Nalar Kritis Sebagai Upaya Menangkal Hoax

Ket. Epenk Djawang (Foto. Dok. Pribadi)

Oleh: Epenk Djawang*

Hoax atau
penyebaran berita palsu merupakan alat bagi elite politik untuk menggiring
opini yang tidak sesuai dengan faktanya, tapi disebarluaskan sebagai bentuk
kebenaran demi menguntungkan pihaknya dan menjatuhkan pihak lain. Hoax adalah
manifestasi dari provokasi atau propaganda. Hoax juga bisa dikatakan sebagai
bentuk dari Devide et Impera (politik
adu domba) modern.
Persoalan ini
tidak lagi merupakan hal yang baru bagi bangsa Indonesia di era milenial saat
ini. Penyebaran berita palsu tentunya merupakan dampak dari globalisasi yang
masuk dan mempengaruhi lalu lintas media masa. Baik melalui siaran-siaran di
televisi, internet  (dunia maya: Fb, Ig, Twiter,
dsb), surat kabar, dan lain-lain.
Secara realitas,
teknologi sangat membantu manusia dalam berkomunikasi sehingga lebih efisien
dalam waktu. Tapi ironisnya, karena ketidakmampuan dalam menerima arus
globalisasi sehingga banyak masyarakat khususnya pengguna internet sebagai
media informasi, nampaknya gagal dalam menyaring dan menfilterisasi setiap
berita yg di sebarkan.
Perlu di sadari
bahwa teknologi telah menghegemoni penggunanya sehingga kemerdekaan dalam
berfikir dan bertindak tidak lagi sesuai pada fitrahnya yakni cendrung terhadap
kebenaran atau hal-hal yang baik. Persoalan ini terbukti dengan mengakarnya
paradigma dogmatisme, apatisme dan hedonisme. Oleh sebab itulah nalar kritis
masyarakat telah ditiadakan oleh teknologi. Bahkan dempak negatif lainnya
adalah krisis moral.

Pada tanggal 17
april 2019 nanti merupakan puncak dari pesta demokrasi di indonesia. Tentunya
para elit politik saat ini sedang mengatur Stratak (strategi dan taktik) yang
akan memenangkan calon yang didukungnya. Tapi mungkin karena kedunguan pola
bikir dan nurani yang membisu sehingga para elite politik ini tentunya memakai
cara kotor yaitu penyebaran berita palsu (hoax). 

Wajar jika Indonesia lambat
untuk berkembang karena secara mekanisme pemilihan pemimpinnya saja tidak
berdasarkan persaingan konsep dan kontribusi tapi dengan persaingan yang bahkan
menelanjangi monopoli kekuasaannya.

Pencaturan
politik yang dimainkan saat ini tentunya akan memberikan dampak beruk terhadap
masyarakat berupa pembodohan atau tipu daya, perpecahan dan konflik horisontal
yang akan terjadi di berbagai elemen masyarakat. Di sini perlu adanya kesadaran
kritis kaum intelektual untuk mentranformasikan kesadaran kritis dalam lingkup
media maupun sosial-masyarakat. 

Hoax dengan sendirinya telah meniadakan
kemerdekaan manusia karena sifat manusia yg selalu berusaha menyesuaikan
sehingga berita yg tersebar luaspun diterima tanpa adanya upaya kritis terhadap
berita tersebut.
Oleh karena itu
perlu adanya pembinaan pemaknaan secara kebenaran yang bernuansa demokratis, egaliter,
dan juga transparan sehingga goverment of
the people, by the people, and for the people
(pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat) dapat menjadi diwujudkan sehingga tidak lagi bersifat
wacana yang utophia.
Elit politik
memang mempunyai perangkat hoax yang lengkap dan canggih sehingga momen – momen
menjelang Pilpres saat ini mereka dapat memonopoli kebenaran dengan mudah untuk
kepentingan kelompoknya. Salah satu upaya menangkal penyebaran berita palsu
atau Hoax yang di lakukan oleh para elite politik ini tentunya dengan
menjadikan nalar kritis sebagai tameng atau upaya untuk menangkal pembodohan
melalui hoax.
Salah satu
pengaruh dari mengakarnya hoax  yang dijadikan
sebagai kebenaran adalah karena fanatisme terhadap Capres atau Cawapres
tertentu sehingga melahirkan kesenjangan idiologis dan praksisnya. Paradigma
seperti ini yang mengakibatkan ketimpangan dan pembodohan publik.
Melembaganya
fanatisme akan menimbulkan konflik dan perpecahan dengan alasan yang irasional
yakni karena kesalahan dalam memfilter informasi. Sebagai bangsa Indonesia kita
sepatutnya menjadikan Pancasila sebagai fondasi dalam melakukan setiap
aktivitas. Dalam persoalan ini, para the
founding father
telah mengamanatkan kepada bangsa indonesia untuk
menjunjung tinggi pancasila khususnya sila ke – 2 yaitu persatuan Indonesia.
Bahwa bangsa indonesia adalah bangsa yang besar.
Bangsa yang
terdiri dari berbagai suku dan bahasanya dan dipersatukan oleh Negara Republik Indonesia.
Oleh karena itu kita harus senantiasa menjunjung tinggi nilai dari Pancasila
dan juga persatuan sehingga peradaban bangsa Indonesia dapat berkembang, maju
dan kokoh. Jangan karena karena kesalah pahaman akibat penyebaran berita palsu
bangsa indonesia di pecah belahkan.
Tiada bangsa
yang besar tanpa budaya yang kokok. Oleh karena itu mari merawat nalar, mari
mempertajam nalar kritis kita agar tak mudah diprovokasi oleh hoax, mari
menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila, dan mari bangun kembali
budaya yang telah rapuh ini sehingga regenerasi mendatang dapat menjadi
generasi intelektual dan bermoral yang dapat memajukan bangsa ini menjadi
masyarakat adil-makmur.
Untuk pemuda dan
mahasiswa, jangan sampai sumpah kalian sebagai pemuda dan mahasiswa hanya
sebatas hafalan yang kelak akan kalian lupakan. Tapi mari wujudnyatakan itu
dalam aktivitas kita sehari hari karena kita adalah harapan masyarakat
indonesia. 2019 rawat nalar untuk indonesia yang sejahtera dan bertataran
humanis dan demokratis.

*Penulis adalah aktivis PMKRI Cabang Jakarta Pusat

RELATED ARTICLES

Most Popular