Politik Dagang Jelang Pemilu 2024

Jakarta, Verbivora.comPartai politik (Parpol) merupakan institusi yang menjadi penyangga bekerjanya demokrasi perwakilan. Selama demokrasi perwakilan dipandang sebagai cara paling masuk akal untuk mewujudkan daulat rakyat maka keberadaan partai politik tidak terhindarkan.

Khususnya dalam demokrasi kontemporer, kehadiran partai politik menjadi penanda dan spasi penting transformasi sistem politik klasik ke metode berpolitik modern yang mengutamakan partisipasi, transparansi dan kedaulatan rakyat.

Namun jika kita memeriksa lebih teliti, ada kesan kuat bahwa melemahnya demokrasi disponsori langsung oleh parpol itu sendiri. Parpol hanya terfokus pada mekanisme elektoral yang syarat kompetisi, sensasi, mobilisasi, money politic dan intrik.

Kepentingan masyarakat diletakan jauh dari ide, diskursus dan perjuangan parpol. Posisi masyarakat tidak ubahnya sebagai konsumen yang siap melahap apa saja yang dihidangkan parpol.

Demokrasi Pemirsa

Melemahnya fungsi parpol terkonfirmasi lewat berbagai kalkulasi dan formasi politik partai dan para elit dalam merumuskan kemenangan pada Pilpres 2024 mendatang. Mulai dari spekulasi arah koalisi, calon yang akan diusung, daya tawar atau elektabilitas setiap figure potensial.

Ignasius Juru menilai fakta politik ini sebagai audience democracy atau demokrasi pemirsa (Kompas.id, 18/7/2022). Demokrasi pemirsa adalah supply-side politic, yakni politik yang diramu oleh para elit, pasukan konsultan, para buzzer untuk menciptakan “brand” politik agar laku dijual kepada massa elektoral.

Selain ditopang perkembangan media, fenomena ini sebagai akibat langsung dari melemahnya partai yang ideologis.

Demokrasi Pemirsa
Demokrasi Pemirsa

Baca:Resmi Lantik DPC PMKRI Bogor, Ketua PP PMKRI Ajak Kader Kontribusi Nyata Bangun Bangsa

Dalam rumusan Claude Lefort (1988), demokrasi modern merujuk pada runtuhnya penanda yang pasti dalam politik, dissolution of the markers of certainty. Artinya, demokrasi ditandai oleh tidak hadirnya model politik yang tunduk pada nalar tunggal, tetapi menjadi ruang bagi beragam artikulasi dan gerak bebas dari pelbagai kelompok politik.

Dalam konteks ini, demokrasi menjadi penanda kosong, empty signifier, yang di dalamnya siapapun bisa meletakkan mimpi dan harapan mereka (Brown,2011).

Namun, karena menjadi penanda kosong, demokrasi berpotensi diisi oleh berbagai corak politik yang beragam. Manin (1997), misalnya, melihat demokrasi dalam tiga perkembangan besar, dari model parlementarisme Inggris sejak tahun 1832, kemudian berkembang menjadi demokrasi kepartaian (party democracy) yang menjadi akibat langsung dari berlakunya hak pilih universal tahun 1867.

Pada era (Demokrasi kepartaian) ini, demokrasi ditandai oleh masuknya kelas bawah dalam politik dan menguatnya bentuk partai politik massa. Namun, sejak era 1970-an, demokrasi cenderung berkembang ke arah baru, yakni model audience democracy, demokrasi pemirsa.

Kecenderungan demokrasi pemirsa ini sesungguhnya cukup menjelaskan perkembangan politik di Indonesia saat ini. Laku politik para elite dan partai politik yang hanya sibuk dengan urusan utak-atik formasi politik serentak di dalamnya mendorong figur-figur potensial untuk terus memberi merek pada diri demi menaikkan elektabilitas adalah bentuk politik yang membiak di atas nalar dagang. Menjual beragam citra terbaik untuk dikonsumsi oleh massa elektoral.

Bagi sebagaian besar orang beberapa fenomena ini dianggap sebagai normalitas dalam perhelatan elektoral. Tanpa secara serius menggugat, sesungguhnya demokrasi apa yang sedang dipraktikan?  Apakah kontrol popular semakin dimungkin atau malah sebaliknya harus dieksklusi dari sirkulasi perpolitikan elektoral yang tengah berlangsung?

PMKRI dan Politik Keterlibatan

Demokrasi pemirsa memiliki dampak buruk bagi upaya membangun demokrasi yang substansial. Jika demokrasi substansial dirumuskan, sebagaimana yang didefinisikan oleh David Beetham (1999), sebagai kontrol populer terhadap urusan publik berdasarkan kesetaraan politik, maka kecenderungan demokrasi pemirsa di Indonesia sesungguhnya menyangkal semua elemen substansial tersebut.

Demokrasi pemirsa lebih cenderung membawa politik ke arah de-demokrasi. Gejala de-demokrasi adalah gejala politik yang menyingkirkan publik atau kekuatan populer sebagai elemen penentu dari proses politik. Dengan kata lain, demokrasi pemirsa adalah demokrasi yang mendepolitisasi peran publik dalam proses politik.

Tidak hadirnya kontrol populer setidaknya telah membatalkan dua hal yang sifatnya resiprokal. Pertama, terkait isu-isu besar kebangsaan. Kedua, tema-tema kecil yang terpinggirkan dan dipinggirkan selama ini. Kalaupun dua hal ini dibicarakan, itu hanya terjadi dalam komunitas yang benar-benar menggelutinya, seperti PMKRI.

Baca:Sukses MPAB-MABIM PMKRI Cabang Mbay, Pius: Atas Dukungan dan Bantuan Senior

Sebagai organisasi perjuangan, misi kerja politik keterlibatan PMKRI sebagai manifestasi dari ikhtiar untuk mengakhiri pengabaian, penindasan, dan pencamplokan kepada kehidupan masyarakat yang tersingkir, tertindas, dan tereksklusi. Hal tersebut tercermin dalam aktivitas pemberdayaan, pendidikan, kaderisasi dan advokasi yang terus dilakukan hingga saat ini.

Dalam dimensi politik elektoral, distribusi kader PMKRI secara nasional di segala sektor terus dilakukan. Mulai dari ikut berkontestasi pada pemilihan kepala desa (Pilkades), pemilihan kepala daerah (Pilkada), dan pemilihan umum (Pemilu). PMKRI juga mengurut kader untuk menempati posisi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) di seluruh daerah di Indonesia.

Jejak politik keterlibatan PMKRI dapat dikategorikan signifikan dalam dimensi kuantitatif. Politik keterlibatan PMKRI melalui advokasi dan ikut dalam pentas elektoral mampu membangun sikap kritis dan mereaktivasi subyek masyarakat  untuk lebih aktif dan argumentative dan juga mampu melahirkan kebijakan yang setidaknya berpihak kepada kelompok-kelompok rentan.

Politik keterlibatan PMKRI memastikan demokrasi elektoral (Pemilu 2024) tidak terdeforstasi sekedar pertunjukan para elite dan sajian dari kerja-kerja marketing politik. Melainkan arena publik yang membuka voice, akses dan kontrol masyarakat terhadap arena dan actor yang terlibat dalam pemilu. Sehingga memungkinkan terjadinya kontrak sosial antara kandidat dan konstituen dengan memperkuat persetujuan (legitimasi) rakyat atas kandidat yang memenangkan pemilu.

 

Oleh: Astra Tandang/ Pengurus Pusat PP PMKRI

Exit mobile version