Foto. Dok. Pribadi |
Jakarta, Verbivora.com – Jumat 20 April 2018, PP PMKRI menggelar acara diskusi publik dengan mengusung tema “Perempuan Indonesia di Tengah Prahara Perdagangan Orang. Diskusi yang dimoderatori oleh Yensiana dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan PP PMKRI tersebut menghadirkan empat pemateri yakni, Thaufiek Zulbahary (Komisioner Komnas Perempuan), Siti Badriyah (Migrant CARE), M. Restu Hapsari (Sekjend TMP), Joseph Badeoda (DPR RI).
Hari Kartini (21 April) adalah sejarah bagi Bangsa Indonesia untuk mengenang sosok dan pemikirannya dalam meperjuangkan hak-hak perempuan. hingga pada saat ini, perjuangan Kartini masih dijadikan spirit bagi perempuan Indonesia dalam meningkatkan kesetaraan gender. Adapun Sukarno dalam bukunya Sarinah menjelaskan: “nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari tangan mereka sendiri.” Kaum laki-laki harus terus mengingatkan dan memberikan keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam gerak perjuangan.
Presidium Pengembangan Organisasi, Nus Daso dalam sambutannya menyatakan, Hari Kartini merupakan momentum yang baik untuk merefleksikan situasi perempuan masa lampau dan masa sekarang untuk mempertegas kedudukan dan peran perempuan. Lebih lanjut, dia menegaskan posisi PMKRI sebagai garda terdepan untuk membela hak-hak perempuan yang terenggut karena persoalan Human trafficking melalui kajian, capacity building, advokasi, dan pemanfaatan networking.
Di Indonesia, tokoh feminis yang paling terkenal adalah Raden Ajeng Kartini. Keberanian dan pemikirannya yang menentang dominasi budaya patriarkis yang mengesampingakan perempuan hingga pada akhirnya, pemikiran Kartini diterima sebagai dasar dan gerakan bagi perempuan Indonesia untuk terus maju dalam pusaran kesetaraan peran laki-laki dan perempuan.
Di akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical Legal Studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar.
Perempuan Indonesia dalam Pusaran Human Trafficking
Fenomena human trafficking (perdagangan manusia) merupakan salah satu masalah kontemporer yang tengah mendapat perhatian serius. Karakteristiknya bersifat represif dengan tujuan eksploitasi manusia (individu atau kelompok). Luasnya pengaruh dampak ancaman yang ditimbulkan, membuat isu human trafficking diklasifikasikan sebagai bentuk kejahatan luar biasa. dan hal ini menempatkan perempuan pada posisi teratas sebagai objek dan korban perdagangan manusia.
“Perdagangan orang adalah suatu jenis kejahatan luar biasa terhadap martabat manusia yang dilakukan secara sistematis dan massif”, demikian, Yosep. B. Badeoda, Anggota DPR RI yang membidangi Komisi Hukum dan HAM.
Meski demikian, Undang-Undang kita tidak menegaskan kejahatan tersebut sebagai kejahatan luar biasa sama seperti korupsi dan perdagangan narkoba. “Tapi sayangnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang memandang kejahatan tersebut sebagai jenis kejahatan biasa,” ungkap politisi Partai Demokrat.
Laporan UNAFEI tahun 2004 menunjukkan bahwa sepertiga dari jumlah perdagangan manusia di seluruh dunia adalah perempuan dan anak, dengan jumlah berkisar 200.000 – 225.000 orang tiap tahun.International Organization for Migration (IOM) mencatat, pada periode Maret 2005 hingga Desember 2014, jumlah human trafficking di Indonesia mencapai 6.651 orang. Dari jumlah itu, 82 persen adalah perempuan yang bekerja di dalam dan di luar negeri sebagai tenaga kerja informal dan 18 persen merupakan laki-laki yang mayoritas mengalami eksploitasi ketika bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK).
Dikutip dari Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) tahun 2015, mayoritas korban sindikat perdagangan manusia didominasi kelompok Buruh Migran Indonesia (BMI) yang lazimnya dikenal sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Hingga pada Juni 2017, di antara 6.940 korban perdagangan manusia di Indonesia, sebanyak 970 di antaranya anak perempuan dan 5.907 merupakan perempuan dewasa.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) mendefenisikan human traficcking sebagai tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang. 3 Modus sindikat perdagangan manusia termanifestasi dalam beragam bentuk yaitu Perdagangan anak dengan tujuan untuk eksploitasi seksual dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan.
Restu Hapsari, Sekretaris Jenderal DPP Taruna Merah Putih menyebut kejahatan perdagangan orang sebagai kejahatan yang sistemik dan bertujuan eksploitatif sehingga merugikan korbannya. “Ketika manusia dijadikan komoditas, memindahkannya dengan semena-mena, sarat dengan berbagai pelanggaran dan tindak kejahatan dan kesewenang- wenangan yang berlandaskan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi tenaga kerja untuk berbagai kepentingan yang merugikan korban dan menguntungkan pihak lain, maka tindak pidana perdagangan orang yang terjadi.” ucapnya
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penyelesaian kasus perdagangan orang sampai sekarang masih terkendala buruknya sistem hukum kita yang cenderung mengobati daripada mencegah. Banyak kasus perdagangan orang diatasi setelah korban melaporkan ke pihak yang berwajib, bukan atas inisiatif penegak hukum untuk mencegah kejahatan itu terjadi. “Sistem hukum kita buruk sehingga sulit mengantisipasi kejahatan tersebut, minimnya kesadaran masyarakat tentang bahaya perdagangan orang, minimnya sosialisasi tentang sistem perundang-undangan, dan dampak kemiskinan yang membuat orang berani menantang maut,” ujarnya.
Mengapa terjadinya perdagangan perempuan di Indonesia?
Terdapat aspek universal yang melatarbelakangi terjadinya perdagangan manusia. Siti Badriyah dari Migrant CARE dalam acara diskusi tersebut menjelaskan beberapa faktor seperti: Kemiskinan, Ketiadaan lapangan pekerjaan, Pendidikan Korban KDRT, jeratan utang, putus sekolah, pendapatan di dalam negeri masih rendah, da daya tarik gaji tinggi di negara tetangga. kemudian ia menambahkan, “fase pemindahan korban dari satu lokus ke lokus lain sangat mudah, karena berbagai faktor seperti Pengawasan/ inspeksi migrasi tidak jalan, migrasi sentralistik di kota-kota besar, sehingga pemindahan dianggap wajar, daerah asal dan transit belum ada koordinasi, komitmen bersama, apalagi mutual agreement, calon korban dan keluarga terbatas informasinya, pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat umum tentang trafficking belum menyeluruh, dan lemahnya aparat penegak hukum untuk mengintervesi sindikat perdagangan manusia” pungkasnya.
Kemudian Thaufiek Zulbahary dari Komnas Perempuan menambahkan bahwa faktor yang turut serta merestui perdagangan perempuan adalah, lemahnya penegakan hukum (law enforcement) kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang issue perdagangan orang, kurangnya sosialisasi perundang-undangan terkait issue perdagangan orang, pengangguran dan kemiskinan di beberapa daerah di Indonesia.
Perdagangan orang terjadi bukan saja karena sistem yang memungkinkan semua itu terjadi, tetapi juga karena faktor kemiskinan structural di satu sisi yang membuat orang-orang miskin semakin terhimpit oleh tekanan ekonomis sedemikian sehingga masyarakat miskin nyaris tak punya pilihan selain ke luar negeri untuk menyambung hidup. Sayangnya, pilihan ke luar negeri juga bukan tanpa akibat. Tak jarang mereka harus berhadapan dengan maut, dan berujung pada kematian. Merupakan kewajiban semua pihak untuk meminimalisir kejahatan ini di samping perarturan perundang-undangan yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan perhatian pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum sehingga kecil kemungkinan orang Indonesia ke luar negeri untuk menyambung hidup.
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia sebagai organisasi kemahasiswaan harus mengambil bagian di dalam upaya meminimalisir perdagangan orang sesuai dengan visinya “terwujudnya kemanusiaan, persaudaraan sejati, dan keadialan sosial”. “PMKRI harus terlibat secara aktif di dalam usaha untuk mengurangi angka perdagangan orang sesuai dengan tuntutan visi dan misinya dan perjuangannya bersama dengan kaum tertindas”, tutup Restu Hapsari. (Y/S)