Perubahan Untuk Perbaikan

Ket. Alboin Samosir (Foto: Istimewa)

Oleh Alboin Samosir*

Pemilihan
umum merupakan metode yang sampai saat ini masih digunakan oleh Indonesia dalam
proses pergantian kekuasaan baik di 
bidang legislatif maupun di eksekutif. 
Perjalanan proses pemilihan umum telah banyak mengalami pasang surut
semenjak pemilihan umun tahun tahun 1955. Gonta-ganti peraturan sepertinya
sudah menjadi hidangan wajib setiap kita akan memulai pemilu, dimulai dari UU
No 27 Tahun 1953 sampai yang sekarang, UU No 7 Tahun 2017.
Disetiap
pergantian regulasi itu selalu lahir polemik, selalu ada pro-kontra begitu juga
dengan undang undang pemilu yang kita pakai
saat ini.
Mulai dari permasalahan presidensial thres
hold,
parl
iamentary threshold, dan pelaksanaan pemilihan umum secara
serentak. Dan yang paling banyak menyita perhatian kita adalah dampak dari
pemilihan serentak ini yakni, banyak petugas KPPS yang
jadi korban akibat kelelahan saat rekapitulasi suara.
Saat
Undang-undang ini disahkan, banyak pihak yang sudah mengantri di depan pintu
Mahkamah
Konstitusi untuk segera mengajukan judicial review terkait permasalahan
beberapa pasal misalnya pasal 222, yakni pasal yang mengatur ambang batas
pencalonan presiden. Pasal ini dianggap membatasi hak konstitusional bagi
mereka yang ingin mengabdikan diri sebagai pemegang pucuk pimpinan di
Indonesia. 
Ambang
batas 20 persen suara di perlemen dianggap berlebihan dan bertentangan dengan
pasal 6A Ayat (2) yang membuka kesempatan secara luas bagi siapa pun yang ingin
menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Mengingat juga pemilihan umum
kali ini diadakan serentak maka banyak kalangan menilai tidak tepat menggunakan
perolehan suara di pemilihan sebelumnya, karena akan ada saja hasil diluar
dugaan. Banyak kalangan juga beranggapan dengan presidensial thres
hold 20 persen berpotensi untungkan petahana.
Yang
sepakat dengan ambang batas pencalonan presiden 20 persen bukan tanpa
perlawanan. Menurut mereka adanya ambang batas 20 persen akan memperkuat
ketatanegaraan kita yang notabene menganut sistem presidensial. Karena dalam
setiap kebijakannya presiden dirasa perlu memiliki kekuatan yang cukup di
parlemen untuk menggolkan beberapa kebijakan penting dan juga akan membantu
stabilitas presiden dari intervensi parlemen.
Beberapa
hari menjelang pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi selaku lembaga tinggi
peradilan negara yang memiliki kekuatan final dan mengikat membuat para penguji
yang terdiri dari lembaga maupun perseorangan harus gigit jari. Pasalnya, semua
gugatan yang diajukan ditolak oleh Mahkamah konstitusi. Mahkamah konstitusi
beranggapan dengan adanya presidensial
thres
hold
20 persen akan memperkuat posisi presiden di negara yang menganut sistem
presidensial. Jelas, anggapan itu masih belum menjadi jawaban dari gugatan yang
diajukan oleh penguji namun, apapun itu wajib hukumnya menaati putusan dari MK.
Tidak
hanya bermasalah di presidensial thres
hold
namun, permasalahan itu tampak ketika pemilihan umum serentak ini selesai
diadakan. Permasalahan itu nampak ketika banyak meregang nyawa
petugas di beberapa
daerah
akibat kelelahan
dalam proses rekapitulasi suara. Menurut laman resmi KPU tercatat ada sekita
225 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya dirawat di rumah sakit.
Yang
menjadi pertanyaan kita bersama yakni, apakah memang hal ini tidak mampu
diprediksi oleh penyelenggara atau memang penyelenggara berang
gapan proses penghitungan ini akan sama saja
dengan pemilu-pemilu sebelumnya
? Sudah menjadi budaya di
negeri ini segala sesuatu tidak pernah
berpikir secara
matang. Trial and error sudah menjadi
hal yang wajar.
Penyematan pahlawan demokrasi ataupun pahlawan
pemilu bagi para KPPS ataupun pihak terlibat lainnya menurut saya sah-sah saja
dan sudah sepatutnya pemerintah meng
hargai pengorbanan mereka dengan apresiasi yang tinggi. Namun,
bila kita melihat dari segi sistem dan regulasi yang berlaku mereka menjadi
korban dari sistem yang tidak mampu memprediksi
dan mewaspadai kemungkinan serta dampak dari pemilu serentak ini yang konon
katanya demi efektifitas dan ef
isiensi.
Berkaca
dari semua kejadian tersebut proses undang-undang nomor 7 tahun 2017 harus
segera dievalausi. Perubahan regulasi harus segera diwacanakan. Menurut
penulis, alasan efektifitas dan penghematan anggaran tidaklah jauh lebih
penting dibandingkan ratusan nyawa yang telah dikorbankan. Begitu juga dengan
metode pengitungan yang masih tradisional harus segara diganti. E-VOTE atau
memilih secara elektronik, sedikit banyak akan membantu permasalahan ini.
Perubahan
adalah sesuatu yang pasti. Begitu juga dengan sistem pemilu kita kali ini harus
segera diubah agar tidak ada lagi pihak yanng dirugikan dan tercipta
nya bonum commune (kebaikan bersama). Gonta-ganti
regulasi tidak akan menggaransi kepada kita
akan
tercipta
nya pemimpin yang baik, amanah, dan negarawan
namun, sebagai civil society
perlu hadir dan
mengawalnya.  Yang harus kita kawal dalam
perubahan regulasi ini yakni, agar dalam perumusan setiap pasal tidak disematkan
kepentingan pribadi, golongan, ataupun kepentingan partai melainkan kepentingan
bangsa ini dengan harapan melalui sistem yang kita kawal bersama akan lahir
pemimpin yang mampu menjawab tantangan bangsa hari ini
dan masa depan.

*Penulis adalah Ketua Presidium PMKRI Cabang Pematangsiantar

Exit mobile version