasal 2 lampiran UU ini ditegaskan negara-negara peserta (termasuk Indonesia) mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap wanita.
Kedua, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tanggal 20 Desember 1993, Ga Res 48/104). Pada 1993, Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap wanita yang dirumuskan pada tahun 1992 oleh Komisi Status Wanita PBB.
Pada pasal 1 deklarasi dinyatakan bahwa kekerasan terhadap wanita mencakup: setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap wanita baik baik fisik, seksual atau psikis, termasuk ancaman perbuatan tersebut, paksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat.
Deklarasi ini mempertegas bahwa perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi yang sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang-bidang lainnya.
Hak-hak tersebut termasuk, hak atas kehidupan; hak atas persamaan; hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi; hak atas perlindungan yang sama berdasarkan hukum; hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi; hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya; hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik; hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang (Pasal 3).
Ketiga, Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 20 Desember 1993 kemudian berdampak bagi negara Indonesia, yang dengan keputusan presiden membentuk suatu organisasi perempuan.
Lebih tepat nya Konvensi CEDAW dan deklarasi PBB tahun 1993 tersebut membuahkan satu organisasi/lembaga independen anti kekerasan terhadap perempuan. Menurut Keppres No. 181 Tahun 1998 oleh presiden disahkan dengan nama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau yang sering disebut Komnas Perempuan.
Tujuan dan Kegiatan Komnas Perempuan dapat dilihat pada BAB II Pasal 4 dan 5 dalam Keppres No. 181/1998. antara lain:
1. Penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung di Indonesia;
2. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia; dan
3. Peningkatan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi manusia perempuan.
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud tujuan tersebut di atas maka Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan melakukan kegiatan:
1. Penyerbarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
2. Pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen PBB mengenai perlindungan hak asasi manusia perempuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menyampaikan berbagai saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat dalam rangka penyusunan dan penetapan peraturan dan kebijakan berkenaan dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan dan penegakan hak asasi manusoa sebagai perempuan;
3. Pemantauan dan penelitian, termasuk pencarian fakta, tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah;
4. Penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya segala bentuk kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat; dan
5. Pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dalam rangka mewujudkan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
4. Intruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
Intruksi Presiden ini bermaksud untuk mengintruksikan kepada Menteri, Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Panglima Tentara Nasional, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Gubernur, Bupati/Walikota untuk melaksanakan pengarusutamaan gender.
Guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermsyarakat, berbangsa dan bernegara.
Intruksi presiden yang langsung ditujukan kepada aparatur negara dalam pelaksanaannya seperti yang tertulis dalam lampiran inpres ini segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender dibebankan kepada APBN untuk masing-masing instansi dan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan APBD di lembaga pemerintah tingkat daerah.
Dengan adanya inpres ini memang tidak secara keseluruhan sipil atau masyarakat yang ditujukan atau diharuskan berlaku sesuai pengarusutamaan gender, akan tetapi pemerintah di dalam kebijakannnya megedepankan hal kesetaraan gender.
Dengan demikian masyarakat dapat lebih terbantu penyaluran aspirasi yang dituangkan dalam bentuk kritik sosial dapat lebih dipertimbangkan oleh pemerintah sepanjang kritiknya demi mengedepankan pengarusutamaan gender dan dengan dengan adanya instruksi ini pembangunan nasional menjadi lebih ramah fungsinya terhadap semua gender.
Kelima, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), pada awalnya tidaklah dianggap sebagai pelanggaran hak asasi perempuan. Letaknya pada ranah domestik menjadikan KDRT sebagai jenis kejahatan yang sering tidak tersentuh hukum.
Ketika ada pelaporan KDRT kepada pihak yang berwajib, maka biasanya cukup dijawab dengan selesaikan secara kekeluargaan. Sebelum keluarnya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, korban tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang PKDRT, permasalahan KDRT yang sebelumnya dianggap sebagai masalah domestik diangkat ke ranah publik, sehingga perlindungan hak korban mendapat payung hukum yang jelas.
Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini tidak hanya meliputi suami, isteri, dan anak, melainkan juga orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dan menetap dalam rumah tangga serta orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2).
Asas PKDRT sendiri seperti dijelaskan dalam Pasal 3 adalah untuk: (1) penghormatan hak asasi manusia; (2) keadilan dan kesetaraan gender; (3) nondiskriminasi; dan (4) perlindungan korban. Adapun tujuan PKDRT sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 adalah untuk: (1) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; (5) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Keenam, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Sebagaimana telah disahkannya UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka pemerintah memandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Fasilitas pemulihan ini bisa oleh setiap siapapun yang menjadi korban KDRT dapatkan melalui ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian, tenaga ahli yang profesional, pusat pelayanan dan rumah aman, dan sarana prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban (Pasal 2).
Kerja sama pemulihan dan teknisnya bisa dilihat pada Pasal 15 sampai dengan 20 dalam peraturan pemerintah ini. secara keseluruhan bahwa peraturan ini sangat meringankan korban kekerasan dalam rumah tangga yang mana korban nya sering sekali perempuan.
Pemulihan seutuhnya dijamin oleh pemerintah dan dibiayai oleh pemerintah lewat lembaga pemerintahan yang disediakan maupun kerja sama dengan kepolisian, advokat, KPAI, dan pihak tertentu yang diinginkan demi kepentingan korban.
Oleh karena itu perempuan dan siapapun yang menjadi korban KDRT dapat segera melapor kan langsung kepada kepolisian terdekat dan sambil melaporkannya kepada Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) perwakilan daerah terdekat.
Ketujuh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Definisi dari perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO adalah: “Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Praktik perdagangan orang berupa kawin kontrak, menjadi imigran, penculikan anak memang bukan hanya perempuan saja yang menjadi korbannya akan tetapi kelompok rentan yang menjadi korban nya sering kali justru perempuan dan anak yang menjadi korban human trafficking.
Laporan perdagangan manusia 2021 dari Pemerintah Amerika menempatkan Indonesia di tingkat dua untuk isu tersebut. Pemerintah Amerika berkata, Indonesia belum memenuhi standar minimum untuk mengakhiri perdagangan manusia. Walau begitu, Pemerintah Amerika mengakui adanya upaya perbaikan yang sedikit banyak juga terpengaruh oleh situasi pandemi Covid-19, dilansir dari Tempo.co.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, 234 anak menjadi korban dari 35 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan eksploitasi pada Januari-April 2021. Sebanyak 217 anak atau 93 persen di antaranya merupakan korban dari 29 kasus prostitusi.
Menurut KPAI, berbagai kasus prostitusi anak tersebut muncul lantaran adanya masalah pengasuhan keluarga serta tingginya penyalahgunaan teknologi berbasis elektronik dan media sosial. Alhasil, anak rentan dimobilisasi, dimanfaatkan, dan dieksploitasi secara seksual.
Anak, perempuan, dan siapapun yang menjadi korban perdagangan manusia ini sangat perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah dan lingkungan terdekat untuk sama-sama tidak menyudutkan dan apalagi menjudge korban atas apa yang dialaminya. Korban perdagangan manusia dapat perlindungan sesuai dengan isi Undang-Undang ini yang tercantum pada BAB V Pasal 43 sampai dengan Pasal 55.
Pasal 51 berbunyi:
1. Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.
2. Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah.
Kedelapan, Pernyataan Umum Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan tentang Perempuan Pedesaan (Ditetapkan pada 19 Oktober 2011 dalam sesi Komite CEDAW yang ke 50). Situasi perempuan pedesaan berada pada garis depan agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa selama bertahun-tahun.
Baru kemudian pada Oktober 2011 melahirkan rekomendasi tentang perempuan pedesaan. Komite menyerukan kepada seluruh Negara Anggota dan PBB beserta program, dana dan lembaganya untuk memberikan kontribusi menuju pencapaian kesetaraan gender di daerah pedesaan dan menekankan pentingnya dan perlunya tindakan terkoordinasi pada skala yang luas melalui kemitraan dengan masyarakat sipil, sebagaimana mestinya, untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan pedesaan secara keseluruhan dan sumbangan mereka bagi produktivitas pertanian dan pemberantasan kemiskinan dan kelaparan.
Rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memasukkan perspektif peka gender ketika merancang dan melaksanakan strategi kebijakan dan program pembangunan pedesaan;
2. Mengeluarkan penolakan secara resmi terhadap kebijakan yang dapat membatasi kemampuan perempuan pedesaan untuk menyediakan makanan yang cukup untuk diri mereka sendiri, keluarga mereka dan masyarakat;
3. Melibatkan perempuan pedesaan dalam semua aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dari semua kebijakan dan program yang memberikan dampak pada kehidupan mereka;
4. Meningkatkan keterwakilan perempuan pedesaan di badan parlemen dan badan-badan eksekutif, serta di badan-badan pemerintahan di tingkat nasional dan daerah;
5. Memastikan agar perempuan pedesaan mempunyai akses yang sama untuk mendapat pelayanan sosial dasar;
6. Menyediakan jejaring keselamatan sosial untuk membantu perempuan pedesaan di negara berkembang;
7. Mengusahakan tersedianya lapangan kerja atau kesempatan kerja;
8. Mengurangi waktu kerja dan usaha kerja perempuan pedesaan dengan infrastruktur dan teknologi inovasi;
9. Memastikan adanya akses yang setara, mudah dan terjangkau;
10. Mengintegrasikan kepentingan dan partisipasi perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan seluruh program pembangunan dan pengolaan lingkungan;
11. Menetapkan langkah-tindak sistematis untuk meningkatkan kesadaran perempuan pedesaan tentang ruang lingkup hak mereka;
12. Menjamin akses perempuan pedesaan untuk mendapatkan keadilan dan mekanisme kelembagaan pendukung yang diperlukan untuk memenuhi hak mereka;
13. Mengembangkan strategi untuk mengatasi apa yang menjadi kebutuhan khusus perempuan lanjut usia maupun perempuan penyandang cacat, dan perempuan pribumi;
Kesembilan, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Pasal 1 angka 1 PERMA 3/2017 mengartikan perempuan yang berhadapan dengan hukum sebagai perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak.
Tujuan dari adanya pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum adalah agar hakim: pertama, memahami dan menerapkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Kedua, mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan, dan ketiga, menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.
Kesepuluh, RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual), RUU ini sudah masuk Prolegnas pada Tahun 2021 dan semoga saja dapat segera disahkan di Tahun 2022, ( kita kawal dan dukung bersama-sama), to be continued. *(AR)
Oleh: Friska Sihombing, Aktivis PMKRI.
Gambar ilustrasi |