Meneropong Akar Konflik Israel-Palestina Dalam Kacamata Realisme Hubungan Internasional

 Meneropong Akar Konflik Israel-Palestina Dalam Kacamata Realisme Hubungan Internasional

Oleh : Putri Sukmaniara 

(Anggota Muda PMKRI Cabang Jakarta Pusat

Konflik antara Israel-Palestina kembali terjadi pada tahun 2021. Konflik klasik antara kedua entitas politik yang memperebutkan wilayah itu menarik perhatian publik. 

Konflik bermula ketika Inggris berhasil mengalahkan kekaisaran Ottoman yang menguasai wilayah Timur Tengah termasuk Palestina. Sebagai pemenang perang, Inggris berhak mengambil alih wilayah Palestina dan menjadikannya sebagai salah satu koloninya di Timur Tengah. 

Pada saat itu, penduduk yang tinggal di wilayah tersebut mayoritas berbangsa Arab dan minoritas Yahudi. Ketegangan antara Yahudi dan Arab tumbuh dan menguat pada saat Inggris memberikan wilayah Palestina kepada kaum Yahudi. Kaum Arab menolak keras hal tersebut. Sementara, kaum Yahudi mengklaim bahwa wilayah itu adalah wilayah mereka berdasarkan kisah turun-temurun yang termaktub di dalam Torah.

Pemberian wilayah tersebut kepada bangsa Yahudi disebabkan oleh peningkatan jumlah populasi bangsa Yahudi antara tahun 1920-1940an. Konflik semakin tak terhindarkan manakala PBB, pada tahun 1947, mendeklarasikan Palestina terbagi menjadi negara Yahudi dan Palestina yang terpisah dengan Yerusalem sebagai kota internasional. Tetapi orang Arab Palestina tetap pada pendiriannya menolak keputusan PBB. 

Pada tahun 1948, bangsa Yahudi mendeklarasikan pembentukan negara Israel. Bangsa Arab Palestina keberatan dengan hal itu dan perang pun terjadi. Kemudian pada tahun 1967, Israel menduduki Yerusalem Timur dan Tepi Barat, serta sebagian besar Dataran Tinggi Golan Suriah, Gaza, dan Semenanjung Sinai Mesir. Sedangkan, sebagian besar masyarakat Palestina dan keturunan mereka tinggal di Gaza dan Tepi Barat, serta di negara tetangga Yordania, Suriah dan Lebanon. Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya, sementara Palestina mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina.

Konflik kedua negara itu kembali memanas dengan pecahnya perang 11 hari pada Mei 2021 silam. Seperti yang kita ketahui perang tersebut menelan korban jiwa sebanyak 243 orang, termasuk lebih dari 100 wanita dan anak-anak, tewas mengenaskan di Gaza. Sedangkan di pihak Israel kehilangan 12 orang, termasuk 2 anak-anak yang tewas.

Perang yang dimulai pada 10 Mei 2021 telah meningkatkan ketegangan Israel-Palestina di Yerusalem Timur yang memuncak pada bentrokan di tempat suci umat Islam (Masjid Al- Aqsa dan Masjid Kubah Emas) dan Yahudi (Tembok Ratapan). Ribuan roket yang dikirim Hamas ke Israel ditangkal oleh sistem pertahanan rudal Iron Dome yang menjadi andalan Israel sekitar 90%. Israel pun membalas aksi Hamas dengan mengirim roket ke beberapa tempat umum di Palestina yang diklaim sebagai markas Hamas.

Konflik Israel-Palestina: Perspektif Realisme Klasik

 Penulis menggunakan perspektif realisme dalam melihat konflik Israel-Palestina. Dalam Hubungan Internasional, perspektif realis muncul sebagai reaksi keras untuk mengkritik kaum liberal. Kaum liberal menganggap bahwa dengan adanya organisasi internasional maka akan tercapailah perdamaian antar bangsa-bangsa tanpa adanya peperangan. Tokoh-tokoh realisme menentang apa yang menjadi pandangan kaum liberal. 

Tiga tokoh realisme klasik, yakni Thuchydides, Niccolo Machiavelli dan Thomas Hobbes melihat bahwa manusia pada dasarnya itu agresif dan egoistik, kecenderungan untuk bersaing dalam memperjuangkan kekuasaan, dan penggunaan perang sebagai instrumen untuk menguasai dan mengontrol pihak lain (Hadiwinanta 2017, 105). Aktornya adalah negara. Negara selalu terlibat dalam persaingan kekuasaan sebagai hasil dari keinginan untuk bertahan dan mendominasi negara lain.  

Dalam konteks perang Israel-Palestina dapat kita lihat bagaimana kedua negara tersebut didorong oleh hasrat untuk menguasai satu sama lain sedemikian sehingga harus berkahir dengan perang. Israle ingin menguasai seluruh wilayah Yerusalem karena mereka mengklaim bahwa seluruh wilayah Yerusalem itu adalah wilayah Israel. Sebaliknya, Palestina mengklaim bahwa Yerusalem Timur adalah ibu kota Palestina. 

Akibat dari ketegangan inilah yang memicu terjadinya perang antar kedua belah pihak. Walaupun pada tahun 1993 ada negosiasi perdamaian yaitu Perjanjian Oslo yang kemudian mengalami kegagalan dan berakhir pada tahun 1995. Setelah berakhirnya Perjanjian Oslo, ada juga perbincangan perdamaian (peace talk) pada tahun 2013-2014, namun gagal. 

Usaha untuk mencapai sebuah perdamaian telah gagal, perang tetap dilanjutkan yang mengakibatkan konflik antara dua negara itu semakin memanas. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatatakan oleh Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul Leviathan (1651) setiap manusia mempunyai hasrat dan nafsu akan kekuasaan. Kekuasaan akan terus mendarah daging dalam diri manusia, begitupun dengan negara. Sebab itu negara akan melakukan apapun untuk mempertahankan kekuasaannya, entah itu menindas orang lain, mengalienasi satu kelompok ataupun membangun narasi bahwa satu kelompok itu  jahat. 

Seperti Israel yang mengklaim bahwa Hamas itu teroris, Hamas bersembunyi di belakang masyarakat sipil, Hamas bahagia dengan pembunuhan massal yang terjadi baik di Gaza maupun Israel, Hamas ingin mencari perhatian dunia dan lain-lain. Begitupun sebaliknya Palestina yang mengklaim IDF sebagai teroris karena telah membunuh banyak orang yang tidak bersalah. Dunia pun mengecam tindakan Israel dan membela Palestina berdasar pada asas kemanusiaan.

Kaum realis percaya bahwa manusia mempunya ego dan nafsu yang tinggi sehingga manusia tidak pernah puas akan apa yang dimilikinya yang menyebabkan manusia ingin merebut hak milik manusia lainnya. Dalam hal ini Israel dan Palestina berkonflik karena mereka menginginkan wilayah yang sama dan memperebutkan wilayah tersebut untuk bisa berkuasa. 

Selain ego dan nafsu, realis juga percaya akan adanya logika ketakutan. Yang artinya bahwa setiap negara pasti memiliki rasa takut terhadap negara lain. Israel dan Palestina akan terus merasa tidak aman satu sama lain karena perang bisa terjadi kapan saja. Di tambah lagi Palestina yang belum memiliki sistem pertahanan rudal Iron Dome seperti Israel, maka Palestina pasti merasa takut jika perang terjadi lagi. Ketakutan lainnya adalah bila salah satu dari kedua negara tersebut memenangkan peperangan, maka negara yang mengalami kekalahan akan kehilangan wilayahnya. Hal yang sama bisa terjadi pada Israel dan Palestina.

Selain itu, untuk mempertahankan kekuasaan, realisme percaya bahwa suatu negara itu perlu memiliki kekuatan yang lebih dari pada negara lain. Maka dari itu, negara akan membangun kekuatannya dengan cara mempersenjatai dirinya termasuk mempersenjatai masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat dari usaha Hamas yang meluncurkan ribuan roket dan rudal ke Israel, namun roket-roket itu di tangkal oleh Iron Dome Israel sekitar 90%. Israel pun membalas aksi yang dilakukan Hamas dengan cara yang sama yaitu mengirim roket ke tempat-tempat umum di Palestina. 

Aksi yang dilakukan oleh kedua negara tersebut hanya ingin menjaga eksistensinya, maka itu Palestina-Israel menggunakan kekuatan apapun (termasuk perang roket) untuk mempertahankan eksistensinya. Karena yang paling yang penting bagi negara adalah kekuasaan untuk mempertahankan negara dan setiap negara berjuang untuk mempertahankan eksistensi negaranya masing-masing seperti yang terjadi antara Israel-Palestina.

Hal inilah yang memotivasi Israel dan Palestina untuk mempunyai kekuatan yang besar yang memungkinkan mereka untuk bisa beradu kekuatan melalui ribuan roket dan rudal. Karena jika suatu negara punya kekuatan besar, maka negara itu dapat mengejar kepentingannya dengan mudah. Tetapi Palestina pada akhirnya bisa saja kalah dari Israel karena kalah sistem persenjataan dari Israel yang menyebabkan mereka kehilangan sebagian wilayahnya. 

Realisme percaya bahwa kekuatan suatu negara dilihat dari kekuatan fisiknya seperti luas wilayahnya, kekuatan militernya, dan lain-lain untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara itu sangat penting. Dalam hal ini, kekuatan fisik Israel cenderung lebih kuat dan digdaya ketimbang Palestina yang berujung pada penindasan Israel terhadap Palestina.

Realisme juga berfokus pada negara yang mempunyai identitas yang ingin dipertahankan untuk ditonjolkan ke negara-negara lain. Suatu negara pasti akan menyatakan kepada publik bahwa negaranya itu kuat agar negara-negara lain dapat mengetahuinya. Sejak gencatan senjata antara Israel dan Palestina untuk menyudahi perang 11 hari, Hamas mengklaim tentang “euforia kemenangan” dan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, mengatakan konflik tersebut telah membuka pintu ke fase baru yang akan menyaksikan banyak kemenangan. 

Sebaliknya, Mantan Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, yang pada saat perang terjadi masih menjabat sebagai Perdana Menteri Israel mengatakan bahwa Israel tidak akan mentolerir setiap serangan yang dilancarkan Hamas. Israel bahkan akan semakin meningkatkan kekuatan militernya.

Dapat disimpulkan, bahwa motif utama perang Israel dan Palestina adalah untuk mempertahankan eksistensi negaranya masing-masing. Kedua negara tersebut akan melakukan tindakan apapun agar tujuannya dapat tercapai termasuk perang yang berakibat pada pembunuhan massal, walaupun sudah ada pihak ketiga yang membantu memberikan solusi agar tercapainya suatu kedamaian yang pada akhirnya sia-sia. 

Perang yang sudah lama terjadi antara Israel dan Palestina tidak akan pernah berakhir jika tujuan dari kedua negara tersebut belum tercapai. Perspektif realisme menegaskan kembali bahwa pada dasarnya manusia tidak akan puas jika Ia belum berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Begitupun dengan negara Israel dan Palestina yang tidak akan pernah menyerah untuk mencapai suatu kemenangan.

RELATED ARTICLES

Most Popular