Panggilan Kemuridan PMKRI

Romo Moderator berjalan bersama peserta Retret Nasional yang berasal dari berbagai cabang di Indonesia

 Oleh Rinto Namang*

Saya ingin memulai refleksi ini
dengan sebuah kisah yang nyata dalam hidup saya sebagai seorang kader
Perhimpunan. Sebuah kisah yang, menurut saya, tidak terjadi secara kebetulan.
Saya sebut kisah ini sebagai “penyelenggaraan ilahi” (Providentia
Dei) dalam hidup saya sebagai seorang kader.

Kisah ini bermula dari perjumpaan
saya dengan Yuliana Yulianti Keri, seorang guru honorer asal Maumere yang telah
mengajar kurang lebih 9 tahun di SDN Wegok, Kecamatan Kewapante, Kabupaten
Sikka. Ia datang ke Margasiswa, sekretariat PMKRI, di Menteng bersama seorang
senior untuk bertemu saya. Kami tak saling kenal. 

Kami berkenalan dan dia
mengutarakan maksud kehadirannya di Margasiswa. “Saya di Jakarta sudah 1
bulan,” kata dia memulai kisahnya, “untuk mencari kejelasan tentang
nasib saya yang sudah lulus tes CPNSD, namun dibatalkan sepihak oleh BKD regio
X.” Dia memang sudah lulus tes tapi karena satu dua kesalahan teknis
akhirnya pihak Badan Kepegawaian Daerah membatalkan Nomor Induk Kepegawaian
miliknya. 

Setelah dia mengisahkan panjang
lebar persoalan yang tengah dihadapinya itu, saya, entah kenapa, merasa seperti
diseret masuk ke dalam situasi batinnya saat itu. Ya, saya berempati. Saya
merasa kehadirannya, matanya, kisahnya, wajahnya menyeret saya ke dalam
pengalaman hidupnya. Saya merasa harus bertanggung jawab atas nasibnya,
berjuang bersama dia untuk apa yang dicarinya. Singkatnya, kehadiran wajahnya,
meminjam Emmanuel Levinas, membuat saya tersandera seketika.

Setelah berkoordinasi dengan
kolega Pengurus Pusat PMKRI, akhirnya kami memutuskan untuk merekam kisahnya
yang kemudian ditayang di channel Youtube Juventus Prima Yoris Kago, Ketua PP
PMKRI, tanggal 17 Mei. Sesuai prediksi kami, kisah ini viral dan mendapat
respon dari banyak pihak salah satunya Melchias Markus Mekeng Bapa, ketua Fraksi
Partai Golkar-DPR RI yang mengundang kami untuk bertemu dirinya. Dari sana kami
bertemu Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta
Kepala Badan Kepegawaian Nasional yang berjanji akan membantu Yuliana
memperoleh haknya kembali. Sekarang Yuliana bisa tidur lebih nyenyak dari
sebelumnya sambil berharap dirinya kembali memperoleh status Pegawai Negeri
Sipil.

Panggilan Kemuridan, Panggilan Kesiapsediaan

Dalam anjuran apostolik Evangelii
Gaudium (127), Sri Paus FransiskusFransiskus menasehati kita tentang makna
kemuridan. “Menjadi murid berarti memiliki disposisi batin yang tetap
untuk selalu siap membawa kasih Yesus kepada sesama. Tuntutan akan
kesiapsediaan semacam ini bisa dituntut secara tak terduga di mana saja, di taman
kota, selama bekerja, atau di saat perjalanan.”

Kader PMKRI adalah kader Gereja,
orang-orang muda yang mengikuti Yesus dalam keseharian. Karenanya, sebagai
murid, setiap kader dituntut untuk selalu awas dan siap sedia untuk memberi
diri bagi sesama, bagi mereka yang membutuhkan. Tuntutan untuk menghadirkan
Kristus ke dalam kehidupan mereka yang membutuhkan. Kisah The Good Samaritan
barangkali dapat mengajarkan kita tentang arti kesiapsediaan semacam itu, orang
yang melampaui segala macam sekat identitas, menghadirkan kasih Allah kepada
sesama yang paling menderita. 

Sebagai sebuah komunitas
pembinaan dan perjuangan, PMKRI dituntut menjadi garda terdepan pewarta kabar
sukacita. Kita adalah komunitas pewarta kabar sukacita Kristus di tengah dunia.

Pesan misioner Paus Fransiskus
kiranya bergema kuat dalam kehidupan kita sebagai kader PMKRI: “komunitas
ini menjembatani jarak, bersedia merendahkan diri jika perlu, dan memeluk
kehidupan manusia, menjamah daging Kristus yang menderita dalam diri orang
lain. Dengan demikian para pewarta kabar sukacita mengenakan “bau
domba” pada dirinya, sehingga domba-domba mau mendengarkan suaranya.
Komunitas ini suka menopang, mendampingi umat di setiap langkah perjalanan
mereka, tidak peduli betapapun sukar atau lamanya,” (Evangelii Gaudium,
24).

Panggilan Kemuridan: Tuntutan Berbudi dan Berhati Aristokrat

Menjadi murid dewasa ini bukan
sekedar suatu tuntutan untuk berkorban bagi mereka yang menderita belaka, tapi
juga kita dituntut untuk memiliki keunggulan dan keluhuran budi dan hati.
Mahasiswa Katolik dituntut untuk menjadi mahasiswa yang aristokrat dalam
pengertian budi dan hatinya. 

Mgr. Albertus Soegijapranata
(G.Budi Subanar, Kilasan Kisah Mgr. A. Soegijapranata SJ. Jakarta: Gramedia,
2012) menginspirasi kita dengan kata-kata bijak berikut:

“Para mahasiswa Indonesia
kami harap kelak kemudian hari menjadi hoi aristoi (bhs. Yunani) umat Katolik
Indonesia. Hendaknya mereka sungguh-sungguh merupakan aristokrasi, tiada
menurut asal dan aslinya, akan tetapi menurut budi dan hatinya. Hanyalah
golongan bangsawan dan muliawan menurut budinya yang hening dan cemerlang
karena ilmunya, pengetahuan, kecerdasannya; hanyalah cendikiawan berhati suci
murni, tulus mulus, berperasaan manusiawan dan Katolik, yang menyala
kecintaannya pada Tuhan dan sesama, itulah menurut hemat kami, yang patut dan
serasi mendidik, membimbing, dan memimpin umat Katolik Indonesia…”

Tugas dan tanggung jawab kita
sebagai mahasiswa Katolik tidak saja berjuang bagi mereka yang tertindas tetapi
sungguh-sungguh mempersiapkan diri agar menjadi kader dengan kualitas budi dan
hati yang luhur dan unggul (aristokrat) agar berguna bagi Gereja dan Tanah Air.
Tujuan dari penempaan diri menjadi kader yang unggul itu dimaksudkan agar kelak
kita menjadi “pemimpin-pemimpin umat Katolik Indonesia, membentuk
masyarakat Katolik Indonesia yang berdiri sendiri dalam segala lapangan hidup,
yang berjiwa merdeka dalam memelihara, dan memperkembangkan dan menyempurnakan
hidupnya, yang berasas Katolik dan bercorak Nasional” (Ibid). 

Akhirnya, panggilan kemuridan
hanya dapat kita tempuh dalam terang Injil yang menghadirkan Peristiwa Yesus:
hidup dan karya-Nya yang menginspirasi kita menjadi murid-murid dengan kualitas
terbaik, dengan kepedulian sosial yang tajam dalam membaca tanda-tanda zaman.
Kualitas dan kepekaan dalam terang Injil itu hanya mungkin kita gapai dalam
kesadaran kita sebagai murid Kristus yang senantiasa berziarah mengikuti Dia
yang memanggil kita. Pantas tidaknya tergantung dari cara kita menjawab
panggilan tersebut dalam pengalaman hidup sehari-hari.

Jati Jejer, 24 Mei 2019

*Penulis adalah PGK PP PMKRI 2018-2020

Exit mobile version