Jakarta, Verbivora.com – Mahasiswa
adalah api yang berkobar-kobar. Api itu adalah esensi kemahasiswaan yang
membakar. Ia bisa mengisi ruang, menghancurkan apapun termasuk melelehkan besi.
Semangat yang berkobar-kobar itu adalah ‘kemewahan terakhir’ yang dimiliki oleh
mahasiswa di hadapan luasnya kenyataan hidup.
Pater
Joop Beek SJ (1917-1983) yang menjadi pastor moderator Pengurus Pusat
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) pada tahun 1952, memandang mahasiswa pada umumnya sebagai kobaran api yang bernyala-nyala. Dalam
sambutannya sebagai pastor moderator pada Kongres PMKRI tahun
1952 di Surabaya, Pater Beek menulis:
“Bukan
maksud saja mengobarkan semangat jang terdapat dalam hati Congressisten, tetapi
djiwa para mahasiswa tjukup diberi api sedikit sadja, karena api jang sedikit
itu akan dinjatakan oleh progressiviteit pemuda, maka dengan sendirinja akan
menjala-berkobar mendjadi api semangat untuk Geredja dan Tanah Air” (Pater J.
Beek SJ, Kewadjiban Akademikus Katholik dalam Masjarakat Indonesia).
Imam
Jesuit asal negeri Belanda melihat mahasiswa bukan sebagai sebuah bejana yang
siap diisi, melainkan sebagai ‘api’ yang siap dikobarkan. Pikiran kritis
mahasiswa dengan demikian bersifat aktif yang membakar, bukan pasif menunggu
diisi. Dalam konteks PMKRI, api tersebut mesti dinyalakan dan dikobarkan demi gereja dan tanah air sebagaimana semboyan misioner PMKRI: Pro Ecclesia et
Patria!
Pada
konteks tahun 50an tantangan utama gereja (dan tentu saja mahasiswa Katolik)
adalah gerakan komunisme internasional. Di Indonesia sendiri komunisme bahkan
sudah menjadi salah satu kekuatan politik yang penting dan menentukan terutama
yang menubuh dalam Partai Komunis Indonesia.
Menurut
Pater Beek, gerakan komunis tersebut tidak saja mengancam eksistensi umat dan
Gereja Katolik Indonesia, tetapi juga secara umum merusak martabat manusia.
Menurutnya, komunisme adalah ancaman serius bagi Gereja Katolik karena sifatnya
yang anti-Tuhan dan dengan sendirinya bertentangan dengan prinsip-prinsip
kemanusiaan pada umumnya.
“Keadaan
dunia pada saat sekarang selalu diperuntjing menudju ke pertentangan terachir
antara Komunisme jang international dan Geredja Kristus jang supranasional.
Atheisme jang merusak segala-galanja, menghendaki semua-muanja merosotkan deradjat
manusia melawan Katholicisme jang mentjintai segala hal jang baik dan
mendjunjung deradjat manusia.”
Kekhawatiran
Pater Beek pada waktu itu bisa dipahami mengingat beliau adalah seorang imam
Katolik dan Gereja Katolik sendiri secara eksplisit mengkhawatirkan
perkembangan gerakan komunisme internasional karena pada gilirannya menjadi
ancaman serius bagi eksistensi Gereja. Itu makanya, Pater Beek, dalam
sambutannya pada kongres PMKRI tahun 1952, secara tegas menyatakan komunisme
sebagai musuh mahasiswa Katolik, musuh PMKRI.
Dalam
perkembangannya, dalam kurun waktu yang relatif singkat (1965-1966),
kelompok-kelompok Katolik bekerjasama dengan kelompok-kelompok Islam
mengganyang PKI (Mujiburrahman, Feeling Threatened. Muslim-Christian
Relations in Indonesia’s New Order. Leiden: Amsterdam University Press:
2006. Hal. 21-27).
Saat
ini Pater Beek sudah meninggal dan komunisme sendiri sudah dilarang oleh
pemerintah Orde Baru melalui TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 dan segala hal yang
berbau komunis termasuk gerakan politik dibabat habis oleh rezim Suharto. Kita
tak perlu khawatir lagi akan bahaya komunis yang menubuh dalam PKI.
Belakangan
isu kebangkitan PKI coba dihembuskan terutama oleh bekas Panglima TNI Jenderal
(purn) Gatot Nurmantyo, kita tetap tak perlu khawatir. Ingat, orang Katolik itu
takut akan Tuhan sebab ada tertulis: “Takut akan Tuhan adalah permulaan
pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan” (Amsal 1: 7; bdk.
Kisah Para Rasul 9: 31). Kita tak perlu takut akan hantu belau yang hanya jadi
isu politik tahunan jelang akhir September.
PMKRI
Sebagai Benteng Pertahanan Gereja Katolik
Kita
jelas tak perlu khawatir akan hantu komunisme yang coba dibangkitkan, tetapi
jelas hal itu bukan alasan bagi kader PMKRI untuk berhenti melatih diri dan
menggalang budi. Bagi Pater Beek, setiap kader PMKRI hendaknya bersiap siaga
untuk membaca dan mengantisipasi tanda-tanda zaman. Waspada adalah suatu sikap
batin yang hendaknya dimiliki setiap kader PMKRI karena hanya mereka yang
berjaga-jaga yang akan mampu mengantisipasi setiap ancaman yang datang.
Menurut
Pater Beek kader PMKRI adalah pasukan penggempur (stoottroepen) yang
menjadi benteng pertahanan yang kokoh bagi Gereja Katolik. Sudah barang tentu
pasukan penggempur yang dimaksudkan Pater Beek pada waktu lampau berbeda
konteksnya dengan zaman ini, zaman yang tantangan dan ancamannya berbeda pula.
Meskipun demikian, esensinya tetap sama: menjadi bhayangkara gereja dan nusa
yang mengejar kebenaran dengan jujur serta berbudi.
Walaupun
berbeda konteks dan berbeda pula ancaman dan tantangannya, setiap kader PMKRI
harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya karena apapun tantangan dan
ancaman hanya akan dapat dihadapi oleh kesiapan diri yang mantap.
Sejarah
mencatat tahun ’65-‘66 ketika terjadi gonjang-ganjing sosial-politik,
kader-kader PMKRI tampil di garda terdepan dan menjadi pemimpin serta dinamisator
gerakan. Pada Reformasi 98, kader PMKRI ada di mana? Sekarang, setelah kita
hidup dalam alam demokratis pasca Soeharto, kader-kader PMKRI ada di mana?
Tentu saja ini jadi refleksi kita bersama dan bersama-sama kita cari jawabnya.
Saya
kira refleksi Pater Beek 69 tahun lalu dapat membantu kita melangkah. Menurut
Pater Beek, tugas mahasiswa Katolik itu adalah, pertama-tama, “turut serta
dalam kantjah peperangan, turut serta dengan segenap tenaganja. Bukan sikap
jang menunggu, melainkan taktik membina.” Mahasiswa Katolik mesti memiliki
inisiatif untuk memulai, bukan pasif menunggu. Partisipasi yang diharapkan
tersebut bersifat aktif: hadir untuk menggarami dengan ide cemerlang bukan
seperti gerobak yang kalau tak ditarik/didorong hanya diam di tempat. PMKRI
sudah pasti bukan penganut filosofi gerobak, bukan?
Filosofi
garam tersebut tentu saja mendapat inspirasi dari Yesus Kristus sendiri yang
menghendaki setiap murid-Nya menjadi garam dan terang dunia (Matius 5: 13-16).
Pater Beek menasehati agar setiap mahasiswa Katolik tidak takut dan minder
hanya karena jumlahnya yang kecil, akan tetapi dengan jumlah yang kecil harus
bisa memberi rasa dan warna pada kehidupan. “Lenjapkan segala rasa kurang diri
disebabkan djumlah kita jang ketjil ini! Kita harus dapat menguasai
tempat-tempat jang penting.”
Setiap
kader PMKRI mesti merebut dan mengisi ruang-ruang publik dengan wacana-wacana
yang berbobot. Saat ini kita hidup dalam dunia yang terbuka terhadap
pertarungan wacana dan gagasan. Barang siapa yang dapat merebut dan mengisi
ruang publik, dialah yang menjadi pemenang sementara yang lain hanya mengekor
padanya. Untuk itu Pater Beek berpesan: “…jang penting bagi kita aktif turut
serta, dan suara kita harus didengar di manapun djuga sebagai suara yang
memanggil jang penuh dengan arti bagi ummat manusia.”
Supaya
suara-suara mahasiswa Katolik didengar dan supaya dapat berpartisipasi dalam
setiap peristiwa penting di masyarakat, maka kader PMKRI harus menjadi
sungguh-sungguh terpelajar dengan mengenyam pendidikan yang bermutu agar mampu
memahami dunia dengan suatu perspektif ilmiah yang kokoh. Dengan menjadi
terpelajar, menurut Pater Beek, kita tidak saja bernilai bagi diri kita sendiri
karena pengetahuan yang kita miliki, tetapi juga berguna bagi masyarakat luas
dan gereja secara khusus. Saya teringat kata-kata seorang senior sepuh kepada
saya dalam sebuah percakapan beberapa tahun silam: “Christ has no hands, but
yours.”
Pada
prinsipnya, Pater Beek menghendaki agar mahasiswa Katolik menjadi intelektual
yang membawa manfaat bagi bangsa dan negara bukan intelektual kutu buku yang
hanya berguna bagi dirinya sendiri. “Bukan hanja beladjar untuk udjian, bukan
beladjar hanja untuk mentjapai gelar, tetapi suatu pengetahuan jang
sungguh-sungguh sehat dan kokoh.” Non scholae sed vitae discimus!
Selain
belajar pengetahuan umum, setiap mahasiswa Katolik juga dianjurkan untuk
memantapkan pengetahuan agama sebagai bekal untuk menjadi orang Katolik yang
teguh. Menurut Pater Beek, pengetahuan dan pendidikan agama penting bagi
bangunan rohani mahasiswa Katolik. Pengetahuan yang baik akan agama Katolik di
bawah bimbingan seorang pembimbing rohani yang handal akan menghasilkan kader
Katolik yang tangguh di lapangan sosial-politik dengan landasan pengetahuan
yang kokoh dan identitas sebagai orang Katolik yang mantap.
Sekali
lagi, tantangan kita saat ini sudah jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh
Pater Beek dan para pendahulu kita. Tetapi api yang sudah menyala harus tetap
dijaga agar tidak padam untuk menjadi suluh di tengah situasi yang rumit dan
rada temaram ini. *(AR)
Oleh: Rinto Namang (Aktivis PMKRI)
Pater Joop Beek SJ/wp.com. |