Polemik Pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan, Ini Pernyataan PMKRI Jayawijaya

Papua,Verbivora.com – Setelah adanya pemekaran provinsi Daerah Otonomi Baru (DOB) salah satunya Provinsi Papua Pegunungan yang telah disahkan pada pertenggahan tahun 2022. Sesudah pengesahan justru menghadirkan problem atas penempatan pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan di Wilayah Welesi tepatnya tanah sengketa antara Distrik Welesi dengan Distrik Wouma (Iluagec).

Hal ini terjadi pro dan kontra antara masyarakat Wilayah Welesi yang dihibahkan kepada pemerintah tanpa persetujuan semua unsur baik tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan pelajar/ mahasiswa sebagai generasi penerus yang akan memegang tongkat estafet pemerintah dan wilayah adat tersebut.

Secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 4 distrik yaitu Welesi, Walaik, Napua dan Pelebaga (Wewanap) walaupun adanya pemekaran dalam satu wilayah terbagi tetapi keutuhan secara wilayah adat satu kesatuan dibawa komando oleh Kepala Wilayah.

Baca:HUT PMKRI Ke-76: PMKRI Jayawijaya Adakan Gerakan Penanaman 500 Bibit Pohon

Awal pendekatan tim pembangunan wilayah adat welesi kepada masyarakat untuk meyakinkan bahwa penghibahan lokasi untuk pembangunan Kantor Gubernur. Setelah berjalannya waktu dilakukan pengukuran batas di bukit saitun hingga perbatasan Wilayah Wouma Welesi, penyerahan seluas tanah menjadi 72 hektar.

Perubahan terjadi setelah Wakil Menteri Dalam Negeri, Wempi Wetipo mengunjungi lokasi penempatan pembangunan Kantor Gubernur (Senin,6 Februari 2023) meminta kurang lebih 108,8 hektar dari perbatasan Wouma Welesi hingga Gereja Pentekosta Bukit Saitun Welesi serta rumah warga yang menempati kurang lebih ratusan rumah di pinggir kali (Wandi-Wenda) bahkan penduduk asli wilayah welesi yang menempati sekitaranya akan dipindahkan.

Pembangunan tersebut sangat berdampak pada masyarakat Wilayah Adat Welesi dan Wandi-Wenda di sekitar Iluagec yang berasal dari Distrik Welesi Kampung Welesi, Distrik Walaik Kampung Elarek, Walaik yang menempati dari yang muda hingga tua, beserta pemuda dan mahasiswa bahkan masyarakat wilayah adat welesi dari tuli sampai elagec.

Melihat polemik yang terjadi ini, mendapat respon dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jayawijaya Santo Fransiskus Asisi :

1. Menilai akan berdampak konflik horizontal antara satu wilayah adat, harapan kami kepada Tim Peduli Pembangunan Wilayah Adat Welesi, lima suku distrik Welesi harus melibatkan pihak/kelompok yang menolak, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan serta mahasiswa dan suku lainnya yang berada di ketiga distrik (Walaik, Napua, dan Pelebaga) sehingga ada keputusan bersama untuk menolak atau menerima penempatan pembangunan Kantor Pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan di Welesi

2. Kami juga memohon kepada Penjabat Gubernur Papua Pegunungan dan Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Jhon Wempi Wetipo sebagai Anak Asli Papua Pegunungan, Jayawijaya Lemba Baliem perlu dipertimbangkan dampak baik buruknya karena terkesan dipaksakan pembangunan. Untuk diketahui sebagai anak yang memegang erat budaya bahwa tanah di Papua dan Jayawijaya tidak dimiliki oleh satu klen/sub suku melainkan milik bersama dari satu suku oleh karena itu pentingnya dilakukan kesepakatan bersama untuk menghindari konflik horizontal. lokasi penambahan lokasi yang terjadi hasil pengukuran menurut tim dan ternyata tidak sesuai dengan harapan.

Exit mobile version