Makassar, Verbivora.com – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Makassar Sanctus Albertus Magnus Periode 2020/2021 menggelar webinar tentang “Problematika Pemilu Serentak 2024,” Minggu (21/3/2021).
Diantaranya, pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) untuk DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD RI dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Desain tersebut menuai sejumlah problematika teknis, yang membutuhkan kejelasan, jika pemilu serentak tetap digelar.
Hadir sebagai pembicara, Rahmat Bagja Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Feri Amsari (Direktur Studi Pusat Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas) dan Benidiktus Papa (Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI).
Rahmat Bagja berbicara mengenai kesiapan penyelenggara pemilu dan sejumlah catatan problematika pemilu 2019 hingga 2020.
“Ada sejumlah catatan problematika pemilu 2019 dan pilkada 2020 seperti aspek tata kelola pemilu, aspek ketaatan peserta maupun pemilih pada prinsip pemilu/pilkada jurdil dan aspek penegakan hukum,” ungkapnya.
Ia menambahkan terkait beberapa problem kesiapan pemilu serentak, diantaranya yang pertama, problem makro yaitu adanya ketentuan UU pemilu/pilkada yang multitafsir membuat penyelenggara rentan dipersoalkan secara etik maupun pidana.
Kedua, problem teknis diantaranya irisan antara tahapan pemilu dan pilkada, kesulitan akses jaringan teknologi informasi diberbagai daerah terutama wilayah Indonesia Timur, kondisi geografis di daerah terisolir dan keterbatasan waktu rekapitulasi perhitungan suara dan pelaksanaan pemungutan suara ulang.
Ketiga adalah problem Sumber Daya Manusia (SDM) Ad Hoc yaitu kesulitan recruitmen SDM Ad Hoc dan kapasitas SDM Ad Hoc dalam melaksanakan persiapan hingga pelaksanaan pungut hitung.
Selanjutkan, Rahmat memberikan beberapa tawaran solusi sebagai upaya meminimalisir problem yang akan terjadi.
“Pertama revisi undang-undang pemilu dan pilkada dengan menitik beratkan pada perbaikan tata kelola kepemiluan dan pemantapan sistem penegakan hukum pemilu/pilkada. Dan yang kedua diperlukan langkah-langkah strategis dan antisipasi apabila tidak dilakukan revisi UU pemilu/pilkada,” jelasnya.
Selain itu, Feri Amsari yang berbicara tentang Presidential Threshold menyampaikan, bahwa masih adanya ketidakselarasan antara syarat ambang batas presentase kepemilikan suara partai pengusung untuk ikut pemilu dengan amanat UUD 1945 pasal 6a ayat 2.
“Dalam Pasal 222 UU 7/2007 mengatur tentang ambang batas presiden atau syarat persentase partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres-cawapres, yakni 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional,” papar Feri.
Merutnya, dengan ambang batas yang terlalu tinggi bisa menghalangi partisipasi politik masyarakat dan membatasi peluang munculnya calon-calon alternatif yang bisa jadi punya kualifikasi dan kualitas yang lebih baik.
“Mungkin saja ada calon yang berkualitas tapi tidak bisa maju karena tak lolos ambang batas yang terlalu tinggi,” Pungkas Amsari.
Benidiktus Papa juga berbicara terkait partisipasi masyarakat. Ia menyampaikan dapat dilihat bahwa setiap tahunnya partisipasi masyarakat semakin meningkat turut serta memberikan hak suaranya yang walaupun masih belum mencapai sepenuhnya jumlah daftar pemilih tetap.
“Peranan PMKRI kedepan harus mengampanyekan pentingya berpartisipasi kepada negara dalam pemilihan, dengan memberikan hak suara di pemilu serentak pada tahun 2024 yang akan datang,” tutup Papa. *(AR)