Penurunan Patung Buddha dan Status Karma Zopa

KEBERAGAMAN TERANCAM. Tanjung Balai, verbivora.com – Praktik intoleran di Indonesia masih terus terjadi. Praktik tersebut, selain telah mengangkangi kebhinekaan, tetapi  juga merampas rasa aman masyarakat khususnya kaum minoritas. Bebarapa hari lalau, Kamis (27/10/2016), Patung Buddha Amitabha di Vihara Tri Ratna Tanjung Balai diturunkan atas desakan sekelompok ormas.
Penurunan Patung Buddha dan Status Karma Zopa
Patung Buddha Amitabha di Vihara Tri Ratna Tanjung Balai diturunkan  kelompok intoleran – Sumber: bbc.com

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, seperti yang  dilansir bbc.com, Senin (31/10/2016) menilai tindakan penurunan patung Buddha tersebut dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk  dan menunjukkan aparat ‘tunduk’ pada kelompok intoleran.

“Penurunan patung Buddha ini dapat mengancam keberagaman dan sebenarnya tak perlu dilakukan karena berada di lokasi rumah ibadah”, kata Bonar.

Selain itu, muncul kekewatiran lain, tindakan yang sama juga akan terjadi di daerah lain di Indonesia, dimana mayoritas memperlakukan minoritas sewenang-wenang. Apalagi kata Bonar, jika aksi tersebut tidak direspon secara serius oleh pemerintah di daerah, maka bisa saja pemerintah dinilai ‘tunduk’ pada kelompok intoleran.

“Bukan hanya preseden, akan selalu muncul kasus semacam ini di tempat lain selama pemerintah tidak memperlihatkan ketegasannya untuk melindungi kelompok minoritas,” tandasnya.

Menurut Bonar, setiap agama berhak untuk membuat rumah ibadat sebagai tempat yang memberikan rasa nyaman bagi pemeluknya. Karena itu, siapapun tidak boleh sewenang-wenang mengambil tindakan yang bertentangan dengan Pancasila.

“Setiap agama, kelompok mempunyai otoritas untuk bukan hanya mempraktikkan agamanya tetapi juga membuat rumah ibadah yang nyaman bagi mereka, seperti yang terjadi di Tanjung Balai,” kata Bonar.

Status Karma Zopa

Yang menarik adalah status facebook yang ditulis Karma Zopa Gyatsho ketika menjawab pertanyaan umat Buddha terkait penurunan patung tersebut dan menjadi viral di media sosial.

Beberapa umat Buddha bertanya kepada saya ketika melihat patung Buddha yg terletak di lantai atas sebuah wihara di kota Tanjung Balai, Asahan, Sumatra Utara diturunkan: “Lama, kenapa rupang(arca/patung) di wihara diturunkan”? Saya jawab begini,” tidak apa apa rupang Buddha turun, sing penting welas asihmu terhadap semua makhluk tidak ikut turun, semua makhluk hidup mendambakan kebahagiaan. Apabila dengan turun nya patung Buddha bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain, maka bukankah doa khas umat Buddha yaitu “semoga semua makhluk hidup berbahagia” menjadi kenyataan?”

Eddy Suyono Setiawan, ketua Majelis Buddhayana Indonesia, cabang Sumatera Utara yang menaungi Vihara Tri Ratna juga mengatakan masyarakat Buddha menerima putusan tersebut demi menjaga kerukunan umat beragama dan demi untuk melihat hal-hal yang lebih besar lagi yaitu untuk menjaga suasana yang lebih kondusif, suasana yang nyaman dan aman bagi umat Buddha dan Tanjung Balai pada umumnya.

“Kalau kita memindahkan ini ternyata bisa memberikan ketenangan, ketenteraman suasana di sana, toh itu kan hanya sebagai simbol representasi ketuhanan yang sebenarnya ada dalam diri kita masing-masing,” kata Eddy.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, penurunan patung tersebut dilakukan setelah ada desakan dari organisasi masyarakat yang didukung oleh pemerintah kota Tanjung Balai, MUI dan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB).

Protes terhadap patung Buddha setinggi enam meter yang berada di Vihara Tri Ratna ini memang telah terjadi sejak patung ini dipasang pada 2009 lalu. Protes yang sama muncul dari ormas pada 2010 lalu lantaran  menganggap masyarakat di seberang sungai Asahan secara tak langsung menghadap patung ketika salat.

Anggota FKUB Sumatera Utara Erwan Effendi mengatakan sejak enam tahun lalu sudah ada kesepakatan untuk menurunkan patung Buddha itu karena daerah itu dihuni mayoritas Muslim.

“Dari laporan masyarakat dan pengamatan kita, di sana itu kan mayoritasnya Muslim, kemudian lantas berdiri patung itu, dan kayaknya seperti ikon kota Tanjung Balai, jadi masyarakat Muslim merasa itu tak pantas, dan meminta itu diturunkan,” jelas dia.* (Andy Tandang)

Exit mobile version