Mentalitas Koruptor

Ket. Marz Wera 

Oleh: Marz Wera*

Korupsi di negeri
ini seperti tradisi tahunan yang telah beranak pinak. 
Meskipun sudah
tertangkap tangan dengan bukti yang kuat, koruptor masih juga bicara soal
agama. Padahal kejahatan apapun itu tidak mengenal agama. Tapi soal gangguan
mental dan hasrat ingin mendapat lebih. Fenomena ini juga semakin hari, semakin
mengakar dan merusak nilai etis berbangsa. 

Makanya Lasswell
tidak salah bahwa politik tidak lain adalah siapa mendapatkan apa, kapan dan
bagaimana.
Sehingga jangan kaget dengan kasus korupsi yang melibatkan 38 anggota
DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019
yang diduga menerima suap terkait fungsi dan kewenangan sebagai anggota dewan di periode tersebut. Sementara kasus lainnya terkait seluruh anggota DPRD Jambi, yang diduga mendapatkan uang “ketok palu” terkait pengesahan
RAPBD Jambi 2018.
Kemudian sebanyak 41 dari total 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019
ditetapkan sebagai tersangka korupsi
, setelah Komisi
Pemberantasan Korupsi mengumumkan 22 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka
kasus dugaan suap pembahasan APBN-P Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015.
Hingga mantan Menteri Sosial, Idrus Marham yang banyak disinyalir akan
melibatkan beberapa kawan yang ikut didalamnya.
Belum lagi dengan kepala daerah yang juga masuk dalam kasus yang sama. Hingga saat ini,
terdapat 98 kepala daerah yang sudah diproses oleh KPK dalam 109 perkara
korupsi dan pencucian uang
.
Maraknya Operasi
Tangkap Tangan (selanjutnya OTT) oleh KPK terhadap para koruptor hari-hari ini,
paling tidak menunjukkan dua pola korupsi di Indonesia (Yayasan Bumiksara dalam
workshop bersama KWI 2014).
Pertama, pola Octopus atau gurita. Pola ini indentik
dengan peran subjektivitas ketokohan seseorang. Punya sistem dan jaringan, tapi
bermain terarah dengan jelas organisasinya, dari atas ke bawah. Banyaknya uang
yang diterima, tergantung pada peran oknum.
Pola ini masih bisa
dilacak keberadaannya. Pola menjalarnya dengan terarah dan jelas. Gampang
dilacak apabila pemeran utama sudah ketahuan. Gurita itu hewan yang tak
bertulang, sama halnya dengan lidah para koruptor yang tak bertulang. Sehingga
gampang untuk berbohong. Saksikan saja lidah para koruptor gampang sekali
mengumbar bahasa religius untuk membela diri. Sudah ketahuan berbuat jahat tapi
masih bicara soal Tuhan.
Gurita memiliki
tubuh yang sangat fleksibel. Memungkinkan ia untuk cerdik menyelipkan tubuhnya
disetiap celah bebatuan. Mirip dengan para badut politik dan baron bisnis yang
sangat fleksibel seperti gurita untuk menyelip kemana-mana. Birokrasi dengan
gampangnya dikendalikan.
Menurut berbagai
penelitian diyakini bahwa masih bisa dicegah dan gampang dilacak. Karena
bermain lurus, tidak acak. Maka kita patut mengapresiasi KPK sekaligus
mendorongnya agar jaringan lengan gurita yang dimainkan para koruptor bisa
tuntas.
Pola ini biasanya
tampak dalam dinasti politik. Contoh mantan Gubernur Banten Ratu Atut dan
keterlibatan beberapa keluarganya, begitu juga dengan bupati Karawang bersama
istri, di Klaten juga terjadi hal yang sama, dan modus baru di tubuh
kementerian perhubungan.
Kedua, pola Metastatic Kanker. Dalam pola ini, lebih
menekankan pada peran dan pembentukan sistem, penciptaan jaringan, dengan
logika acak. Semua yang terlibat dalam sistem mendapatkan uang secara seimbang.
Ketokohan tidak begitu menentukan.
Pola korupsi ini
menjalar dengan sangat hati-hati dan menelisik ke elemen-elemen terdalam. Pelan
tapi pasti. Karena bermain dengan sistem yang rapi. Semua yang terlibat sangat
cerdas menyelip dengan cara yang tak biasa. Bermain pelan tapi dengan logika
acak.
Seperti Metastatic Kanker yang menyebar ke semua
organ tubuh hingga pembulu darah sekalipun. Pola ini biasanya dibentengi oleh
kekuatan kapitalis yang lebih mencari keuntungan kelompok. Kumpulan para  pemodal bermain mengendalikan kekuasaan
politik dari belakang layar. Mirip-miriplah dengan sutradara. Mereka tampil
dibalik kesuksesan orang lain. Hanya saja sutradara bertindak untuk kebaikan.
Sedangkan para pemodal bertindak untuk merusak.
Pola ini sudah
beranak pinak. Susah untuk dicegah, karena semua yang masuk dalam kelompok ini
piawai bersembunyi dibalik aturan hukum. Sudah di desentralisasi. Kelompok ini
menempatkan uang sebagai basis kebutuhan dasar untuk kekuasaan berikutnya.
Pola ini tampak
dalam kasus e-KTP, pengadaan alat kesehatan, Hambalang, papa minta saham, impor
daging sapi dan pengadaan Kitab Suci
, yant terbaru korupsi
berjemaah anggota DPRD Sumut dan kota Malang.
Problem Mental Pejabat Publik Kita
Korupsi
menyempurnakan kerusakan moralitas publik. Korupsi sekarang didesentralisasi
dari pusat hingga daerah. Struktur otak dan watak politik yang dibangun selalu
berorientasi pada jual beli kepentingan. 
Dari deretan kasus korupsi di berbagai bidang hari-hari ini, paling
tidak menandai t
iga problem mentalitas dari kebanyakan pejabat
publik di
Indonesia.
Pertama, mentalitas
pengemis. Orang melakukan profesi ini dengan alasan ekonomi. Bila kita
mencermati keseharian mereka, banyak yang bukan murni alasan ekonomi, atau yang
benar-benar miskin. Tapi dimanfaatkan, dipekerjakan oleh orang lain, dan yang
sering jadi korban adalah anak-anak.
Hal ini menuai
reaksi publik bahwa pemerintah tidak mampu mengatasi kemiskinan. Padahal semua
itu perlu peran serta dari rakyat untuk bekerjasama. Semua berharap dan menaruh
harapan hanya pada pemerintah. Seolah urusan bangsa ini urusan pemerintah.
Hanya dengan hidup berharap akhirnya mentalitasnya terbentuk untuk selalu
menempuh jalan pintas atas apa yang mereka inginkan. Maka dengan kepiawaian
berakting mereka merekayasa diri bak para artis dalam dunia film. Tentunya ini
untuk menyentuh hati siapapun agar memberikan sedekah.
Tataran pejabat
publik pun sama. Hanya cara mengemisnya berbeda dan latar belakang mereka mau mengemis
pun berbeda. latar belakang pengemis dikalangan pejabat adalah hasrat untuk
mendapatkan lebih dari yang sudah ada. Mental 
yang dibentuk untuk terus mengejar sesuatu, yang mereka sudah punya
tetapi selalu merasa kekurangan. Bila pengemis jalanan tampak kotor, maka
pejabat yang selalu tampak necis, berjas dan tampil dengan komunikasi yang
multitafsir.
Gaya berakting
pejabat publik lebih cerdik. Mereka lebih piawai dalam mengemis. Strateginya
canggih dan sistematis, sekalipun akan ketahuan. Penuh intrik dan berada di
tempat-tempat mewah. Levelnya nasional dan lintas negara. Mereka mengemis
dengan aturan yang jelas mulai dari UU sampai Raperda, sehingga semakin
sempurna kerusakan moral berbangsa. Lebih prihatinnya lagi, agama jadi tameng
imoralitasnya.
Kedua, mentalitas
perampok sosial. Mereka merampok dengan strategi yang cerdik dan jeli. Bermain
dengan santai, tapi pasti merusak. Bila perampok beraksinya kebanyakan malam
hari, kadang juga siang (tergantung situasi), 
maka perampok dikalangan pejabat siap untuk beraksi kapan saja. Karena
mereka adalah perampok berpendidikan. Mereka merampok dengan aturan. Merampok
dengan modal wewenang yang dipercayakan. Legalitas yang dipegang memperkuat
legalitas mereka untuk merampok.
Ketiga, mentalitas
maunya dilayani. Para pejabat kita maunya dilayani. Mereka tidak memahami tugas
dan wewenang yang diberikan. Dengan segala fasilitas publik yang diberikan,
justru dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan kelompoknya. Padahal hakekat
kepemimpinan publik adalah mengemban tugas pelayanan. Dengan watak dilayani
maka mereka dengan muda untuk disuap olek kepentingan orang lain khususnya kaum
oligarki.
Keutamaan publik
diabaikan. Mereka hanya mau melayani kelompok dan golongannya karena ada
kalkulasi untung rugi. Dengan maraknya korupsi belakang, menunjukkan pejabat
kita hanya mau melayani para pemodal. Berorientasi pada uang. Sesuai dengan
agenda yang dititipkan. Setiap aksi kepemiminan selalu ada agenda terselubung.
Pola interaksi hanya pada tataran elit. Rakyat akhirnya jadi korban dari
dominasi hasrat yang selalu ingin mendapat lebih.
Pemahaman politik yang paling sederhana adalah seni mengatur kepentingan umum.
Hari-hari ini, kepentingan umum diabaikan. Yang tampak hanya pertarungan
kekuatan dan kepentingan.
Dalam konteks ini,
menyiratkan pentingnya etika politik (Haryatmoko, 2014).
Masalah etika
politik tidak hanya terbatas pada moralitas individu, melainkan juga ada
keterkaitan dengan etika sosial. Harus melekat pada dimensi-dimensi tatanan sosial
sebagai tindakan kolektif. Melalui nilai-nilai, hidup beragama, rasa
solidaritas sosial, serta kebebasan individu.
Etika beranjak dari
moralitas subyektif. Sedangkan dalam ruang publik perlu sistem dan ruang atau
struktur sosial yang rapi dan transparan dalam mengkondisikan kebebasan
individu dimana struktur sosial tersebut sebagai ruang gerak bersama dalam
mempraktekkan etika politik.
Kita menganut paham
demokrasi. Namun komitmen demokrasi belum terlihat dalam proses demokratisasi.
Salah satu prasyarat yang harus tampak adalah masalah etika berpolitik. Maka
perlu sebuah pranata untuk menata hidup bersama sebagai bangsa. Pranata bersama
itu lahir melalui proses dialektika antara aktor-aktor politik,
struktur-struktur pemaknaan sosial, dan ruang gerak bersama yang lebih
egaliter.
Dalam etika
politik, ada upaya untuk mengakomodasi etika politik dengan tiga dimensi guna
mewujudkan etika politik.
Pertama, tindakan
individu. Dasar pembentukan karakter, watak politik serta struktur otak untuk
merangsang pemikirannya mengenai kepentingan mana yang harus diperjuangkan.
Mulai dari keluarga, lingkungan pergaulan, organisasi yang disinggahi, dan yang
paling berperan penting adalah lingkungan pendidikan.
Kedua, tindakan
kolektif. Menurut Haryatmoko, tindakan kolektif identik dengan etika sosial.
Hal ini karena seseorang sudah berada di ruang publik. Ruang dimana ada
pertarungan ide dan gagasan mengenai pranata sosial, sebelum mencapai
kesepakatan bersama. Maka diperlukan nilai, agama, serta kesetaraan agar bisa menyentuh
hati nurani bersama, sehingga dalam tindakan bersama, sekalipun kompromi, tetap
bernilai untuk dijadikan landasan kebijakan publik.
Ketiga,
struktur-struktur pranata sosial-politik. Ini untuk mewujudkan ruang gerak
bersama, upaya untuk mengkondisikan perbedaan-perbedaan. Ada semacam instrumen
yang dipatuhi bersama. Salah satunya transparansi yang digagas oleh beberapa k
epala daerah saat ini.
Seperti apa
yang  dicontohkan oleh Ahok di DKI, ibu
Tri Rismaharini di Surabaya, Nurdin Abdullah dari Bantaeng, ada Yoyok Riyo
Sudibyo di Batang, di Bandung ada kang Emil, dan masih banyak tokoh-tokoh
panutan lainnya. Mereka selalu berupaya menciptakan kesepakatan yang bernilai
karena beranjak dari individu menuju kolektifitas dalam mengambil kebijakan.
Dengan diterapkannya
tiga dimensi etika diatas maka dalam istilah Paul Ricouer, ‘’perlunya membangun
sebuah institusi sosial yang adil.’’ Dengan itu, keutamaan publik jadi basis
perjuangan politik bermartabat dan politik bermartabat mengutamakan keutamaan
publik.

*Penulis adalah anggota Lembaga Pers dan Publikasi Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas periode 2018-2020.

Exit mobile version