Mengenang Tragedi Jebolnya Tanggul Situ Gintung 12 Tahun Silam

Jakarta, Verbivora.com – Bencana tanggul Situ Gintung yang jebol terjadi pada 27 Maret 2009. Meski 12 tahun telah berlalu, kejadian tersebut masih menyisahkan trauma bagi warga sekitar.

Waktu kejadian sekitar pukul 02.00, hujan memang tengah deras-derasnya dan menghancurkan rumah-rumah warga serta merendam areal 10 hektare di sekitar kampung Gintung, Cireundeu, Tangerang, Banten, dilansir dari Tempo.co.

Kejadian tersebut juga menelan korban baik ringan maupun berat, tercatat korban meninggal akibat jebolnya tanggul Situ Gintung sejumlah 99 orang.

Situ Gintung merupakan danau kecil buatan, lokasi danau ini berada di sebelah barat daya Kota Jakarta. Danau seluas 21,4 hektare ini pun dimanfaatkan sebagai tempat wisata.

Penyebab Jebolnya Tanggul Situ Gintung

Kepada media, Menteri Pekerjaan Umum saat itu Djoko Kirmanto, menjelaskan penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung adalah cuaca ekstrim. Pada Kamis, curah hujan di wilayah Ciputat Timur memang cukup tinggi, mencapai 113,22 mm per hari.

“Tanggul itu memang terbuat dari tanah, tidak ada pengerasan batu. Lama-lama tanggul itu erosi, sehingga ketika hujan bertambah deras, tanggul jebol,” ungkapnya (31/3/2009) dilansir dari tirto.id.

Djoko juga menambahkan bahwa Departemen Pekerjaan Umum (PU) telah mengecek ulang kondisi Situ Gintung pada 2008. 

“Hasilnya, tak ditemukan adanya kelainan fisik. Jadi, secara resmi pemerintah menganggap bahwa penyebab utama jebolnya tanggul Situ Gintung adalah faktor alam,” katanya.

Keterangan pemerintah itu lalu mendapat bantahan Sutopo Purwo Nugroho dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 

Menurut Sutopo, pada 5 Desember 2008 sejumlah peneliti BPPT mendapati keganjilan di Situ Gintung. Saat mengadakan pengamatan visual di sana, mereka mendapati retakan dan rembesan di dinding tanggul.

“Ketika itu ada warga yang mengeluh dan meminta dilakukan perbaikan dan penguatan tanggul,” jelas Direktur Bidang Sumber Daya Lahan Kawasan dan Mitigasi Bencana BPPT itu.

BPPT lantas menyampaikan kondisi itu kepada Departemen PU. Tapi, Departemen PU menyatakan tanggul masih layak karena kondisi bagian hilir tempat yang jebol masih bagus. Revitalisasi Situ pun kemudian diarahkan ke bagian hulu.

Temuan BPPT itu masuk akal mengingat konstruksi tanggul Situ Gintung sudah tua usianya. Seturut sejarah, Situ Gintung dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1932 dan selesai pengerjaannya setahun kemudian. 

Berbeda dengan fungsinya sekarang sebagai daerah konservasi dan wisata, awalnya Situ Gintung difungsikan sebagai waduk irigasi.

Karena itulah Budi Harsoyo, dalam “Jebolnya Tanggul Situ Gintung (27 Maret 2009) Bukan Karena Faktor Curah Hujan Ekstrim” yang terbit di Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca (Vol. 11, no. 1, 2010), menengarai pemerintah kolonial dahulu tidak mendesainnya untuk dipakai selama ratusan tahun.

Kondisi mutakhir Situ Gintung sebelum jebol telah banyak berubah. Budi mencatat, saat pertama kali dibangun Situ Gintung memiliki luas sekitar 31 ha dengan kedalaman sekitar 10 meter. Kini luasnya hanya tersisa 21,4 ha dengan kedalaman diperkirakan tinggal 4 meter (hlm. 11).

Di bagian hilir Situ, hanya ada satu saluran pembuangan, yaitu di titik jebolnya tanggul tersebut. Saluran pembuangan itu awalnya selebar 5-7 meter, tetapi saat bencana terjadi saluran tersebut hanya tinggal selebar satu meter (hlm. 15). 

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Pitoyo Subandrio, sebagaimana dikutip kompas.com (28/3/2009), menjelaskan bahwa tanggul Situ Gintung adalah tanggul tanah. Tak pernah ada usaha penurapan sejak awal dibangun hingga sesaat sebelum jebol.

Kondisi-kondisi itulah yang menjadi musabab utama jebolnya tanggul Situ Gintung. Daya dukung Situ Gintung sesaat sebelum jebol sudah tidak memadai lagi dan itu luput dari pantauan Departemen PU.

“Jadi, karena umur tanggul yang sudah dalam ‘kondisi lelah’ inilah yang menyebabkan tanggul tersebut jebol dengan adanya tambahan curah hujan sebesar 113,2 mm/hari,” tulis Budi menyimpulkan.

Curah hujan yang mencapai 113,22 mm per hari sebelum tanggul jebol, menurut Sutopo, memang besar, tapi bukan curah hujan tertinggi di wilayah tersebut. Dalam catatan Sutopo, Ciputat Timur bahkan pernah dua kali diguyur hujan yang lebih deras pada Februari 1996 (180 mm/hari) dan Februari 2007 (275 mm/hari). 

Tetapi, Situ Gintung tetap aman kala itu. Artinya, faktor cuaca memang bukan penyebab tunggal, apalagi utama, jebolnya tanggul Situ Gintung. *(AR)


Exit mobile version