Fokus, Verbivora.com – Sentralisasi perizinan dan pengawasan terhadap pengelolaan panas bumi mengandung celah yang besar. Celah ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh perusahan pengelola panas bumi untuk melanggar ketentuan dan prosedur pengelolaan panas bumi di lokasi.
Wewenang izin dan pengawasan terhadap pengelolaan panas bumi memang hanya ada pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia. Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota sama sekali tak memiliki wewenang.
Terkait kewenangan pengelolaan dan pengawasan, diatur dalam UU No. 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi dan Peraturan Pemerinth No. 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan tak langsung.
Melalui celah ini, perusahan pengelola memiliki legalitas untuk mengabaikan keluhan masyarakat dan pemerintah daerah apabila ada dampak buruk yang terjadi pada proses pengembangan panas bumi. Terutama untuk wilayah panas bumi yang terletak di wilayah administrasi pemerintah daerah tertentu.
Regulasi membuat celah itu yang kemudian melahirkan arogansi dan ketidakpedulian perusahan terhadap keluhan masyarakat.
Kali ini, sikap arogansi datang dari PT. Sorik Merapi Geothermal Plant (SMGP) yang mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di kabupaten Mandailing, Sumatera Utara.
Sikap arogansi PT. SMGP itu berujung pada meninggalnya 5 orang warga dan 24 orang dirawat ke Puskesmas di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 25 Januari 2021.
Para korban dikabarkan mengalami keracunan akibat adanya semburan gas beracun dari Pembangunan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di yang tak jauh dari permukiman dan tempat bertani warga setempat.
Kementerian ESDM menyatakan insiden yang terjadi di PLTP Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara merupakan maloperasional oleh PT. SMGP.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan pihaknya telah melakukan investigasi terkait penyebab tragedi tersebut dan ditemukan beberapa pelanggaran oleh PT. SMGP (CNN Indonesia, 3/2/2021).
Pertama, perencanaan kegiatan yang tidak matang. Kedua, pelanggaran terhadap prosedur yang telah ditetapkan. Ketiga, peralatan dan instalasi penunjang yang belum siap atau lengkap.
Keempat, lemahnya koordinasi antar tim pelaksana kegiatan. Kelima, pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat yang tidak memadai. Keenam, kompetensi personil pelaksana kegiatan yang tidak memadai.
Korban nyawa terkait PT. SMGP ini juga terjadi pada tahun pada 2018 dan 2014 silam.
Pada 2018, dua orang santri dari Pondok Pesantren Mustafawiyah Purba Baru jatuh ke kolam penampungan air milik perusahaan panas bumi PT. SMGP dan tak bisa diselamatkan, Sabtu (29/9/2018).
Kejadian bermula dari ketika anak-anak santri bermain ke kolam galian PT. SMGP yang tidak berfungsi itu. Selain tidak berfungsi, kolam tersebut juga tidak dijaga baik oleh pihak PT. SMGP, sehingga memudahkan anak-anak atau siapapun untuk mengaksesnya.
Pada tahun 2014, juga ada korban nyawa akibat konflik horizontal antara warga yang menolak dan mendukung kehadiran PLTPB. Konflik ini diduga karena ada adudomba antara masyarakat pro dan kontra oleh PT. SMGP. Hal itu disampaikan Alfian Siregar saat aksi demonstrasi di Kementerian ESDM pada 18 Mei 2016.
“PT SMGP mengadu domba warga. Pro dan kontra pun pelan-pelan, merasuki warga lima kecamatan. Puncaknya pada 11 November 2014, aksi ribuan masyarakat memblokir jalan lintas Sumatera ditantang warga yang lain: Seorang tewas dan belasannya digelandang ke Kantor Polisi.” (Republika.co.id,18 Mei 2016).
Diketahui karena konflik dan penolakan tersebut, izinan pengelolaan panas bumi oleh PT. SMGP dicabut oleh Bupati Mandailing. Ketika itu izinan masih menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten.
Dalam Surat Keputusan bernomor 540/665/K/2014 tanggal 9 Desember 2014, Bupati Mandailing menyatakan bahwa salah satu alasan pencabutan izin, yakni karena ada aksi protes yang tinggu dari ribuan masyarakat, yang menganggap adanya ancaman terhadap lingkungan dan mengundang bencana alam.
Pengawasan yang Lemah dan Arogansi PT. SMGP
Bupati Mandailing Natal, Dahlan Hasan Nasution menyampaikan kekecewanya terkait sistem tata kelola PT. SMGP. Ia menilai perusahan ini tidak kooperatif dan sangat tertutup (iNewsSumut.id, 25/01).
Hal itu disampaikan Bupati Dahlan, mengingat sebelumnya tim pemerintah kabupaten Mandailing telah mendatangi PT. SMGP untuk megecek lingkungan dan aktivitas yang kian meresahkan masyarakat sekitar. Kedatangan tim pemerintah ditolak oleh PT. SMGP lantaran pengecekan dan pengawasan bukan wewenang pemerintah kabupaten.
Menurut Dahlan, ia menerima aduan masyarakat terkait ketidaknyamanan lingkungan mereka selama pengoperasian PLTPB tersebut.
“Saat sidak terkait urusan Amdal dan keselamatan warga sekitar, pemerintah daerah kerap tak mendapat izin masuk apalagi melakukan pemeriksaan ke dalam lingkungan perusahaan panas bumi,” ujar Dahlan.
Sebelumnya, masyarakat di sekitaran lokasi PLTPB Sorik Marapi mengadu kepada pemerintah setempat perihal dampak yang tengah mereka alami dan kerusakan lingkungan yang ada. Melalui perwakilan warga Mandailing Natal, Saptar mengungkapkan jika area Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Sorik Marapi berjarak dekat dengan aktivitas pertanian masyarakat (CNN, 2/2/21).
“Radius aktivitas masyarakat kalau kita pikir itu kurang dari 100 meter. Salah satu contoh tragedi tanggal 25 kemarin, lokasi pengeboran sumur hanya berbatas dinding pagar seng,” jelas Saptar.
“Selain itu, terdapat kejanggalan padaa saat dumulainya pengoperasian PLTPB Sorik Marapi tersebut. Ketika PLTPB dibangun, kata Saptar, masyarakat hanya mendapat kabar dari mulut ke mulut. Ia mengatakan bahwa para warga juga tak pernah mendapat penjelasan terkait analisis dampak lingkungan (AMDAL) dari perusahaan,” tambahnya.
Saptar juga mengatakan aktivitas pertanian masyarakat berada persis dibalik pagar seng yang membatasi kawasan PTLPB tersebut. Menurutnya, pihak pengelola tak pernah mensosialisasi kepada masyarakat terkait potensi bahaya aktivitas PLTPB itu.
“Kalau ada kemungkinan bahaya harusnya ada pemberitahuan, bisa saja dengan pengumuman pengeras suara atau gimana kek. Untuk pengetahuan lebih awal, biar aktivitas masyarakat berkurang,” tegas Saptar.
Sebelumnya, pada tahun 2014 silam, masyarakat juga menyampaikan keluhannya. Seorang tokoh adat masyarakat adat Sorik Marapi, Yasir Nasution mengaku adanya kerusakan lingkungan selama proses kegiatan dan khawatir akan ada kerusakan yang lebih parah.
“Selama proses pengerjaan proyek, dan pengambilan sampel, terjadi kerusakan hutan cukup luas, menggunakan alat berat. Mereka juga khawatir proyek akan menimbulkan dampak buruk bagi keamanan jiwa masyarakat mereka,” keluh Yasir (Mongabay.co.id, 13/12/2014).
Wakil Sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sumatera Utara, Bambang Saswanda Harahap memberi kesan adanya arogansi dari pihak PT. SMGP. Hal itu disampaikanya pada 26 Januari 2021.
“Kok kesannya arogan mentang-mentang memperoleh izin operasional dari Pemerintah Pusat. Padahal mereka beroperasi di wilayah Madina,” ungkap Bambang. *(SJ)
Ilustrasi – Thejakartapost |