Melihat begitu besarnya Kontribusi Pers dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak jaman perjuangan kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan saat ini, sudah menjadi kewajiban negara untuk terus menjamin perlindungan kebebasan Pers. Mengingat pers sebagai salah satu pilar demokrasi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Pers menjadi alat perjuangan para tokoh pergerakan seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, mereka menuangkan pikiran-pikiran kritisnya terhadap kolonialisme Belanda di berbagai surat kabar sambil siap menghadapi ancaman. Ada juga yang mendirikan surat kabar pribumi seperti Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, yang mendirikan Surat Kabar Medan Prijaji sebagai surat kabar pertama pribumi yang memuat kecaman-kecaman pedas kepada Belanda pada masa itu sehingga Tirto ditangkap dan dibuang ke pulau Bacan(Provinsi Maluku Utara saat ini)
Setelah Indonesia merdeka dunia Pers juga terus mengalami catatan kelam dalam perjalanannya, terutama saat rezim orde baru berkuasa, dimana banyak media massa yang dibredel seperti majalah Tempo, Harian Sinar Harapan lantaran memprotes kebijakan pemerintah dan juga tidak sedikit wartawan yang mengalami teror dan intimidasi. Majalah Tempo dibredel karena terbitan tanggal 7 Juni 1994 memuat korupsi pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman timur seharga USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 miliar. Sepekan sebelumnya Tempo mengungkap pelipatgandaan harga kapal bekas sebesar 62 kali lipat.(okezone.com)
Tentu cerita majalah Tempo ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kisah media yang dibredel pada masa itu serta menunjukkan bagaimana kekuasaan cenderung melakukan praktek-praktek diluar ketentuan hukum yang berlaku yang hanya dapat diungkap melalui aktivitas Pers yang bebas, independen, dan dilindungi. Untuk menjamin kebebasan dan perlindungan Pers maka sejak jatuhnya Soeharto dengan rezim otoriternya, Indonesia memasuki era reformasi dengan mengamandemen berbagai Undang-Undang agar lebih demokratis. Kebebasan dan Perlindungan Pers ditetapkan dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999.
Hari ini Kebebasan Pers memang dirasakan ada dari sisi kiprah media masa yang kian eksis, kita tidak lagi mendengar adanya pembredelan media oleh pemerintah, namun intervensi kekuasaan terhadap aktivitas Pers justru beralih ke bentuk lain yakni kekerasan terhadap wartawan, bahkan dari data LBH Pers ditengah Pandemi Covid-19 ini jumlah kekerasan terhadap wartawan di tahun 2020 justru terbanyak pasca reformasi. Tentu ini sebuah Ironi bernegara yang mengklaim diri dengan label demokrasi.
Data Lembaga Bantuan Hukum Pers yang dirilis pada tanggal 12/1/2021 menunjukkan pada tahun 2020 kasus kekerasan terhadap wartawan sebanyak 117 kasus atau naik 32 persen dari tahun 2019 sebesar 79 kasus. Sumber data laporan LBH Pers berasal dari pengaduan langsung, monitoring pemberitaan hingga konfirmasi korban. LBH Pers merincikan dari 117 kasus, 76 kasus kekerasan dilakukan polisi, 2 kasus dilakukan TNI, 5 kasus oleh warga atau masa, 4 kasus dilakukan pengusaha, dan 12 kasus belum teridentifikasi pelakunya. LBH Pers juga mengungkap bentuk kekerasan mulai dari intimidasi/kekerasan verbal sebanyak 51 kasus, penganiayaan 24 kasus, perampasan atau pengrusakan 23 kasus.
Melihat potret dunia jurnalistik kita hari ini seolah mau menunjukkan bahwa, negara mengabaikan catatan sejarah dan turut berkontribusi dalam menghadirka aparat keamanan yang minus respect terhadap insan Pers, padahal disaat yang sama Polisi dan TNI lupa bahwa wartawan itu bekerja secara mandiri tanpa mengharapkan uang dari rakyat sedangkan Polisi dan TNI hidupnya hampir 100 persen dibiayai oleh negara(uang rakyat). Tentu bukan untuk membuat dikotomi antara wartawan dan aparat keamanan dari sisi ini, namun setidaknya aspek ini turut memberikan efek moral.
Berkaca dari data LBH Pers yang menunjukkan angka kekerasan terhadap wartawan, justru angka tertinggi dilakukan oleh aparat Polisi, maka jelas ini menjadi catatan penting yang perlu ditelaah dengan kritis agar perlindungan kebebasan pers tidak hanya tegak dalam tataran regulasi namun perlu menyentuh semua aspek di lapangan praktis dalam implementasinya. Oleh karena itu perlu dipertanyakan mengapa Polisi yang semestinya bertugas mengamankan justru menganiaya wartawan?. Mengapa polisi belum memahami tugas jurnalis.? Pola punishment seperti apa yang dapat memberikan efek jera bagi pelaku(Polisi) kekerasan terhadap wartawan?
Sebagaimana diketahui perekrutan anggota polisi dengan kualifikasi pendidikan maksimal SLTA dan rata-rata usia antara 18-21 tahun dengan lama pendidikan tidak lebih dari enam bulan tentu membutuhkan evaluasi serius agar tidak berkontribusi dalam menghasilkan polisi yang cenderung melakukan sikap kekerasan terhadap insan pers, sebab mereka inilah yang biasanya ditempatkan di tempat demonstrasi atau konflik antar warga sipil dengan tujuan pengamanan, namun sering malah bertindak sebaliknya. Oleh karena itu yang ingin penulis soroti dalam catatan ini, soal bagaimana pengamanan masa demonstrasi, dimana ketika Polisi melakukan tindakan diluar protab dan hendak diliput jurnalis, justru saat itu jurnalis akan berhadapan dengan aksi kekerasan dari polisi bahkan sampai pada perampasan dan perusakan fasilitas jurnalis seperti camera, Handphone dan sebagainya.
Tindakan kekerasan terhadap wartawan jelas dapat diasumsikan bahwa pelaku tidak memahami legitimasi hukum yang menjamin kebebasan wartawan dalam melaksana aktivitas jurnalistiknya, termasuk peliputan di lapangan sehingga menjadi ironis ketika negara mengakui pers sebagai salah satu pilar demokrasi selain lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif namun disaat yang sama justru pilar demokrasi itu direpresi melalui instrumen negara(Polisi). Pada titik ini dapat dikatakan bahwa internalisasi pers sebagai pilar demokrasi belum dipandang serius oleh polisi dan pemerintah sehingga tidak ada kesetaraan dalam perlindungannya seperti hak imunitas yang hanya diatur secara khusus bagi pilar demokrasi yang lain yakni DPR (Legislatif) dan Presiden(Eksekutif).
Keleluasaan polisi dalam melakukan kekerasan terhadap wartawan juga tidak terlepas dari bagaimana sanksi hukum yang dijatuhkan pada pelaku, mayoritas masih menggunakan sanksi pelanggaran kode etik kepolisian meskipun kekerasan yang dialami oleh wartawan berpotensi melanggar hukum pidana. Hal ini menunjukkan bahwa kacamata hukum Polisi terhadap kekerasan yang dialami wartawan hanya memandang sepihak pada institusinya sendiri bahwa tindakan tersebut mencederai wibawa institusi kepolisian bukan mencederai wibawa demokrasi atau bahkan yang lebih tinggi martabat manusia itu sendiri.
Dalam peringatan Hari Pers Nasional tahun 2021 pada tanggal 9 Februari yang lalu kita mendengar banyak ucapan selamat dari para pejabat pemerintah, DPR, dan Pejabat kepolisian yang mengatakan Pers adalah salah satu pilar demokrasi. Ini tentu menjadi paradoks dengan realitas hari ini sebagaimana sedikit penulis sampaikan diatas. Semestinya kekerasan terhadap wartawan menjadi cerminan untuk melahirkan diskursus baru dalam menjamin perlindungan kebebasan Pers, agar Marwah Pers sebagai pilar demokrasi dapat diwujudkan dalam tatanan bernegara kita yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi ini.
Momentum Hari Pers Nasional kali ini semestinya menjadi panggung bersama bagi Pemerintah, DPR, dan Polisi untuk melihat realitas secara komprehensif dalam kiprah dunia jurnalistik kita. bagi penulis yang patut diberikan perhatian serius adalah soal kekerasan polisi terhadap wartawan, untuk itu perlu dilakukan beberapa hal yang diharapkan mampu meminimalisir tindakan serupa di waktu yang akan datang. Pertama, Kepolisian sudah saatnya mengevaluasi secara serius silabus pembinaan bagi calon anggotanya agar tidak hanya monoton pada fisik tetapi juga kapasitas intelektual dalam konteks merespon aktivitas Pers. Kepolisian juga sudah harus memikirkan Pola punishment yang bisa memberi efek jera bagi anggota pelaku kekerasan terhadap wartawan. Kedua, Pemerintah jangan sampai mengkooptasi kepolisian dan mereduksinya menjadi alat kekuasaan sehingga polisi kemudian menghalangi aktivitas Pers yang bertentangan dengan kepentingan penguasa. Ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) harus bersifat menjemput bola ketika melihat fenomena seperti ini agar dapat mengawasi kepolisian dan menelaah berbagai regulasi yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman dalam konteks menjamin kemitraan antara Polisi dan Pers dalam melaksanakan aktivitasnya agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Beberapa catatan sederhana ini penulis sajikan berangkat dari keprihatinan akan kurangnya penghormatan kepada jurnalis dari aspek historis, dimana bangsa ini dimerdekakan lewat pergerakan yang awalnya dimulai dari aktivitas jurnalistik yang padat dengan meninggalkan catatan heroisme tokoh-tokoh perjuangan yang layak diteladani hingga kini, bukan diawali dengan latihan fisik dan belajar menembak. Oleh karena itu jaminan pers sebagai salah satu pilar demokrasi hanya dapat dipahami secara utuh oleh setiap elemen bangsa jika aspek historis jurnalisme di Indonesia dapat menjadi kesadaran kolektif sehingga mampu melahirkan suatu konsep pemahaman bahwa menjamin perlindungan kebebasan pers adalah menghormati nilai demokrasi itu sendiri dalam mencapai tujuan hidup bernegara….Semoga
Oleh : John Alfred Mesach
Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia(PP PMKRI) Periode 2020/2022.