Foto. Dok. Pribadi |
Oleh: Gabriel Toang
Sebagai bangsa, kita memiliki potensi yang besar yakni Persatuan. Jika ini kita korbankan maka kita tidak akan mendapat apa–apa kecuali kerusakan yang ditimbulkan oleh kecurigaan dan permusuhan antar sesama. Sejarah bangsa kita memberi banyak pelajaran betapa mahalnya ongkos dari perpecahan yang sudah terjadi. Perpecahan hanya memberi keuntungan bagi para pemegang kekuasaan untuk dapat berkuasa lebih lama.
Membangun bangsa tidak sama dengan membangun rumah di lahan yang kosong dimana kita harus menggalih tanah untuk membangun fondasinya. Rumah kebangsaan kita sudah terbentuk diatas fondasi yang sangat kokoh. Namun kita perlu terus menerus merawat dan menyesuaikan kondisi bangunannya dengan keadaan yang dinamis, bukan membongkar dan mengganti fondasinya. Ini adalah tugas yang harus di jaga dan dirawat secara bersama oleh sesama sebagai warga bangsa.
Dewasa ini banyak sekali nilai–nilai bangsa kita yang mulai tergusur dan dilupakan oleh generasi muda. Nilai–nilai seperti persatuan, kebersamaan, toleransi, kejujuran, kebudayaan dan tanggung jawab nyaris raib karena setiap kelompok hanya sibuk dengan kepentingan sendiri yang fokusnya hanya pada jangka pendek. Jika kita tidak segera merancang konsep dan strategi yang jelas untuk menyelamatkan nilai–nilai budaya kita yang luhur itu, jangan kaget dan heran kalau generasi yang akan datang tidak lagi mengenal peradaban dan nilai kebangsaannya sendiri.
Oleh karena itu sudah saatnya kita kita mengedepankan nilai–nilai budaya yang unggul yang telah kita sepakai dan miliki sebagai bangsa. Para pendiri telah meletakan dasar yang sangat kukuh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat Indonesia yakni ajaran Bhineka Tunggal Ika. Apalagi yang telah marak terjadi saat ini yang kita lihat di berbagai media massa yang selalu menyoroti tentang tindakan kekerasan terhadap pemimpin agama dan pengrusakan rumah-rumah ibadah, yang seharusnya tidak patut sebagai contoh untuk dilakukan.
Tindakan tindakan seperti ini hanya dapat menguntungkan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Seperti halnya dengan politikus yang hanya berpikir bagaimana menjatuhkan lawan demi mengejar apa yang akan diperolehnya besok. Berbeda dengan cara berpikir seorang negarawan yang selalu memikirkan bagaimana merangkul lawan– lawannya demi menghidupkan generasi yang akan datang. Ketika melihat polemik yang terjadi dalam dunia politik maka kebanyakan orang berpikir bahwa politik itu kotor, penuh intrik dan tipu daya. Karena realita itulah yang kita temui dan kita rasakan. Inilah yang perlu kita tegaskan dalam diri kita bahwa sumber–sumber bagi referensi nilai yang utama ialah yang diletakkan para filosof, selain itu tentu masih ada ajaran–ajaran agama yang kita percayai sebagai pedoman moral dalam bertindak.
Demokrasi menjunjung kebebasan tapi itu bukan satu–satunya. Perlu kita banyangkan apabila setiap orang diperbolehkan untuk sebebas–bebasnya melakukan semua yang mereka senangi maka yang akan terjadi adalah anarki dan berbagai tindakan represif. Fenomena seperti itulah yang sering kali kita temui dan kita saksikan selama masa reformasi ini.
Aristoteles mengatakan bahwa politik ialah kesetiaan maka yang perlu kita pertanyakan adalah kepada siapa kesetiaan itu diberikan? Jika kesetiaan itu hanya milik sebagian besar kelompok maka akan bertentangan dengan prinsip kepentingan umum dari politik itu sendiri. Hilangnya gejala kesantunan dalam berpolitik sangat mudah untuk kita saksikan karena marak terjadi di ruang publik. Ada yang mengatakan bahwa dalam politik tidak ada yang abadi kecuali kepentingan. Ini menjadi akan menjadi sumber tindakan amoral.
Dalam berpolitik orang tampak bersahabat di depan tetapi di belakang saling menusuk. Di depan bermuka manis tapi dibelakang saling bergunjing. Hal ini menjadi tontonan masyarakat bahwa para calon kepala daerah dan lainnya saling mengklaim hanya dirinya yang bisa membawa masyarakat ke arah yang lebih baik, sambil menghancurkan reputasi lawan–lawannya melalui kampanye negative yang cenderung menjatuhkan.
Oleh karena itu masyarakat saaat ini kehilangan keteladanan dari para elitnya. Di tengah kehidupan masyarakat yang sangat sulit adalah tidak etis mempertontonkan kemewahan. Rakyat bukan hanya muak dengan tindakan korupsi tetapi juga terhadap perilaku para elit yang saling menjatuhkan.
Sampai kapan hal ini akan terjadi?
Tidak bisa di pastikan tetapi mari kita bersama membuka kembali buku–buku yang mengajarkan tentang politik yang mulia, yang menjadi mercusuar bagi kebajikan dan menawarkan nilai etis bersama. Buku-buku seperti itu mungkin sudah kuno, tetapi selalu ada keperluan untuk memelihara yang lama sambil tetap mengambil yang baru, yang lebih baik sebagaimana yang diajarkan oleh nilai-nilai religius kepada kita.
Bagaimana menjaga dan melestarikan cinta kasih antar sesama. Di kalimat terakhir ini suatu kalimat yang selalu menginspirasi diri kita bahwa di altar sejarah ada api perjuangan, api itulah yang harus dinyalakan terus menerus oleh para penerus bangsa, sebab perjuangan hanya mengenal tonggak, tempat dimana kita semua melihat sampai dimana perjalanan yang telah kita tempuh.
Sebab, di depan kita masih terbentang perjalanan yang jauh, dan ibu pertiwi akan terus memanggil putra-putrinya untuk terus berjuang. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Bung Karno seperti ini “yang diminta oleh ibu Indonesia kepada putra dan putrinya ialah pengorbanan: satu badan, satu nyawa, dan satu Roh. Tidak lebih, karena tidak ada pengorbanan yang sia–sia.
Penulis adalah Sekretaris Jendral PMKRI Cabang Manado