Ket. Thomas Tukan. Oleh: Thomas Tukan* |
Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018
tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis
(13/9/2018) lalu. Pasal
yang diuji materikan itu mengatur soal larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar
narkoba dan eks narapidana kasus
kejahatan seksual pada anak untuk
maju menjadi calon legislatif. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan
mantan narapidana kasus korupsi
menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu.
Menyikapi polemik Putusan Mahkamah Agung terhadap PKPU ini saya
merilis beberapa hal sebagai
berikut:
Persoalan keputusan KPU selama ini mendasar pada dua hal;
1. Secara proses pembuatan
segi proses pembuatan, KPU seharusnya melibatkan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Kemenkumham) yang merupakan pihak eksekutif dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan di Indonesia, untuk meminimalisir terjadinya
tumpang tindih peraturan. Namun demikian, secara
kewenangan berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016. Dinyatakan bahwa pada saat menyusun PKPU,
KPU tidak terikat rapat konsultasi dengan
pihak manapun.
berpendapat bahwa mengingat pentingnya peran KPU dalam perwujudan negara hukum
yang demokratis, maka sebagai lembaga yang memiliki kedudukan constitutional importanc. Sudah
seharusnya KPU mendapat perlakuan yang sama dengan lembaga- lembaga negara
lainnya seperti Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, serta lembaga independen lainnya. Lembaga-lembaga negara ini memiliki
kewenangan secara penuh (full authority),
yakni dalam bertindak
menjalankan fungsinya tidak diintervensi oleh lembaga lain.
argumentasi di atas, disimpulkan mengenai PKPU 20/2018, bahwa KPU tidak
melakukan abuse of power. Karena KPU hanya menjalankan tugas
dan kewenangannya sebagai penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan
merumuskan aturan penyelenggaraan (electoral law) dan pelaksanaan pemilu (electoral proces) yang independen karena
sifatnya full authority;
2. Secara substansi yang diatur
Dari
segi substansi, PKPU ini bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya
yaitu Undang-Undang tentang Pemilu. Dengan
demikian, apakah aturan ini mempunyai kekuatan hukum mengikat? Kedudukan hukum mengenai
syarat seorang warga
negara dapat menjadi caleg telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam Pasal 240 Ayat 1 huruf g dinyatakan bahwa “bakal calon DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga
Negara Indonesia yang
harus memenuhi syarat
tidak pernah dipidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana
yang diancam dengan
pidana penjara lima
tahun atau lebih,
kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana”.
Ada dua makna dari pasal tersebut. Pertama,
seorang mantan koruptor masih
dapat menjadi caleg
sepanjang tidak pernah
dijatuhi pidana penjara lima tahun atau lebih dan bukan sedang
dicabut hak pilihnya
oleh putusan pengadilan. Kedua, seorang mantan koruptor
tetap dapat mencalonkan diri di pemilu
legislatif sepanjang mau mengakui secara terbuka dan jujur di
depan publik bahwa ia adalah seorang mantan terpidana korupsi.
Konstitusi (MK) sebagai
lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
telah memberikan pendapat hukum melalui
putusannya mengenai aturan terhadap mantan narapidana korupsi yang
mendaftarkan diri sebagai calon legislator, tertuang dalam Putusan No. 4/PUU- VII/2009. Putusan
ini sebagai jawaban
atas judicial review terhadap Undang-Undang tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota, yang
membatalkan Pasal 12 huruf g dan Pasal
50 Ayat 1 huruf g UU No. 10 Tahun 2008 dan Pasal
58 huruf f UU No. 12 Tahun
2008 karena bertentangan
dengan UUD.
Ketiga pasal tersebut mengatur bahwa mantan narapidana korupsi tidak boleh mencalonkan diri sebagai Caleg. Pertimbangan hukum yang diberikan oleh MK adalah pasal-pasal
tersebut telah berbuat tidak adil, telah mendiskriminasikan antara warga
negara, serta tidak memberikan kedudukan hukum yang sama dalam pemerintahan.
Olehnya dari segi substansi berdasarkan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, harus diakui bahwa PKPU ini tidak sesuai dengan asas kesesuaian
antara hierarki, jenis, materi dan muatan.
Karena bertentangan dengan
peraturan yang ada di atasnya,
yaitu UU No. 17 Tahun 2017
tentang Pemilu dan
Putusan Mahkamah Konstitusi, maka PKPU ini dapat
dikatakan batal demi
hukum, dengan konsekuensi tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat kepada
siapapun. Perihal PKPU ini dinilai bertentangan dengan asas hukum lex superior derogate legi inferior (hukum
yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah/hukum yang
di bawah tidak
boleh bertentangan denga
hukum yang lebih
tinggi).
PKPU Nomor 20 Tahun 2018
merupakan alat untuk
kembali mengajak pikiran kritis
masyarakat, dan sekaligus
sebagai reflektif demokrasi bangsa yang menjawabi kerinduan kritikan masyarakat
selama ini terhadap lembaga Legislatif. Sebab, bila kita melihat kembali alasan
yang melatarbelakangi sikap
ngotot nya publik untuk mempertahankan PKPU anti
narapidana korupsi itu, sebenarnya mau menegaskan beberapa
pandangan publik:
1. Bahwa
partai politik yang
mempersoalkan pemberlakuan PKPU
sesungguhnya tidak punya iktikad dan integritas partai
yang baik untuk
masyarakat ke depan.
Partai politik semestinya senang karena partai
dilindungi dengan adanya ketentuan ini. Maka partai harus lihat ketentuan ini sebagai hal positif untuk memperbaiki kualitas
rekrutmen Caleg dan Pemilu
2019. Partai politik seharusnya menjadi
subyek hukum yang di batasi
merekrut mantan napi korupsi menjadi caleg.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik memerintahkan rekrutmen Caleg berdasarkan kaderisasi yang dilakukan secara
demokratis. Penerjemahan demokrasi ini yang kemudian diterjemahkan oleh
KPU dengan mensikronisasikan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Tujuan pengaturan pemilu salah satunya mewujudkan
penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dan berintegritas dengan menerjemahkan syarat pengusungan Caleg
oleh partai dengan
tidak boleh merekrut seorang narapidana korupsi. Apabila pemerintah dan DPR berkomitmen saja
dan diikuti oleh partai politik pasti tidak sulit mencari dasar hukum;
Jumlah Caleg mantan korupsi menuju
pemilu 2019.
Malang dengan 22 orang
tersangka di tingkat
penyidikan KPK. Jumlah
itu merupakan bagian dari total 41 anggota
DPRD Malang yang telah menjadi
tersangka;
2.
Bahwa PKPU larangan mantan narapidana korupsi untuk menjadi Caleg merupakan
instrument untuk menjawab kebutuhan demokrasi hari ini, dan bisa
mencegah peristiwa yang sedang saat sekarang. Pasalnya belajar dari pengalaman
sebelum-sebelumnya ada banyak DPR/DPRD dan calon kepala daerah yang terpilih
menjadi tahanan KPK.
Olehnya saya merekomendasikan beberapa hal
sebagai saran, yaitu:
1. Bahwa faktanya PKPU sudah diputuskan oleh MA, dan putusannya adalah terkait narapidana. Permohonan pemohon dikabulkan menjadi
kembali dalam ketentuan Undang-Undang. Namun sampai sejauh ini (Sabtu,
15/9/2018) belum ada pemberitahuan resmi dari MA kepada KPU sebagai
Pihak tergugat/termohon Judicial Review
tersebut. Olehnya berdasarkan Pasal 8 Ayat (2)
PERMA No. 01 Tahun 2011
Tentang Hak Uji Materil “dalam hal 90 (Sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan
tidak melaksanakan kewajiban, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum”, maka KPU masih mempunyai kewenangan untuk
tetap menggunakan PKPU (selama 90 hari setelah putusan itu dikirim ke KPU) dan mengabaikan putusan
MA tersebut sampai
waktu penetapan calon
legislatif (20 September 2018);
2. Bahwa situasi publik yang memandang negatif dan menyoalkan keputusan MA harus menjadi
catatan penting bagi pemerintahan ke depannya terkhusus legislatif. Perlu ada
pertimbangan untuk melakukan perubahan terhadap UU No. 2 Tahun 2011
Tentang Partai Politik
jo UU No. 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum pada pasal
persyaratan bakal calon
legislatif. Perlu ada komitmen dan iktikad baik dari pemerintah dan DPR untuk memandang kehendak
publik sebagai dasar pertimbangan;
tetap komitmen agar
kemudian tidak memilih
calon-calon legislatif yang
memiliki track record korupsi atau
narapidana kasus lainnya. Lebih dari 145 orang anggota DPRD di seluruh
Indonesia yang tersebar
di 13 provinsi yang diproses
dalam kasus korupsi. Totalnya
kalau ditambah antara
DPRD dan DPR lebih dari 220 orang yang sudah diproses. Oleh karenanya dalam konteks pencegahan dan perwujudan politik
yang bersih, dalam pemilu
legislatif ke depan aspek latar
belakang dari caleg
itu diperhatikan dan akan
lebih baik jika orang-orang yang pernah terlibat
kasus korupsi kemudian
tidak dipilih oleh masyarakat.
Mari menjaga
dan merawat demokrasi bangsa ini. Bangsa
yang besar dan kaya raya
seperti Indonesia tidak akan
bisa berkembang bila karakter pejabat nya masih terbelit dengan perilaku
korupsi. Semoga tahun politik
2019 menjadi konstalasi yang sehat dan berperikemanusiaan bagi
bangsa dan negara.
*Penulis adalah Wakil Sekjend 3 Pengurus Pusat PMKRI St. Thomas Aquinas Periode 2018/2020.