Pemilihan Umum (Pemilu) 14 Februari 2024 sudah usai. Masyarakat Indonesia telah memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat secara serentak di berbagai tingkatan pemerintahan. Secara formal, rakyat sudah memberikan suaranya di Pemilu. Ini artinya, representasi kedaulatan rakyat telah sepenuhnya terejawantahkan lewat tugas dan fungsi yang akan dijalankan oleh Eksekutif dan Legislatif. Kedua lembaga ini sama-sama representasi rakyat, dengan tugas dan fungsi yang diatur sesuai Undang-Undang.
Sebagai kepala negara dan pemerintahan, mandat eksekutorial terotorisasi di tangan presiden dan wakil presiden. Sementara, lembaga legislatif berperan penting dalam menyusun peraturan (legislasi), penyusunan anggaran (budgeting), dan mengawasi (controlling) lembaga eksekutif. Secara normatif dan substantif, kekuasaan Presiden amatlah besar. Presiden memiliki hampir semua sumber daya publik, yang memungkinkan Presiden menjalankan tugas konstitusional sesuai amanat UU, yakni kesejahteraan rakyat.
Hampir dapat dipastikan Presiden mampu mengendalikan semua proses politik dalam negara. Karena besarnya porsi kekuasaan Presiden, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangat mungkin terjadi. Bahkan, kewenangan Presiden yang terlampau besar memungkinkan Presiden mampu menggerakan seluruh apparatus negara untuk mendukung absolutisme, yang memungkinkan Presiden terus menguasai arena kekuasaan negara. Di titik ini kita diingatkan oleh Lord Acton politikus berkebangsaan Inggris abad 19,“power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup.”
Karena itu, untuk mencegah absolutisme di tangan Presiden, maka jaringan oposisi diperlukan secara mutlak. Ini adalah dasar dari bangunan demokrasi – kekuasaan mesti diawasi lewat oposisi. Disinilah peran dan tugas lembaga legislatif sebagai aktor yang mengawasi kerja Presiden, untuk mencegah praktik koruptif di satu sisi dan absolutisme kekuasaan di sisi lain.
Baca juga: Merajut Tali Persaudaraan: Ucapan Hari Raya Idulfitri Ketua Presidium PP PMKRI
Oposisi Dalam Demokrasi
Dalam artikel di jurnal LIPI ‘Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi’, Firman Noor menjelaskan bahwa oposisi merupakan bagian penting dari demokrasi. Oposisi sendiri kerap diartikan sebagai mereka yang berseberangan dengan pemerintah. Namun, oposisi sebetulnya punya fungsi untuk melakukan kritik dan kontrol atas sikap, pandangan, atau kebijakan pemerintah berdasarkan pada perspektif ideologis.
Sementara itu, ilmuwan politik, Ian Shapiro dalam bukunya “The Moral Foundation of Politics” (2003) menyatakan, sistem pemerintahan demokrasi tidak bisa berkembang secara dinamis tanpa kehadiran oposisi. Oposisi merupakan manifestasi konkret dari nilai abstrak demokrasi. Demokrasi hanya akan dapat berkembang dengan dinamis apabila kontestasi gagasan pemerintah mampu dikritisi oleh oposisi di parlemen.
Dalam perspektif di atas, menunjukan demokrasi di era modern perlu dikontrol secara serius oleh oposisi. Nilai, ide, dan pelaksanaan demokrasi semestinya harus dihidupkan lewat oposisi yang solid di parlemen. Sebagai negara dengan tingkat demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia harus serius menampilkan profile demokrasi. Sebab, tanpa oposisi yang kuat di parlemen, Indonesia akan terus-terusan terjebak dalam kemiskinan.
Baca juga: Sikap PMKRI Terhadap Netralitas Lembaga Negara Dalam Pemilu 2024
Lemahnya Oposisi Beberapa Periodesasi Pasca-Reformasi
Oposisi sebagai senjata rakyat pasca-reformasi dalam mengontrol jalannya pemerintahan seharusnya menjadi catatan serius bagi wakil rakyat dalam menghadapi dinamika dan tantangan bangsa ini dari periode ke periode. Kita ketahui bersama kecendrungan bentuk baru otoriter dan totaliternya sebuah rezim di era sekarang sangat mungkin terjadi secara systemic baik melalui kebijakan, perubahan undang-undang, memperlemah oposisi, mempersempit ruang kritis, pembungkaman masyarakat adat serta pembangunan yang cenderung oligarkis
Kerinduan terbesar pasca runtuhnya orde baru adalah menghidupkan kembali nilai demokratis dan pelembagaan fungsi control oleh lembaga bernama Oposisi di Parlemen. DPR dirancang secara konstitusional untuk mencurigai, mengkritisi seluruh tindak tanduk kekuasaan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan terkhusus dalam kerangka legislasi, controlling dan budgeting. Keberadaan DPR sebagai wakil rakyat telah diperintahkan oleh reformasi melalui konstitusi untuk meng juru bicara serta memperjuangkan seluruh keluh-kesah, kepentingan dan aspirasi rakyat
Dalam catatan periode awal demokrasi, khususnya pada era pemilihan presiden langsung oleh rakyat pertama tahun 2004, peran oposisi terlihatnya tak etika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) muncul sebagai pemenang atau presiden terpilih mengalahkan Megawati Soekarno Putri. SBY kerap menerima kritik dari partai yang secara tegas memilih menjadi oposisi, yakni PDIP yang dipimpin oleh Megawati. Kebijakan pemerintahan SBY yang menaikkan tarif harga BBM dan Bantuan Langsung Tunai jadi bahan PDIP untuk mengkritik.
Peran Oposisi PDIP berlanjut ketika SBY kembali terpilih menjadi Presiden pada tahun 2009.Sekurang-kurangnya pasca Jokowi berkuasa sejak tahun 2014 hingga 2024, kualitas oposisi mulai meredup di parlemen. Marwah Dan Kehormatan DPR dalam mengkritisi semua kebijakan lumpuh dihadapan koalisi kekuasaan yang gemuk. Fakta yang paling telanjang di periodesasi presiden Jokowi-Ma’ruf menyisakan jejak tragis kematian oposisi di parlemen.
Tragisnya eksistensi oposisi yang ada di parlemen hanyalah aksesoris simbolik semata karena yang berada di luar kekuasaan hanyalah minoritas wakil rakyat. Pada 2019, minoritas suara rakyat yang diwakilkan di parlemen membuat presiden Jokowi sangat powerful dalam membuat kebijakan politik, ekonomi dan hukum termasuk kebebasan.
Banyak regulasi yang dibuat secara cepat tanpa melihat persoalan dan kebutuhan mendasar rakyat mulai dari revisi Undang-Undang KPK, Undang-Undang Ciptaker, RKUHP, Polemik pengangkatan Penjabat Kepala Daerah termasuk soal Undang-Undang Ibu Kota Nusantara yang secara sosiologis dan lingkungan menuai kontroversi.
Baca juga: Uang Tak Bisa Tidur; Tren Pemilu 2024
Partai kalah Pilpres 2024, Harus Siap Jadi Oposisi di Parlemen
Belajar dari situasi dan kondisi yang terjadi beberapa periode terakhir, publik ingin ada dinamika dan keseimbangan dalam menjalankan roda pemerintahan ke depan. Seperti yang kita saksikan pasca keterpilihan presiden dan wakil presiden dari koalisi Indonesia maju (Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka) berdasarkan ketetapan Komisi Pemilihan Umum, maka dengan sendirinya merekalah yang menguasai pemerintahan bersama partai koalisinya (Golkar, Gerindra, PAN, dkk)
Partai kalah pilpres yang mengusung Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo – Muhammad Mahfud MD, dalam hal ini PDIP, PPP, Nasdem, PKB dan PKS seharusnya mengambil sikap politik yang tegas dalam mengawal pemerintahan mendatang dengan menjadi oposisi. Mengapa harus oposisi?. Setidaknya ada tiga alasan mengapa Oposisi diperlukan untuk menghidupkan demokrasi ke depan
Pertama, DPR adalah lembaga setara dengan eksekutif, dalam sistem presidensialisme yang kita anut hari ini presiden memiliki otoritas yang kuat dalam menentukan masa depan ratusan juta rakyat Indonesia. Presiden harus dikontrol semaksimal mungkin agar potensi korupsi, kolusi dan nepotisme dapat dikontrol, dikritisi dengan kekuatan oposisi di parlemen. Sebab ketika partai kalah masuk dalam koalisi pemerintahan, artinya peluang dan ruang evaluasi mengenai kebijakan yang dibuat pemerintah sekedar pameran dan tidak berpengaruh apa-apa.
Kedua, DPR sebagai oposisi yang lahir dan dirancang untuk menggonggong pemerintah, demokrasi sebagai sistem yang mengantitesesa kedaulatan raja secara konstitusional membentuk lembaga legislatif, untuk mewakili rakyat agar para penguasa/pemimpin tidak menjadi raja yang berwatak bengis, tidak berpihak pada rakyat dan mementingkan golongannya. Partai kalah harus mengkonsolidasi dirinya, untuk menjaga marwah dan kehormatan rakyat yang mereka wakili agar tidak dibunuh oleh kebijakan dan aturan yang dibuat oleh penguasa.
Ketiga, DPR digaji dan dibiayai oleh uang rakyat, lewat pajak. Besarnya biaya yang diberikan oleh rakyat kepada anggota DPR sebagai bentuk konsekuensi logis atas kepercayaan rakyat untuk menjalankan semua mandat yang mereka berikan. Tapi faktanya dalam beberapa tahun terakhir, DPR hanyalah memakan gaji buta dari rakyat. Banyak kebijakan, regulasi yang dibuat oleh DPR tidak berpihak pada rakyat.
Publik berharap dengan kekalahan beberapa partai besar dalam pilpres 2024 ini, partai-partai tersebut harus mengambil alih fungsi primer dari parlemen sebagai macan oposisi di gedung parlemen untuk mengontrol dan mengawal ketat pemerintahan mendatang sehingga segala kebijakan hukum, ekonomi dan politik bermuara pada kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Penulis : Balduinus Ventura, Lembaga advokasi hukum dan HAM PP PMKRI