Beranda Update Perjuangan Pribumi Melawan Kolonialisme dalam Film Bumi Manusia

Perjuangan Pribumi Melawan Kolonialisme dalam Film Bumi Manusia

0
Perjuangan Pribumi Melawan Kolonialisme dalam Film Bumi Manusia
Film Bumi Manusia
Film yang berdurasi 3 jam 1 menit tersebut merupakan karya Hanung Bramantyo yang diangkat dari novel karya Pramoedya Ananta Toer mengisahkan tentang kisah Minke dan Annelies yang berakhir dengan Tragis.
Minke adalah seorang pribumi totok, lahir dari rahim pribumi, yang berkesempatan bersekolah di HBS. HBS adalah sekolah khusus orang-orang Eropa terutama Belanda, sementara orang-orang pribumi yang boleh bersekolah di HBS hanyalah mereka yang berasal dari kalangan ningrat atau pejabat (bupati atau patih). Minke adalah seorang  anak Bupati. Minke berhasil meraih peringkat pertama dan lulusan terbaik di HBS Soerabaya dan lulusan terbaik kedua di Hindia-Belanda.
Minke jatuh hati pada Annelies Mellema putri Herman Mellema yang keturunan Belanda totok dan gundiknya yang bernama Nyai Ontosoroh seorang pribumi. Artinya, Annelies merupakan blasteran Eropa-pribumi, namun dirinya tidak mau jadi Eropa, dia lebih memilih menjadi pribumi. Bahkan, dokter pribadi keluarga Mellema yang adalah seorang Belanda menyebutkan kalau Annelies lebih memilih menjadi pribumi ketimbang Eropa.
Hubungan Minke dan Anne berlanjut ke pernikahan yang disahkan secara agama. Pernikahan keduanya pun ditentang oleh hukum Belanda dan dianggap tidak sah. Namun, bagi Minke, pernikahan itu sah karena pernikahan kedua sejoli itu murni berlandaskan rasa cinta yang tulus. Pernikahan tersebut memang membahagiakan di awal, tapi seperti kata Jean Marrais, cinta pun bisa berujung binasa, dan kita tahu ceritanya, pernikahan itu berujung petaka. Dipisahkan secara paksa oleh hukum Belanda.
Pernikahan tersebut mendapat restu dari Nyai Ontosoroh dan ibunda Minke, meski sang ayah tak merestui karena Annelies adalah putri seorang Nyai dan bagi orang pribumi pada waltu itu reputasi seorang nyai itu buruk secara moral.
Meski demikian, Annelies tetap memandang ibunya sebagai sosok yang baik dan luar biasa pun demikian ayahnya meski belakangan ayahnya cenderung kasar terhadap ibunya dan itu berdampak buruk bagi keluarga mereka. Perlu diketahui, pernikahan kedua orangtua Annelies, Herman dan Nyai Ontosoroh, tidak sah di mata hukum Belanda karena Nyai pribumi sementara Herman adalah Eropa totok. Meski demikian, Herman tetap memilih seorang pribumi (menjadi gundiknya) walaupun hal itu bertentangan dengan hukum Belanda.
Ayah Anne meninggal secara tragis setelah diracuni oleh pelacur keturunan Tionghoa di rumah bordil milik baba Ah Tjong. Anne sangat histeris ketika melihat Ayahnya terbaring dengan Busa keluar dari mulutnya.

Atas peristiwa kematian Herman, Nyai Ontosoroh, Minke, dan Annelies pun di adili di pengadilan pribumi (landraad) atas kematian suaminya karena kehadiran mereka di rumah bordil itu pada saat kematian Herman. Nyai bersikeras menentang segala tuduhan pengadilan dan melawan semua tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang Eropa. 

Beberpa orang belanda termasuk dokter keluarga Mellema turut membela Nyai Ontosoroh. Namun, setelah mendatangkan berbagai saksi, dan terutama saksi kunci sekaligus pelaku pembunuhan yang mengakui perbuatannya, Nyai Ontosoroh, Minke, dan Annelies terbukti tidak terlibat dalam pembunuhan Herman Mellema.
Masalah lain muncul ketika anak istri pertama Herman di Belanda, Maurits Mellema, menuntut hak warisan Herman Mellema. Artinya, Nyai Ontosoroh tidak mempunyai hak lagi atas harta warisan yang ditinggalkan mendiang suaminya, termasuk di dalam hak untuk mengasuh Annelies.
Nyai Ontosoroh tidak memiliki hak mengasuh atas diri Annelies karena di mata hukum Belanda pernikahan Herman dan Nyai Ontosoroh tidak sah. Nyai Ontosoroh bukanlah istri sah, melainkan hanya seorang gundik atau selir. Maka, setelah Herman meninggal, semua harta warisan dan hak asuh jatuh ke tangan anak sah dari darah Eropa totok yakni Maurits Mellema.
Nyai sangat terpukul dengan kabar itu, ia kembali berjuang bersama Minke untuk memperoleh keadilan. Namun pengadilan Eropa telah memutuskan bahwa Nyai tidak mempunyai hak asuh atas Annelies. Selain itu pernikahan antara Minke dan Annelies tidah sah secara Hukum Belanda.
Dukungan dari berbagai kalangan pun muncul. Dari Para Kyai dan tokoh-tokoh Agama Islam. Mereka melakukan demonstrasi di pengadilan pribumi untuk menuntut keadilan, keadilan bagi Minke dan Annelies, keadilan bagi pribumi yang selalu diperlakukan tidak adil.
“Ini bukan tentang Islam maupun kafir, tetapi ini adalah penindasan”
“Semua manusia itu sama rata”
Kalimat itu merupakan salah satu kalimat dilontarkan di hadapan para demonstran. Mereka menuntut untuk mengapuskan penindasan di muka bumi.
Namun kekuatan kolonial masa itu tak bisa dibendungi. Annelies akan segera di kirim ke Amsterdam dan diasuh oleh pengasuh  yang telah ditunjuk oleh pengadilan. Bahkan untuk menemani ke Belanda pun, Nyai dan Minke tidak diperbolehkan.
Dengan berat hati Minke menunjuk Jan Dapperste, sahabatnya sewaktu di HBS yang merupakan Orang Eropa, untuk menemani Annelies ke Belanda. Sama seperti Minke, Jan tidak setuju dengan penindasan, dengan kolonialisme. Ia menentang hal itu dan terbukti dengan mengubah nama Belandanya menjadi Panji Darman. Ia melawan. Minke menunjuk dia untuk menemani Annelies ke Amsterdam karena hanya dia keturunan Eropa yang bisa dipercaya untuk menjaga Annelies.
“Aku berharap Ibu menikah lagi dengan pribumi dan memberikan Aku seorang adik supaya tidak menyusahkan seperti anakmu ini yang adalah seorang keturunan”
Pesan Anne kepada ibunya itu dari hati yang paling dalam dengan makna bahwa menjadi keturunan Indo-Eropa itu tidak enak dan Annelies merupakan salah satu korban dari hukum kolonial yang sangat menindas itu.

Minke sangat bersedih ketika akan dipisahkan dengan Annelies dan akan segera dikirim ke Amsterdam. Annelies telah berangkat ke Amsterdam meninggalkan Minke bersama ibunya Nyai Ontosoroh.

“Kita telah Kalah Ma”, Kata Minke Pada Nyai Ontosoroh.
“Kita telah melawan , Nak, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”. Kata Nyai.
Ada beberapa pesan yang disampaikan dalam Film tersebut:
1. Tidak semua bangsa Eropa pada masa Kolonial adalah orang jahat dan berwatak penjajah, masih banyak yang beradab misalnya dokter keluarga Mellema, Jean Marais orang Perancis, Jan Dapperste dan beberapa kerabat Minke.
2. Bahwa Sesungguhnya Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
3. Perjuangan Pribumi melawan Kolonial bukan tentang Islam, bukan tentang Kafir, bukan tentang Jawa tetapi untuk melawan penindasan karena manusia itu pada hakekatnya sama dan sederajat.
4. Pada masa Kolonial, biblat ilmu pengetahuan ke Eropa dan Minke melawan itu dengan caranya sendiri bahwa pribumi juga punya peradaban dan local wisdom-nya sendiri.
5. Perjuangan untuk melawan Kolonial adalah harkat dan martabat dari anak bangsa untuk melawannya, Minke dan Nyai Ontosoroh merupakan tokoh Revolusioner dalam Bumi Manusia.
6. Bangsa yang terjajah selalu dipandang rendah oleh yang penjajah.
7. Bangsa yang menjajah bangsanya sendiri adalah bangsa yang tidak terhormat. Misalnya Para pengkhianat yang bergabung dengan penjajah untuk  menindas pribumi.
8. Bumi Manusia mengajarkan kita tentang apa itu perjuangan, apa itu penindasan, apa itu ilmu pengetahuan, apa itu peradaban, apa itu cinta sejati dan apa itu pribumi.
RM Tirto Adhi Soerja (Minke dalam kisah Bumi Manusia) adalah sosok yang menginspirasi Pramoedya Ananta Toer melahirkan Tokoh Minke dalam 4 Novelnya yang dikenal sebagai Tetralogi Buru.
Terimaksih kepada Hanung Bramantyo telah mengangkat buku sastra Bumi Manusia ke Layar Lebar dan kita berharap ada Trilogi dari Film ini. Sebagai pecinta karya sastra Pram, saya mengimbau kepada seluruh generasi muda untuk menonton Film Ini khususnya teman-teman Komunitas Sastra Se-Indonesia.
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”
(Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)

*Penulis adalah aktivis PMKRI Jayapura