Pemindahan Ibukota Tidak Boleh Merusak Kerarifan Lokal

Michell Eko Hardian, SH, MH  saat orasi di depan Istana Presiden, Jakarta Pusat.

JAKARTA, VERBIVORA.COM– Kelompok masyarakat Dayak yang tergabung
dalam Gerakan Dayak Nasional menggelar aksi di depan Istana Negara, Jakarta
Pusat. Memakai atibut dan pakaian adat khas Dayak, GDN meminta Presiden Jokowi untuk
menempatkan putra-putri Dayak dalam kabinet kerja Jokowi. Kamis, 29/08.

Gerakan Dayak Nasional juga menuntut Presiden untuk
disahkannya agama Kaharingan sebagai salah satu agama yang diakui di republik
ini.
Selain tuntutan tersebut, GDN juga meminta Jokowi untuk lebih
hati-hati dalam mengambil keputusan. Sebagai kepala negara, GDN berkeinginan
agar keputusan yang diambil Jokowi terkait pemindahan ibukota baru Indonesia harus
berpedoman pada akar kebudayaan yang selama ini dijaga oleh masyarakat Dayak.
Hal itu disampaikan oleh Michell Eko Hardian selaku inisiator
 Gerakan Dayak Nasional. Ketika ditemui
verbivora.com dalam aksi tersebut, Eko 
menyampaikan keinginannya kepada Jokowi agar lebih waspada dalam
mengambil sebuah kebijakan.
Sebagai masyarakat Dayak, ungkap Eko, kami tentunya sangat
mengapresiasi Jokowi karena telah memilih Kalimantan sebagai ibukota baru
Negara Indonesia. Namun ada hal yang paling fundamental yang harus menjadi
pusat perhatian Pak Jokowi. Kami menginginkan presiden mengedepankan unsur
kebudayaan ketika Ibu Kota nantinya dibangun di Kalimantan.
“Berkaca dari kekacauan yang terjadi di negara ini, kami
menyadari, bahwa kekacauan ini terjadi karena bangsa kita sedang dalam keadaan
gegar budaya. Bahkan hari-hari ini budaya kita sangat rapuh,” tegasnya.
Dari kesadaran ini, lanjut Eko, kami masyarakat Dayak
berkeinginan menjadikan kebudayaan sebagai pilar penting di republik ini. Karen
kebudayaan yang akan menyatukan segala suku bangsa di Indonesia.
“Ketika kita menempatkan kebudayaan sebagai tiang utama
pembangunan bangsa menuju Indonesia maju, maka kita akan bersama-sama
menjadikan bangsa ini semakin kuat. Bangsa yang berbhineka dan beradab,”
ungkap mantan PP PMKRI tersebut.
Selain itu, mantan PP PMKRI ini juga menginginkan agar konsep
tata ruang kota lebih didominasi oleh arsitektur lokal. Sehingga ibukota yang
menjadi titik sentral negara betul-betul dijiwai oleh masyarakat dalam segala
aktivitasnya yang berkebudayaan.
Berkaitan dengan persiapan masyarakat Dayak dalam menyambut
ibukota baru, Eko mengatakan bahwa saat ini, Gerakan Dayak Nasional sudah
membentuk tim untuk menyusun undang-undang Otonomi Khusus yang menjadi pedoman
penting kehidupan masyarakat Kalimmantan secara keseluruhan.



“Kami sudah mengusulkan kepada seluruh tokoh masyarakat
Dayak. Hal ini sudah disepakati dan akan disusun undang-undang otonomi khusus
kebudayaan yang nantinya akan diberikan kepada negara untuk dijadikan pedoman
dalam pengelolaan pembangunan ibu kota yang baru maupun aspek yang lain.”
ungkapnya.

Gamabaran detail Otonomi khusus Kebudayaan, lanjutnya,  segalanya berkenaan dengan merawat warisan
Kebudayaan. Mulai dari Budaya Dayak sebagai budaya utama Ibukota Negara, arsitektur
Dayak pada Ibukota Negara, bahasa Dayak masuk Muatan Lokal, perlindungan
terhadap agama asli, pemberdayaan hukum adat, kelestarian hutan adat.
“Konsep Kota Hutan (Kota yang dibangun dengan tidak
merusak hutan: sejalan dengan Green City),
demikian juga penataan kota mesti punya filosofi, Konsep hunian, dan konsep Kota
Berbudaya. Termasuk kesempatan masyarakat adat untuk masuk dalam ASN,
TNI/POLRI, BUMN, BUMD. Ini akan dirampungkan sebelum 2020 dan segera disampaikan
ke BAPPENAS dan pihak terkait.” katanya.
Pada intinya, sambung Eko,  UU Otsus Kebudayaan ini menjadi spirit
masyarakat Kalimantan untuk merawat kebudayaan dan menjaga kebhinekaan.

Exit mobile version