Beranda Update ‘Nyala’ Papua & Masa Bodoh Negara

‘Nyala’ Papua & Masa Bodoh Negara

0
Ilustrasi masa bodoh Negara terhadap Papua

Tidak dapat dipungkiri bahwa yang ada
dalam kepala publik hari ini adalah negara tidak memiliki komitmen negarawan,
kepemimpinan moral dan intelektual dalam menyikapi gejolak oleh masyarakat
Papua yang ada diberbagai penjuru di Indonesia. Yang konyol adalah sikap negara
yang jika diperhatikan secara detail seperti organisasi keagamaan. Negara
memberikan memberikan seruan – seruan yang sifatnya moral spiritual untuk
meredam ‘Nyala Papua’.

Ketika ‘Nyala Papua’ membesar, mereka
membakar gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Manokwari. Atas
persoalan yang sangat krusial tersebut, seruan Presiden Jokowi kepada
masyarakat Papua adalah ‘emosi itu boleh…. tetapi memaafkan itu lebih baik’,
tanpa memberikan elaborasi lebih lanjut yang menunjukan komitmen dari Presiden
untuk menyelesaikan masalah penyerangan sekelompok ormas terhadap mahasiswa
Papua di asarama yang terjadi di Surabaya dengan instrumen – instrumen yang
dimiliki oleh negara, sebagai seorang kepala negara.
Saat ini persoalan semakin pelik, kantor
Majelis Rakyat Papua (MRP) yang berlokasi di Kotaraja, Distrik Abepura, kembali
dibakar oleh masyarakat Papua. Sorot mata dunia internasional semakin tajam
menatap Indonesia, Presiden dan menteri – menterinya mulai kasak – kusuk
menunjukan keseriusan pada polemik Papua.
Dalam keseriusan yang coba
ditampilkan oleh negara kepada publik semuanya masih sebatas pada penyelesaian
jangka pendek yakni dengan meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk mengusut
tuntas masalah ini dan setelah itu semuanya harus berdamai. Soal perdamaian,
Gus Dur pernah mengatakan bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. 
Jika kita jujur, sampai sejauh ini,
kita tidak menemukan rumusan penyelesaian masalah secara konseptual, substantif
dan stategis. Negara pun naif bahwa ‘Nyala Papua’ hari ini disebabkan oleh
akumulasi persoalan yang selama ini dipendam oleh masyarakat Papua jauh dalam
lubuk hatinya.
Mengutip Tirto.id, sejak 2009, dari
riset selama 4 tahun, LIPI memetakan 4 masalah akut di Papua yang (seharusnya)
diselesaikan pemerintah Indonesia. Pertama, sejarah dan status politik
integrasi Papua ke Indonesia. Kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM sejak 1965
yang nyaris nol keadilan. Ketiga, diskriminasi dan marjinalisasi orang Papua di
tanah sendiri. Keempat, kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan
dan ekonomi rakyat. Sampai saat ini, 4 akar masalah di Papua itu masih relevan
dengan situasi terkini.
Masih relevannya 4 akar masalah dari
riset yang dilakukan oleh LIPI dari tahun 2009 tersebut menunjukan bahwa negara
selama ini memang bersikap masa bodoh terhadap persoalan di tanah Papua. Di era
pemerintahan Jokowi – JK, negara cukup menunjukan keseriusan dan komitmennya
dengan melakukan pembangunan infrastruktur di negeri matahari terbit tersebut,
yang menjadi soal adalah pembangunan infrastruktur bukan merupakan yang
dibutuhkan oleh Papua saat ini.
Papua butuh kejelasan sejarahnya,
butuh penyelesaian masalah HAM, butuh penerimaan dari seluruh elemen bangsa
bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia yang bentuk fisiknya terlampau
berbeda dari yang lainnya, Papua butuh keadilan pembangunan dari sektor
pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat. Papua butuh cinta dari bangsa ini !
Selain itu, yang menjadi soal adalah
negara selalu melihat dari kaca mata politik pada semua gerakan yang dilakukan
oleh masyarakat Papua. Gerakan yang dilakukan oleh masyarakat Papua kerap
dipandang sebagai gerakan separatis, usaha untuk memisahkan diri dari NKRI
karena masyarakat Papua ‘dipengaruhi’ asing.
Negara asbsen untuk melihat setiap
gerakan yang dilakukan oleh masyarakat Papua sebagai sebuah bentuk perlawanan
yang dimotivasi oleh ketidakadilan terhadap Papua dalam banyak sektor. Negara
selalu lepas dari substansi masalah, bersemangat serta ‘genit’ untuk
memandangnya dari kaca mata politik. 
Peristiwa penyerangan sekelompok
ormas terhadap sekelompok mahasiswa di asrama Papua di Surabaya yang membuat
‘Nyala Papua’ membesar di seluruh penjuru negeri hendaknya menjadi titik
refleksi besar bagi bangsa Indonesia tentang bagaimana masyarakat Papua
dipandang dan diperlakukan selama ini.
Jika indikasi masalahnya adalah
karena dugaan pembuangan bendera merah putih oleh sekelompok mahasiswa Papua di
Surabaya maka ‘Nyala Papua’ tidak sebesar yang kita saksikan dan rasakan
bersama saat ini, saya meyakini ini semua karena akumulasi persoalan yang
selama ini ditabung oleh masyarakat Papua karena tidak ada penyelesaian dari
negara.
Untuk menyelesaikan ‘Nyala Papua’
saat ini negara harus membuang jauh – jauh sikap masa bodohnya, tidak ada jalan
lain selain harus ditempuh dengan jalan dialog dari hati ke hati. Negara mesti
membangun dialog dengan masyarakat Papua, semua yang ditanyakan, diminta,
maupun diinginkan oleh Papua harus didengarkan oleh negara dalam semangat
keutuhan NKRI.
Kemudian negara membangun komitmen
dengan Papua dalam bentuk kebijakan – kebijakan strategis untuk semua kebutuhan
Papua saat ini maupun keinginan mereka untuk memperjelas sejarah politik, dll.
Jika kemudian dialog menemui jalan
buntu, masyarakat Papua menuntut referendum, ingin memisahkan diri dari NKRI,
maka harus diterima oleh negara dan segenap bangsa dengan besar hati. Maka
peristiwa pisahnya Papua dari NKRI menjadi catatan bagi negara dan bangsa bahwa
jika ingin NKRI tetap utuh maka tidak boleh ada diskriminasi, penindasan
struktural dan ketidakadilan terhadap apapun suku, agama dan ras di NKRI.
Semuanya harus saling menghargai satu dengan
yang lainnya karena memiliki hak yang sama di tubuh bangsa ini. Negara tidak
boleh menindas dan yang mayoritas tidak boleh merasa superior. Mari berjuang
bersama buat Papua !
Penulis :  Efraim Mbomba Reda
(Aktivis PMKRI Cab. Denpasar ;
Mahasiswa Universitas Warmadewa – Denpasar
)

Exit mobile version