Beranda Update Perempuan, Kapitalisme dan Patriarki dalam Pusaran Pandemi

Perempuan, Kapitalisme dan Patriarki dalam Pusaran Pandemi

0
Perempuan, Kapitalisme dan Patriarki dalam Pusaran Pandemi

 

Kupang, verbivora.com-Berada dalam pusaran perubahan yang sering sebagai kemajuan atau kemajuan yang menuntut kita menjadi bagian dari adaptasi atau tergerus oleh perubahan itu sendiri. Kemajuan memiliki standar umum yang kemudian mematikan nalar kritis peradaban mulai dari ide pembangunan hingga standar seorang individu. Perlu mengetahui lebih dalam soal kedirian yang sebenarnya menjadi bagian dari target kita masing-masing, setidaknya bisa menjadi akar bagaimana berdiri di atas dunia yang tidak pernah menjadi statistik dan diperhadapkan dengan berbagai gempuran perubahan. Dalam dunia tsunami kemajuan teknologi yang pesat dengan tawaran segala instan yang dimiliki mengantar kita pada diciptakan yang dipaksa untuk beradaptasi atau hanya berselancar sebagai pasar empuk kapitalis. Kehadiran pandemi tak jarang menghantar kita menjadi generasi rebahan, terombang ambing di antara seliweran muatan dunia dalam genggaman. Kehadiran kita sebagai bagian dari peradaban global tidak terlepas dari industrialisasi kapitalis.

Pandemi menghantar peradaban dalam akselerasi globalisasi, siap atau tidak kita dipaksa berlari lebih cepat. dalam industrialisasi kapitalis perempuan dan laki-laki punya peluang yang sama dieksploitasi atau terlempar dari ruang kompetisi. Yang menjadi penimbang hanaya akumulasi modal serta kontribusi pada laba yang diperoleh. Tempat tidur perempuan dalam pusaran kapitalis mengalami tekanan yang berbeda, dimana ada pintu lain yang mesti didobrak lebih keras dari laki-laki. Kehadiran kapitalis yang tidak mengakui kemanusiawian manusia yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan yang kemudian berakibat pada termarginalkan perempuan dalam kehidupan ekonomi. Hal ini sangat berpengaruh pada bagaimana ruang-ruang dominasi terhadap perempuan menjadi lebih besar termasuk terbawa dalam ruang politik.

Selama masa pandemi perempuan menjadi korban yang lebih rentan dari laki-laki. Diantara kerja keras industrialisasi kapitalis serta himpitan patriarki perempuan pada rajaman yang bertubi-tubi. Hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak pada Juli 2020 tentang penilaian dampak Covid 19 dimana kehadiran pandemi telah memperparah kerentanan ekonomi perempuan dan ketidaksetaraan gender di Indonesia. Temuan di lapangan banyak perempuan di Indonesia yang berasal dari usaha keluarga, tetapi 82% di antaranya mengalami penurunan sumber pendapatan. Meskipun 80% laki-laki juga mengalami penurunan, mereka mendapatkan keuntungan lebih banyak dari sumber pendapatan. Sejak pandemi, Sebanyak 36% pekerja informal harus mengurangi waktu kerja berbayar mereka dibandingkan laki-laki yang hanya 30% yang mengalaminya. Pembatasan sosial telah membuat 69% perempuan dan 61% laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Angka tersebut menunjukkan perempuan memikul beban terberat, mengingat sebanyak 61% perempuan juga menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh dan mendampingi anak dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 48%. Pandemi Covid-19 telah mempengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan. Hal ini disebabkan karena 57% perempuan yang mengalami peningkatan stres dan akibat akibat peningkatannya beban beban rumah tangga dan pengasuhan, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, serta mengalami kekerasan berbasis gender. 

CY Marselina Nope dalam buku jerat Kapitalis Terhadap Perempuan, Kapitalis menjadi pisau bermata dua bagi patriarki, dimana laki-laki selalu punya ruang dominasi yang lebih besar terhadap perempuan. Dalam relasi dengan kapitalis maka akan menimbulkan dampak positif atau dengan kata lain melanggengkan patriarki ketika laki-laki berkompetisi dalam ruang produksi tanpa mempertimbangkan kedirian perempuan sehingga perempuan berada pada posisi di bawah. Dimana yang menjadi tolak ukur hanya tingkat produktivitas. Disisi lain akan berdampak negatif ketika kehadiran kapitalis yang cenderung buta gender kemudian memberikan ruang kompetisi yang sportif yaitu juga diimbangkan dengan pemberdayaan perempuan sehingga kemampuan perempuan menunjuk diri akan berbanding terbalik dengan ruang dominasi patriarki. Meski pada kondisi tertentu konstruksi pikir kapitalis malah menghantar perempuan pada titik lupa bahwa ia adalah perempuan. Kebebasan yang kemudian malah merajam kemerdekaannya sendiri. Dalam pusaran pandemi sebagian aktifitas kembali dilakukan atau berpusat di rumah. Hal ini akan memberikan beban ganda terhadap perempuan, selai harus produktif di dunia kerja juga memiliki beban beban kerja rumah tangga. Hal ini kemudian memiliki kemungkinan besar perempuan karir diperhadapkan pada masalah berikut yaitu pemutusan hubungan kerja hingga kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini akan memberikan beban ganda terhadap perempuan, selai harus produktif di dunia kerja juga memiliki beban beban kerja rumah tangga. Hal ini kemudian memiliki kemungkinan besar perempuan karir diperhadapkan pada masalah berikut yaitu pemutusan hubungan kerja hingga kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini akan memberikan beban ganda terhadap perempuan, selai harus produktif di dunia kerja juga memiliki beban beban kerja rumah tangga. Hal ini kemudian memiliki kemungkinan besar perempuan karir diperhadapkan pada masalah berikut yaitu pemutusan hubungan kerja hingga kekerasan dalam rumah tangga.

Menjadi Perempuan tidak selalu mudah, setelah sekian banyak orang yang berusaha bangkit setelah sekian banyak pintu dan rintangan yang mesti didobrak tidak jarang pada akhirnya perempuan malah diperhadapkan oleh rajaman karena kemerdekaan yang telah menjadi pilihan bahkan telah diperjuangkan. Menjadi bebas tidak bisa sebebas bebasnya, karena kita selalu membangun oleh kita dan lingkungan. Hal yang tidak jarang ditemukan bagaimana perempuan yang berusaha sampai di titik menjadi perempuan yang rasional, berusaha mengunjuk rasa diri dengan berkompetisi hingga menjadi subjek yang produktif dalam kehidupan pribadi maupun publik perempuan malah diperhadapkan dengan rasa teralienasi dari kediriannya yang secara kuadrat ia dibentuk dengan perasaan keibuan serta selalu terikat pada ruang sosialisasi. 

Hidup dan dibesarkan dalam dunia yang didesain orang lain yang sukses, hal yang mudah, baik bagi laki-laki atau perempuan. Realitas kehidupan manusia mendorong lahirnya kesadaran sosial. Matinya kritis atau rasionalitas berujung pada hidup yang kemudian berjalan seperti sebuahitas tanpa tersemat makna yang kemudian memberi nilai lebih pada setiap waktu yang akan menjadi kenangan. Ditengah rajaman kapitalis dan patriarki dalam pusaran pandemi, saatnya mempererat gandengan tangan. Perempuan dan laki-laki tidak akan lepas dari sisi buruk kapitalis selama belum mampu hadir secara solider dalam ruang produksi kapitalis paling kecil yaitu keluarga. Menerima kedirian yang utuh satu sama lain adalah jalan pembuka. Menghadirkan kesetaraan sehingga rumah menjadi tenpat untuk berpulang bukan tempat tinggal orang yang sepakat untuk menghabiskan waktu di bawah atap yang sama dengan diri mereka masing-masing. Pandemic mengajarkan kita soal kefanaan manusia. Komunikasi menjadi penting dan berkembang tenaga dalam ruang refleksi menjadi penting. 

Hadirnya kesadaran akan kedirian yang utuh baik laki-laki maupun perempuan akan memampukan kita lebih jauh dari kita masing-masing yang baik baik yang ditentukan maupun hadirnya penerimaan. So are so woman with the awareness social of the use of begitu banyak ketimpangan tidak kemudian mendorong kita untuk menyalahi laki-laki namun lebih pada konstruksi gender yang hadir. Melawan patriarki bukan menghadirkan perempuan yang kemudian menghubungkan laki-laki atau membentuk perempuan yang maskulin yang malah kemudian menimbulkan ketimpangan yang baru. Pada akhirnya yang terjadi bukan musnahnya ketimpangan, namun pelanggengan dengan pergantian pemain.

 Dari segi kebijakan publik sangat penting untuk memberi perhatian lebih terhadap perempuan yang menjadi korban yang paling rentan dari setiap ketimpangan. Kebijakan betul-betul perlu hadir dengan keberpihakan yang setara antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam setiap pengambilan kebijakan selama masa pandemi. Pendekatan gender menjadi dasar pertimbangan dari setiap analisis kebijakan, serta bagaimana pemberdayaan perempuan terus berlanjut sehingga bisa memiliki ketahanan dan mampu berkompetisi di antara tekanan kapitalis dan patriarki dalam pusaran pandemi yang masih akan terus berlanjut dalam beberapa waktu kedepan.

Penulis : Dionisia Hilda (aktivis PMKRI Cabang Kupang)