Otak Atik Regulasi Demi Investasi Panas Bumi

Jakarta, Verbivora.com – Kebutuhan Indonesia akan energi (energy demand) terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi serta bertambahnya jumlah penduduk. Namun, kebutuhan energi ini tidak diimbangi dari sisi penyediaan energinya (energy supply). Tingginya pertumbuhan permintaan energi oleh konsumen semakin memperlebar kesenjangan antara sisi permintaan dan penyediaan energi. 

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, diharapkan akan lebih menarik investasi dalam rangka mempercepat pengembangan panas bumi di Indonesia yang akan berimbas kepada terpenuhinya kebutuhan energi listrik masyarakat, peningkatan pendapatan negara yang pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Namun dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan panas bumi ini terbentur dengan adanya istilah kegiatan “penambangan/pertambangan”, dimana ini membawa konsekuensi bahwa kegiatan panas bumi yang dikategorikan sebagai kegiatan penambangan/pertambangan tidak dapat diusahakan di hutan konservasi.  Sebagaimana diketahui dalam dokumen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2012) bahwa potensi panas bumi banyak dijumpai di kawasan hutan baik hutan lindung sebesar 23 persen, hutan produksi sebesar 13 persen, maupun hutan konservasi sebesar 21 persen.

Pada dasarnya, keberadaan sumber daya alam hutan dalam konteks pembangunan nasional memiliki peran yang sangat penting sebagai penyedia barang dan jasa yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan perekonomian nasional, daerah dan masyarakat, peran penting hutang yang kedua adalah untuk pelestarian lingkungan hidup dengan menjaga keseimbangan sistem tata air, tanah dan udara sebagai unsur utama daya dukung lingkungan dalam sistem penyangga kehidupan.

Penghapusan Istilah Penambangan/Pertambangan menjadi “Pengusahaan dan Pemanfaatan” Panas Bumi

Dalam mengoptimalkan pengusahaan panas bumi dalam UU No. 27 Tahun 2003, terkait adanya istilah kegiatan “penambangan/ pertambangan”, membawa konsekuensi bahwa kegiatan panas bumi yang dikategorikan sebagai kegiatan penambangan/pertambangan tidak dapat diusahakan di hutan konservasi karena tidak selaras dengan Pasal 38 UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 5 Tahun 1990 dan PP No. 28 Tahun 2011.

Dalam kajian akademis RUU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi pada poin kesimpulannya bahwa UU No. 5 Tahun 1990 dan PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, juga dijelaskan bahwa dalam kawasan hutan konservasi hanya dapat dilakukan melalui kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. PP No. 28 Tahun 2011 telah memberikan ruang dalam pengusahaan panas bumi melalui pemanfaatan kawasan hutan konservasi dalam bentuk izin jasa lingkungan, namun ini tidak sejalan dengan UU No. 27 Tahun 2003 dan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999. 

Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan UU No. 41 Tahun 1999 dan UU No. 27 Tahun 2003. Mengingat pemanfaatan energi panas bumi dalam UU No. 27 Tahun 2003 dikategorikan sebagai kegiatan penambangan/ pertambangan, maka hal tersebut mengakibatkan munculnya beberapa kendala hukum terkait dalam pelaksanaan pemanfaatannya.

Dituangkan dalam UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi menyatakan bahwa pengusahaan panas bumi dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi melalui mekanisme sesuai dengan tata cara dan persyaratan penggunaan kawasan sebagaimana diberlakukan pada hutan lindung, yang dimana dapat melakukan pengelohan panas bumi dan tidak dalam kategori sebagai kegiatan penambangan atau pertambangan. Dilakukannya perubahan istilah pertambangan atau penambangan menjadi pengusahaan atau pemanfaatan panas bumi dalam UU No. 27 Tahun 2003 terlihat hanya semata-mata untuk menjembatani perbedaan persepsi akan tetapi tidak menelisik terkait implikasi lain dari istilah tersebut, seperti dari perspektif kerusakan alam sosial dan budaya. 

Pentingnya Menetapkan Kawasan Konservasi Dalam Pengolahan Energi Panas Bumi 

Panas bumi merupakan sumber energi dan dikategorikan sebagai energi bersih, ramah lingkungan dan dalam pemanfaatannya sebagai energi terbarukan memerlukan pemeliharaan eko lingkungan dalam rangka menjaga kesinambungan sumber daya panas bumi tersebut sehingga panas bumi dapat dikategorikan bukan kegiatan pertambangan dan selaras dengan pelestarian hutan. 

Mengatasi adanya keterbatasan sumber daya alam disuatu wilayah perlu merencanakan suatu wilayah yang baik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga ketersediaan sumber daya alam yang hanya terbatas. Perbedaan dari hutan lindung dan hutan produksi lebih mudah kita ketahui, berbeda dengan hutan lindung dan hutan konservasi. Umumnya masyarakat akan kesulitan untuk membedakannya, sebab kedunya sekilas hampir sama untuk melindungi lingkungan. Berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan konservasi merupakan kawasan hutan yang memiliki ciri-ciri tertentu. Fungsi dari hutan konservasi yaitu untuk melestarikan keanekaragaman flora dan fauna beserta ekosisten yang ada di dalamnya.

Walaupun secara eksplisit dijelaskan bahwa, pengembangan energi panas bumi tergolong energi baru terbarukan. Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Tisnaldi mengatakan, kegiatan eksplorasi panas bumi sebagai sumber energi baru masih memiliki risiko kegagalan yang besar. “Ini kendala risiko kegagalan pemborannya masih ada. Karena di panas bumi itu ngebor dua suksesnya bisa satu, jadi 50 persen,” kata Tisnaldi saat ditemui di JCC, Jakarta, Rabu (4/6/2014).

Pemanfaatan kawasan untuk kepentingan pembangunan selain kegiatan kehutanan hanya dapat kita lakukan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi, sebab kawasan konservasi memiliki peraturan yang cukup berbeda dari keduanya. Pembagian Kawasan Suaka Alam terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati beserta Ekosistemnya. Dalam Undang-Undang tersebut, Kawasan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Sedangkan untuk Kawasan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Hutan Raya, Taman Nasional serta Taman Wisata Alam.

Hingga kini, persoalan dalam pengelolaan wilayah masih menjadi sesuatu yang belum tuntas. Sehingga pengelolaan hutan tidak cukup untuk mengupayakan pengelolaan wilayah. Sebab hingga saat ini kebutuhan akan lahan terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan masyarakat dan ekonomi yang meningkat. Konservasi kawasan menjadi pilihan dalam mengupayakan ketersediaan sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat. 

Hal tersebut karena konservasi merupakan sebuah upaya dalam melindungi atau melestarikan suatu wilayah. Adanya pelestarian tersebut bertujuan untuk melindungi habitat atau lingkungan hidup semua jenis makhluk, mulai dari hewan, tanaman dan manusia dari kelangkaan atau kerusakan yang mungkin berpotensi. Kelangkaan atau kerusakan dapat terjadi karena adanya bencana alam yang menimpa atau faktor kelalaian manusia dalam mengelolanya. Untuk itu perlunya upaya pelestarian untuk menjaganya agar tetap lestari. *(AR)

Onesimus Fergilius Napang, Aktivis PMKRI.

Onesimus Fergilius Napang, Aktivis PMKRI/ist.

Exit mobile version