Jakarta, Verbivora.com – Penerapan extra ordinary crime atau super extra ordinary crime pada sistem peradilan koropsi di Indonesia, khususnya pada penanganan kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) belum berjalan maksimal, bahkan tumpang tindih.
Penegakan hukum kasus korupsi yang tidak tuntas ( E-KTP, Bank Century, BLBI) sangat diskriminatif dan cenderung tebang pilih oleh penanganannya, baik ditingkatan polisi, jaksa maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun proses persidangan di pengadilan semua tingkatan.
Kelemahan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP)
KUHAP sendiri belum merumuskan sistem hukum acara yang juga luar biasa, yang mana kejahatan yang luar biasa harus ditangani dengan hukum acara yang juga luar biasa.
A. Contrario pernah menyebut, kejahatan luar biasa, malah hukum acara nya biasa? itu hanyalah sebuah lebel saja. Ada pengadilan Tipikor dan hakim Ad Hoc, namun koropsi tidak dapat dijaring sampai akarnya.
Korupsi luar biasa, harus tertangani secara luar bias pula atau hukum acara luar biasa.Tidak cukup dengan tekanan publik maupun kontrol lembaga lainnya, baik itu LSM, mahasiswa, Indonesia Corruption Watch (ICW), lembaga Intelektual maupun komunitas penggiat anti koropsi.
Kadang terlihat proses peradilan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan praperadilan, hanya sebatas menjadikan tersangka, terdakwa merupakan orang-orang tertentu saja.
Karena memiliki link yang kuat secara politik, kekuasaan, ekonomi, kepentingan politik jangka pendek atau panjang serta like and dislike penguasa sampai kepada sogok-menyogok berjamaah (judicial corruption).
Seperti istilah yang kita ketahui dari komentar miring masyarakat bahkan warga net, korupsi adalah dosa abadi (dia tetap langgeng di dunia ini) dan KUHAP (kasih uang habis Perkara).
Pasal 28 J ayat (2)
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Ini dapat dilihat dalam acara ILC 21 November 2017, menghadirkan pengacara Otto Hasibuan yang berbicara: ada proses peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), mengapa Novi Setyanto tidak bisa menikmati kemenangan dari putusan praperadilan?
Mengapa cuma Budi Gunawan dan Hadi Purnomo di PN Jaksel, yang bisa menikmati kemenangan putusan praperadilan?
Praperadilan hanya memutus proses tentang sah tidaknya penangkapan bukan terhadap pokok perkara, sementara persoalan pada rekening gendut milik Budi Gunawan yang tidak jelas asal usulnya (follow the money) juga dinikmati oleh Novi Setyanto. Artinya pidananya tidaklah gugur.
Mengapa Novi Setyanto harus diberi dua kali praperadilan? itulah letak disriminatif praperadilan, hanya dinikmati orang tertentu. Ini jelas bertentangan dengan asas equality before the law serta mencederai UUD 45 yang sudah di amandemen Pasal 28 J ayat 2.
Mengapa juga kasus Novi bahkan Nurdin Abdullah mantan Gubernur Sulsel digulirkan terus-menerus, sementara kasus Bank Century, BLBI dan lainnya belum tuntas?
Polisi dan jaksa maupun KPK tidak dapat menjaring tuntas para koruptor kelas kakap, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun proses persidangan di pengadilan.
KUHAP sendiri belum merumuskan sistem beracara dengan menggunakan pendekatan hukum extra-ordinary crime, kita hanya memberi lebel bahwa korupsi itu adalah kejahatan luar biasa extra ordinary crime.
Namun sistem penanganan yang luar biasa belum diterapkan. Oleh karena itu korupsi tidak bisa dijaring sampai ke akarnya, ibarat mati satu tumbuh seribu.
Apa lagi, kasus korupsi berjamaah E-KTP, bukankah KPK sudah mengantongi 20 nama, tetapi mengapa hanya Novi yang menjadi tersangka utama.
Kewenangan Hakim Perlu Diperluas
Atas dasar penerapan extra ordinary crime, majelis hakim dapat diberikan kewenangan lebih secara luar biasa, untuk mengeluarkan penetapan tersangka baru dan meminta kepada penyidik, polisi, jaksa maupun KPK, agar menghadirkan tersangka baru di persidangan, sebagai terdakwa.
Jika penyidik diberikan kewenangan menyidik tersangka baru lagi, maka sangat rawan titipan dan intervensi.
Kewenangan Jaksa dan Advokat Perlu Diperluas
Karena jika ditemukan dalam fakta persidangan, ada orang-orang tertentu yang bisa dilindungi oleh jaksa atau hakim yang belum terjaring saat operasi tangkap tangan (OTT) atau terjaring saat penyelidikan maupun penyidikan karena ada faktor X.
Maka penuntut umum maupun advokat dapat meminta Majelis Hakim Tipikor untuk menerapkan tersangka baru (tidak boleh ada tebang pilih).
Juga dalam persidangan nantinya, perlu terpantau oleh LSM, ICW, penggiat anti korupsi dan insan pers, agar dalam persidangan tidak ada dagang hukum, baik dalam persidangan maupun di luar arena persidangan.
Memberlakukan Pembuktian Terbalik
Cara-cara luar biasa dalam pemberantasanTipikor, dengan melaksanakan pembuktian terbalik atau pembuktian akan menyebabkan pembuktian beralih dari jaksa penuntut umum ke tangan tersangka atau terdakwa untuk membuktikan diriya tidak bersalah.
Ketentuan tersebut bertentangan dengan kewajiban jaksa penuntut umum sebagai pihak yang mengajukan perkara untuk membuktikan pearbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa.
Di samping itu, hal tersebut tidak sesuai dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non sel incrimination) yang merupakan perwujudan dari hak asasi manusia.
Pasal 37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pembalikan beban pembuktian yang terhadap perbuatan sebagaimana dinyatakan terdakwa, dapat membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Di dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 31 tahun 1999 disebutkan, Undang-Undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang (untuk menjamin tidak adanya pelanggaran HAM), yakni ter-dakwa mempunyai hak untuk membuktikan diri.
Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan serta penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. *(AR)
*Mathius Utus Datang, SH., MH: Advokat dan Dewan Pertimbangan DPC PMKRI Makassar 2020-2021