Beranda Update Penetrasi Prostitusi Daring dan Perlakuan Media yang Bias Gender

Penetrasi Prostitusi Daring dan Perlakuan Media yang Bias Gender

0
Ket. Agustina Doren. (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh: Agustina Doren*

Maraknya pemberitaan
tentang kasus “Prostitusi Online” yang melibatkan artis ibukota dan menyedot
perhatian publik beberapa hari terakhir ini merupakan fenomena sejarah yang tidak
terbantahkan. Dalam kilasan sejarah peradaban manusia, fenomena prostitusi
merupakan “sebuah kebutuhan” selama permintaan akan kebutuhan tersebut terus
hadir. Hal tersebut selalu hadir karena manusia akan terus ingin memenuhi kebutuhan
alaminya yakni, seks.
Kasus
penggerebekan prostitusi daring yang terjadi di Surabaya pada sabtu (5/1)
dengan melibatkan artis VA dan AS yang digelar oleh Kepolisian Daerah Jawa
Timur ini merupakan efek dari dominasi penggunaan peranti teknologi dan informasi
yang semakin berkembang. Peningkatan jumlah pengguna internet turut membuka
ruang bagi prostitusi online di Indonesia. Tempo (2017) merilis, sejak tahun 2015,
sejumlah kasus prostitusi online telah diungkap oleh pihak Kepolisian RI dan para
pelaku telah dijerat hukuman penjara.
Namun hal ini
tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku yang bermain di ranah prostitusi
daring. Tentu hal ini menggelitik bagi kita. Bahkan jumlah kasus ini kian
mewabah dan modusnya terus berkembang. KOMPAS.com (22/02/2018) merilis, populasi
penduduk Indonesia saat ini mencapai 262 juta orang. Lebih dari 50 persen atau
sekitar 143 juta orang telah terhubung jaringan internet sepanjang 2017,
setidaknya begitu menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII). Mayoritas pengguna internet sebanyak 72,41 persen masih dari kalangan
masyarakat urban.
Pemanfaatannya sudah
lebih jauh, bukan hanya untuk berkomunikasi tetapi juga membeli barang, memesan
transportasi, hingga berbisnis dan berkarya. Berdasarkan wilayah geografisnya,
masyarakat Jawa paling banyak terpapar internet yakni 57,70 persen. Selanjutnya
Sumatera 19,09 persen, Kalimantan 7,97 persen, Sulawesi 6,73 persen, Bali-Nusa
5,63 persen, dan Maluku-Papua 2,49 persen.
Data ini
menunjukkan bahwa internet tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat kita sekarang. Dengan pemanfaatannya yang berbagai macam, prostitusi
online pun tidak dapat dipungkiri dari dominasi penggunaan internet.

Data menunjukkan
bahwa bisnis prostitusi online di Indonesia semakin berkecambah dengan memanfaatkan
media sosial. Oleh Prayudi (2018) mengungkapkan, Media Sosial digunakan sebagai
sarana praktik promosi, komunikasi, dan transaksi seks illegal secara daring. Media
sosial yang banyak digunakan sebagai sarana prostitusi daring secara berturut-turut
ialah Twitter, Instagram, Facebook, Whatsapp, dan Line. Pendapat Prayudi tersebut jika ditelusuri akan bermuara pada ‘kebenaran’ bahwa bisnis prostitusi online menjangkit
banyak pengguna sosial media di Indonesia.

Prostitusi Daring dan Perempuan Sebagai
Objek Kesalahan
Kasus prostitusi
online tidak selalu diimbangi dengan kebijakan yang ketat dan mengikat akan
tetapi berdampak buruk dan meluas pada masyarakat. Kita melihat kasus
prostitusi daring yang dialami oleh artis VA dan AS dengan mempublikasikan hal privat
mereka yang berlebihan adalah bentuk penanganan hukum yang bias gender dan sangat  mendiskreditkan kaum perempuan.
Hal yang paling
memilukan adalah dalam proses penanganan kasus ini, kerap nama VA dan AS yang
ditampilkan, dan sosok pria (seorang pengusaha) yang didapati ketika bersama VA
di hotel tersebut terkesan luput dari perhatian media. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari wajah budaya patriarki yang menindas martabat kaum
perempuan.
Komnas Perempuan
dalam siaran persnya pada 7 Januari 2019 menyatakan, Komnas Perempuan
mendapatkan berbagai pengaduan dari masyarakat tentang maraknya pemberitaan
prostitusi online yang terjadi khususnya melibatkan para artis perempuan. Dalam
pengaduan tersebut masyarakat memprotes pemberitaan yang dengan sewenang-wenang
dan tidak dan tidak mempertimbangkan pihak perempuan yang terduga sebagai
korban beserta keluarganya. Selain nama, wajah juga disebutkan keluarga mereka.
Dalam kasus
prostitusi online yang menyeret nama artis perempuan ini, kita melihat adanya
ketidakberpihakan media massa baik cetak maupun online yang sangat mendiskreditkan
perempuan dan terdapat pelanggaran kode etik jurnalisme, serta pemuatan berita
yang sengaja mengeksploitasi seseorang secara seksual, terutama korban. Dalam
analisa media oleh Komnas Perempuan tersebut, masih banyak media yang saat
memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus kekerasan
seksual, tidak berpihak pada korban.
Dari analisis
dan kajian oleh Komnas Perempuan ini kita dapat melihat bahwa perempuan sangat diperburuk
citranya ketika ia berhadapan pada sebuah permasalahan. Bahkan ia tidak
mendapat kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dengan menyatakan ia adalah “korban”
dari kasus tersebut.
Dari keseluruhan
perspektif yang dibangun terkait permasalahan tersebut, hal yang harus kita
kedepankan dalam nalar pikir kita adalah dengan mengetahui dan memaknai “konsep
hak atas tubuh”. Tubuh ini merupakan milik kita sendiri. Dimana pemegang hak
(diri sendiri) memiliki kekuasaan yang luas dan kuat terhadap tubuhnya sendiri.
Dalam kasus ini,
Griggs L (Devereux, 2002) menerangkan, “Ownership
in this sense is the largest bundle of rights known to property law. It allows
the person the fullest enjoyment of the property and the ability to use, manage
and freely alienate that thing.”
Pernyataan ini mau menegaskan kepada kita
bahwa setiap pribadi memiliki kehendak atas tubuh sendiri baik menjaga,
merawat, memanfaatkannya dan bagaimana cara setiap pribadi memperlakukan tubuhnya
seturut kehendaknya sendiri.Tubuh setiap pribadi dilindungi oleh hukum, maka sudah seharusnya menjadi budaya hidup bagi orang lain untuk tidak dapat menggunakan tubuh seseorang secara sembarangan tanpa izin dan kerelaan sang pemilik (diri sendri).

Berhentilah
membahas Vanessa Angel karena itu sangat merendahkan martabat seorang
perempuan. Terlepas dari apa yang Vanessa Angel lakukan itu hak dia sebagai
seorang perempuan dewasa yang memiliki hak dan kehendak tubuhnya untuk kehidupannya
sendiri. Berhentilah menghakimi tubuh orang lain karena kita belum tentu lebih
baik dari mereka. Lagipula perlu kita ketahui bahwa Negera tidak memberikan
kewenangan kepada kita untuk menghakimi tubuh seseorang.

Gambaran Kasus VA dari Beberapa Sudut Pandang
Pertama, Hukum. Dalam Hukum Pidana
khususnya KUHP yang diancam adalah orang yang menyediakan atau memfasilitasi
perbuatan prostitusi. (pelaku usaha/atau penyedia jasa) sedangkan PSK atau
konsumen tidak diatur ancaman pidananya. Jadi dia tdk bisa dijerat dengan
aturan itu, tetapi dalam prakteknya apakah hukum yang tertera dalam KUHP itu sudah
betul-betul berjalan dalam rohnya?. Itu pertanyaan reflektif bagi kita.
Kedua, hubungan badan antara dua orang
dewasa adalah sesuatu yang masuk wilayah privat. Seorang yang sudah dewasa
berhak menentukan apa saja yang akan dia lakukan pada diri maupun tubuhnya
termasuk mau berhubungan dengan siapa pun asal tidak dengan anak, pasangan sah
oang lain atau ada paksaan kekerasan. Serta tidak dilakukan di tempat terbuka.
Ketiga, 
penanganan kepolisian sangat “bias gender,” karena seharusnya jika PSK dan
Konsumen dianggap korban dari bisnis prostitusi, maka sebisa mungkin identitas
dan rupanya tidak dipublikasikan. Dan kalaupun akan dipublilasikan sebagai
hukuman sosial yang didasarkan moral masyarakat maka seharusnya konsumenlah yang
lebih pantas mendapatkan perlakuan yang sekarang diberikan media masaa baik
cetak maupun elektronik kepada VA.
Publikasi kasus
VA ini sangat mengucilkan kaum perempuan, dimana hanya VA saja yang jadi bahan publikasi
sedangkan yang menerima jasa layanan seorang pria (pengusaha) dilindungi dan ditutupi
identitasnya sehingga kasus ini hanya merusak citra Va saja.
Keempat, solusi terbaik untuk masalah
prostitusi menurut saya harus pemerintah melegalkan prostitusi dan mengaturnya
dengan regulasi yang ketat dan tegas agar PSK, Konsumen dan Keluarga Konsumen
serta masyarakat dapat terlindungi dari bahaya buruk prostitusi.

*Penulis adalah seorang bidan dan aktivis sosial.

Exit mobile version