Perihal RUU Tindak Pidana Terorisme

Foto. Dok. Pribadi
Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik  Indonesia (PP PMKRI) melalui Lembaga Kajian, Penelitian, dan Pengembangan Organisasi (LKPP) mengadakan diskusi publik terkait RUU Terorisme bertajuk, ‘’Ada Apa dengan RUU Terorisme?’’ pada Sabtu, 19 Mei 2018 bertempat di Aula Margasiswa yang beralamat di Menteng, Jakarta Pusat.

Hadir dalam kesempatan tersebut sebagai narasumber Lucius Karus sekaligus peneliti FORMAPPI, hadir juga dalam kesempatan yang sama perwakilan dari Kontras yakni Arif Nur Fikri, ketiga Juventus Prima Yoris Kago selaku ketua PP PMKRI, sedangkan Azis Syamsuddin yang juga anggota DPR komisi III DPR RI berhalangan hadir. Dalam diskusi publik tersebut dimoderatori oleh ketua LKPP, Alfredo Nabal.

Kegiatan tersebut bertujuan untuk menanggapi fenomena terorisme dan keresahan di masyarakat terkait revisi UU Tindak Pidana Terorisme yang belum tuntas dibahas di DPR.  Fenomena ini mulai ramai dibicarakan oleh masyarakat ketika serangkaian aksi keji yang dilakukan oleh para napi teroris yang menjadi ihwal kerusuhan di Mako Brimob dan serangkaian serangan ledakan bom bunuh diri di Surabaya pada 13 Mei 2018.

Arif Nur Fikri sebagai pembicara pembuka mengatakan bahwa RUU TPT harus menjelaskan bahkan memasukan juga strategi soal proses penangkapan dan penangkalan aksi terorisme. Kontras memberi empat catatan penting terkait dengan RUU Terorirsme ini. Pertama, harus punya mekanisme perlindungan orang yang berdampak dari aksi terorisme. Kedua, perihal definisi korban dalam UU Tindak Pidana Terorisme. 

Ini menurut Kontras sangat penting karena para penegakkan hukum dalam kerja lapangan oleh aparat seringkali salah tangkap. Ketiga, mekanisme akuntabilitas dan transparansi. Keempat, proses yang dikedepankan adalah pencegahan bukan penindakan.

Selama ini pemerintah tidak mewaspadai soal bahan-bahan peledak yang dengan mudah dijual di masyarakat. Konteks penegakkan hukum harus diserahkan kepada penegak hukum. RUU Terorisme yang melibatkan TNI tidak dijelaskan atau mempunyai turunan dalam RUU tersebut. 

Lebih dari itu, perancangan Perppu tidak melibatkan masyarakat sehingga beredar adanya tafsir yang berbeda di masyarakat selain tafsir versi pemerintah. Pencegahan harus diutamakan, tutupnya.

Sementara Lucius Karus berpendapat situasi bangsa sedang dalam kondisi memperhatinkan, karena multitafsir atas wacana yang dicanangkan oleh pemerintah soal Perppu dan RUU Tindak Pidana Terorisme. UU yang seharusnya menjadi titik fokus DPR justru jarang mendapat perhatian yang serius, seperti halnya RUU Terorisme. 

Kita memiliki wakil rakyat yang gagap merespon situasi bangsa. Regulasi yang dihasilkan tidak memiliki kekuatan atas legitimasi dari publik. Kita akhir terjebak dalam perdebatan yang tak punya solusi, serta kewalahan dalam menetralisir isu terkait yang berkembang di masyarakat. 

Pada intinya, pembahasan RUU TPT harus dilaksanakan secara terbuka, transparan agar masyarakat mengetahui sejauh mana RUU TPT dibahas dalam agenda DPR. Artinya tidak ada jalan lain bagi DPR selain mempercepat proses RUU TPT.

Pada konteks yang lain, bagi Juventus Prima Yoris Kago, dalam kesempatan yang sama, memberikan pernyataan bahwa penerbitan Perppu oleh presiden bukan sesuatu yang mendesak atau genting saat ini. Oleh karena itu kami mengapresiasi  sikap Presiden Jokowi yang sudah sangat tepat dalam konteks ini. Sehingga kita mendukung presiden untuk mendorong DPR sesegera mungkin  mengesahkan  RUU Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.

Dalam konteks yang demikian, pemerintah juga berperan mendorong peningkatan profesionalitas  aparat penegak hukum dalam pemberantasan terorisme. Tegasnya, soal HAM juga perlu diperhatikan dengan mengedepankan upaya preventif, sembari menutup diskusi yang disambut dengan tepuk tangan para hadirin.

Exit mobile version