Perihal UU ITE Mengganjal Demokrasi, ini Kritik Para Tokoh dan Pakar


Jakarta, Verbivora.com – Para tokoh mengemukakan pandangannya terhadap Undang-undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE) setelah Presiden Joko Widodo alias Jokowi meminta masyarakat aktif memberi masukan dan kritik kepada pemerintah.

Beberapa pihak menilai pasal-pasal karet yang termaktub dalam UU ini mengganjal rakyat untuk menyampaikan kritik. Berikut ini pandangan sejumlah tokoh terkait kritik UU ini yang dinilai menghalangi kebebasan bersuara:

1. Penasihat Partai Demokrat

Penasihat Fraksi Demokrat dan DPR RI, Benny Kabur Harman, mengatakan Jokowi harus berani menghapus semua hambatan legal penyampaian kritik. 

“Presiden harus mengajukan revisi UU ITE kepada parlemen dan mengubah agar aturan itu tak terlalu ketat,” kata Benny.

Beni menambahkan, Jika UU ini tidak direvisi, penerapannya harus diatur secara selektif. 

“Yang menjadi masalah sekarang, aturan ini menjadi pisau bermata dua dan diskriminatif. Tajam kepada pengkritik atau lawan politik, tetapi tumpul kepada para pendukung pemerintah,” tambahnya.

Pilihan lainnya, Benny menyatakan bisa saja Jokowi memerintahkan kepolisian untuk tak menggunakan UU ini demi komitmennya terhadap demokrasi.

“Tergantung komitmen pemerintahnya. Kan banyak UU kita enggak di pakai karena komitmen pemerintah terhadap demokrasi,” ujar dia.

2. Rocky Gerung

Pengamat politik, Rocky Gerung mengatakan, Jokowi seolah menutup mata akan berbagai kasus pembungkaman kebebasan berpendapat yang selama ini terjadi. Kebebasan berbicara itu telah tersandera Undang-undang ITE.

“Jadi seolah-olah bilang silakan kritik, oke, anda boleh ngomong. Omongan anda dijamin oleh kebebasan, tapi setelah anda ngomong kami tidak jamin kebebasan anda, kira-kira begitu. Setelah ngomong kebebasannya ditunggu oleh Undang-undang ITE, ditunggu oleh Bareskrim,” tuturnya.

Rocky melanjutkan, jika serius, maka Jokowi harus membuktikan dengan tindakan.

“Jika Jokowi serius dengan ucapannya, seharusnya semua tahanan politik dibebaskan dan tidak ada buzzer yang dikerahkan untuk menyerang pengkritik pemerintah,” lanjutnya.

3. KontraS

Peneliti Kontras, Rivanlee Anandar mengatakan, Data KontraS menunjukkan, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Jokowi. Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan objek kritik Polri dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik pemerintah daerah. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun Undang-undang ITE.

“Jikalau benar Presiden menginginkan kritik, beri dan jamin ruangnya dari ancaman pasal karet yang ada selama ini. Ia bisa memulainya dengan bertanggung jawab kepada orang-orang yang menjadi korban pembatasan kebebasan sipil, baik karena surat telegram Kapolri maupun UU ITE,” ujarnya.

4. Jusuf Kalla

Jusuf Kalla tidak langsung menyoroti soal Undang-undang ITE. Namun menyindir Jokowi saat meminta masyarakat mengkritik pemerintah.

“Beberapa hari lalu presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah, tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Seperti yang disampaikan Pak Kwik (Kian Gie), dan sebagainya,” ujar JK dalam acara peluncuran Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS, dikutip pada Sabtu (13/2/2021).

Menurut JK, demokrasi tak bisa menghilangkan kritik, check and balance amat diperlukan. Sehingga, keberadaan partai oposisi dalam hal ini sangat penting untuk menjaga keberlangsungan demokrasi.

5. KedaiKOPI

Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia), Hendri Satrio, mendorong adanya revisi UU ITE. Hendri mengatakan percuma jika Jokowi minta dikritik tanpa ada revisi terhadap beleid itu. 

“Aturan ini lah yang paling sering dipakai menjerat mereka yang mengkritik pemerintah,” kata Hendri. seperti dilansir Tempo.co. *(JM)

Exit mobile version