Jakarta, Verbivora.com – Wacana revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pertama kali dilempar oleh Presiden Jokowi.
Sebelumnya pemberitaan terkait UU ITE dikeluarkan Presiden Jokowi karena gaduhnya media sosial. Presiden melihat, UU ITE banyak digunakan publik untuk saling lapor ke kepolisian. Akibat UU ITE, banyak orang menjadi korban dan yang tidak bersalah justru dilaporkan.
Harapannya, jika wacana revisi UU ITE ini terealisasi, hal-hal yang berkaitan dengan hasutan, hoaks, hingga ujaran kebencian akan dipertajam. Dengan demikian tidak lagi menimbulkan perbedaan interpretasi.
Berbeda dengan perintah Presiden, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) justru menyebutkan pemerintah akan segera menyusun pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE.
Menanggapi hal tersebut, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) melihat tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menangani konflik yang terjadi pada rakyatnya. Dengan adanya pasal-pasal karet pada tubuh UU ITE akan terus memberikan efek panjang saling adu antar warga sekalipun ada pedoman resmi dari UU tersebut.
Menurut Alvin Aha, Presidium Riset dan Teknologi PP PMKRI, pasal-pasal yang terdapat di UU ITE seperti pasal 27 Ayat (1) soal Kesusilaan, pasal 27 Ayat (3) soal Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran Kebencian memiliki interpretasi yang berpeluang menutup ruang demokrasi. Pasal-pasal ini cenderung disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang merugikan publik. Pasal ini sering dipakai oleh pengambil kebijakan untuk membungkam kritikan dari para aktivis, mahasiswa dan lainnya.
Adapun beberapa korban dari UU ITE yang telah menyeret beberapa nama ke jeruji besi, seperti Prita Mulyasari (2008), Muhammad Arsyad, Ervani Handayani (2014), Fadli Rahim (2014), Baiq Nuril (2015), Dandhy Laksono (2019).
Lanjut Alvin, PMKRI mendukung upaya Presiden untuk segera merevisi UU ITE dengan upaya pemerintah segera menyurati DPR RI untuk membahas ulang atau merivisi terkait pasal-pasal karet yang menjadi keresahan publik.
Berhubung UU ini tidak masuk dalam Prolegnas, maka mulai saat ini pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk mengkaji dan merumuskan kembali pasal-pasal yang dianggap bermasalah dan rawan disalahgunakan.
Sembari menanti UU ITE direvisi, pemerintah dalam hal ini Presiden harus membebaskan korban – korban UU ITE yang dikriminalisasi akibat tindakan mereka yang melontarkan kritik terhadap pemerintah, serta dalam penyusunan interpretasi pasal-pasal nantinya perlu dilakukan secara terbuka dan melibatkan akademisi serta masyrakat luas.
Selain pemerintah fokus merivisi UU ITE, di era transaksi elektronik dimana banyak masyarakat telah beralih ke teknologi digital, PMKRI melihat negara perlu hadir memberikan kenyamanan dan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik.
PMKRI juga mendorong Pemerintah untuk membuat Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sebagai upaya perlindungan bagi masyarakat pengguna media sosial dan teknologi digital. *(JM)